Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kekayon rintisan sang guru besar

Ada museum wayang di yogyakarta, didirikan oleh seorang guru besar ugm. sementara itu, museum wayang di jakarta keadaannya memprihatinkan.

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH Museum Wayang milik swasta diresmikan di Yogyakarta pekan lalu. Kedengarannya agak aneh, mengingat pada masa yang sulit memperoleh dana ini ada usaha investasi yang begitu besar untuk museum. Apalagi, Museum Wayang yang ada di Jakarta, misalnya, hanya dikunjungi segelintir orang dan hidupnya kembang kempis. Museum itu, yang diberi nama Museum Wayang Kekayon, dirintis lebih dari sepuluh tahun lalu oleh pemiliknya K.R.T. Soejono Prawirohusodo, 63 tahun, seorang guru besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Letaknya, di dekat Candi Prambanan, tepatnya di kawasan Banguntapan, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota. Di museum berarsitektur Jawa itu terdapat 30 jenis wayang, atau sekitar 10.000 wayang. Wayang itu dipajang dalam lemari kaca yang bersih dan bening sehingga mudah diamati dari segala penjuru. Ada sepuluh ruang pamer di sini. Masing-masing berukuran 10 x 6 meter. Cukup lega, memang. Soejono menyusun koleksinya berdasarkan kronologi sejarah. Mulai dari yang paling tua, seperti wayang Purwa dari Yogya dan Surakarta, sampai yang kontemporer. Ada panduan bagi pengunjung yang ingin menelusuri riwayat wayang. Umumnya wayang yang dipamerkan berumur di atas 50 tahun. Bahkan, Soejono memiliki sepuluh wayang yang usianya seabad. Seorang dalang menghadiahkannya dengan pesan agar dipelihara baik-baik. Soejono kemudian memperlakukan wayang itu bak benda pusaka. Kesepuluh wayang tadi disimpan dalam ruangan khusus dan diberi sesajen setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon. Selain wayang Jawa, di situ juga ada wayang Potehi, yakni wayang yang tempo dulu dimainkan masyarakat Cina dengan lakon Babad Cina. Soejono membeli wayang itu lengkap dengan alat musiknya di Klenteng Sidoardjo seharga Rp 1 juta. Untuk menambah koleksi, Soejono mereproduksi beberapa wayang koleksi Keraton Yogya. Dari luar negeri, ada wayang dari Muangthai. Saat ini Soejono sedang menunggu kiriman wayang dari India dan Sri Lanka. Soejono berburu wayang sejak masih mahasiswa pascasarjana. Itu garagara sentilan seorang koleganya, orang Belanda. "Dosa besar kalau Yogya sampai tak punya museum wayang," kata Soejono menirukan ucapan temannya. Pada 1970, untuk pertama kalinya ia membeli wayang kulit, tokoh Kresna, dari seorang dalang. Sejak itu, di tengah kesibukannya sebagai pemilik Rumah Sakit Jiwa Puri Nirmala dan dosen di UGM, penggemar wayang kulit sejak kecil itu mulai berburu wayang. Targetnya, setiap lima hari harus terbeli satu wayang. Tahun 1981, setapak demi setapak Soejono mulai membangun museum. Untuk gaya bangunan ia memang mengikuti tradisi Jawa, tapi penataan ruangannya tergolong modern. Di ruang auditorium yang terletak di bagian depan bangunan berbentuk huruf "L" itu, misalnya, terdapat ruang audio visual. Di sini pengunjung bisa melihat contoh pergelaran wayang. Lalu, di pringgitan (beranda dalam), secara periodik disuguhkan sendratari atau pertunjukkan wayang kulit yang dinikmati sembari makan malam. Soejono mengeluarkan biaya Rp 2 milyar untuk museumnya ini. Meski ada tiket masuk, tak seperti bioskop, museum bukanlah ladang bisnis. Maka, mendirikan museum membutuhkan keberanian dan ketekunan. Soejono optimistis, dengan harga tiket Rp 500 akan mampu menutup biaya operasional. Inilah proyek idealis sebagai usaha membangkitkan kembali minat pada seni tradisional. "Agar seni kita tak sekadar gincu," katanya. Sri Pudyastuti R. (Jakarta) dan R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus