Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Film dokumenter GELORA: Magnumentary of Saparua menyoroti saksi sejarah perkembangan musik rock dan metal yang terjadi di Gedung Saparua, Bandung. Film ini disutradarai oleh Alvin Yunata, gitaris dari Teenage Death Star yang juga merupakan seorang penggiat musik dengan pengalaman di bidang jurnalistik dan aktivisme konservasi musik.
Alvin paham betul bagiamana eksistensi gedung Saparua sebagai tempat favorit pecinta musik rock dan metal pada zamannya. "Film ini bercerita tentang sebuah gedung olahraga yang digunakan oleh anak-anak muda di Bandung untuk pertunjukan musik dari generasi ke generasi dari tahun 60-an," kata Alvin kepada Tempo pada Rabu, 28 April 2021. "Di generasi 90-an, gedung ini sudah tidak bisa lagi digunakan dan gak dibuat jadi cagar budaya juga yaudah selesai aja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gedung Saparua sudah tidak digunakan lagi sebagai ruang pertunjukan musik sejak 20 tahun terakhir. Momentum itulah yang dirasa tepat untuk kembali menghadirkan kisah perjalanannya melalui film dokumenter. Film ini nantinya akan mempertanyakan posisi panggung sebagai wadah kreatif para musisi di Bandung saat ini dan di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Behind the scenes pembuatan film dokumenter Gelora: Magnumentary of Saparua. Dok. Rich Music
Edy Khemod, selaku creative director dan juga drummer dari Seringai mengungkapkan tujuan dibalik pembuatan film dokumenter ini adalah sebagai jurnal atau dokumentasi salah satu tempat bersejarah bagi para musisi di Bandung. Menurutnya film dokumenter ini penting untuk memberikan semangat kepada generasi berikutnya.
“Kita tujuannya mendokumentasi atau mencatat. Kalau orang dari menonton ini punya sudut pandang tertentu ya bagus, berarti kita menginspirasi tapi yang penting kita mendokumentasi karena masalahnya digenerasi kita saat itu dokumentasinya buruk sekali,” kata Edy.
Pada zaman Saparua masih ramai menggelar pertunjukkan musik dengan kapasitas 3000 orang, anak muda saat itu belum mampu untuk mendokumentasikannya dengan layak seperti sekarang ini. "Dulu susah punya orang yang mendokumentasikan bawa kamera, jangankan bawa tim dokumentasi, band-band punk rock ini aja stick drumnya cuma satu, sebelah lagi pinjam gimana mau bawa kamera,” kata Edy.
Behind the scenes pembuatan film dokumenter Gelora: Magnumentary of Saparua. Dok. Rich Music
Menurut Alvin, film dokumenter tentang budaya populer di Indonesia masih sangat sedikit. Dari film ini diharapkan bisa memacu generasi sekarang untuk mulai mendokumentasikannya. “Indonesia punya beragam budaya tapi untuk pendokumentasian sangat minim, ini upaya yang mudah-mudahan bisa menjadi ajakan untuk bareng-barenglah pada bikin,” kata Alvin. “Semoga ini menjadi bola salju yang positif,” kata Edy.
Film ini melibatkan banyak musisi yang menjadi saksi pergerakan musik Bandung sebagai narasumber, seperti Sam Bimbo, Arian13 (Vokalis Seringai), Dadan Ketu (Manager Burgerkill/Riotic Records), Eben (Gitaris Burgerkill), Suar (Mantan Vokalis Pure Saturday), Wendi Putranto (jurnalis musik, manajer Seringai), Candil (ex vokalis Seurieus), Fadli Aat (Diskoria), Buluks (Superglad, Kausa), Idhar Resmadi (jurnalis musik) dan banyak lagi lainnya. Film ini hadir untuk mengapresiasi sejarak musik rock dan metal di Indonesia.
Film dokumenter GELORA: Magnumentary of Saparua direncanakan tayang pertengahan tahun 2021. Film ini digarap oleh Rich Music yang menjadi penggagas proyek rangkaian program DistorsiKERAS dan menjadi eksekutif produser dari film ini.
MARVELA