Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film berjudul Talk to Me menghadirkan cerita horor segar dan kengerian yang intens.
Meski minim unsur kejutan, Talk to Me punya kengerian yang lebih menyeramkan.
Sutradara Philippou bersaudara bakal menyiapkan kelanjutan film kedua.
Kerasukan dan ritual pemanggil arwah bukan hal baru dalam film bergenre horor. Bagi sejumlah penikmat film seram, kesurupan menjadi hal paling menakutkan. Sebab, kerasukan dianggap sebagai puncak interaksi antara manusia dan setan yang menjadi musuh atau karakter jahat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film produksi Australia berjudul Talk to Me hadir memainkan segmen horor tersebut. Film berdurasi 94 menit itu menghiasai bioskop di Jakarta dan sekitarnya sejak Rabu lalu. Namun Talk to Me bukan film horor sembarangan. Film horor garapan sutradara Danny Philippou dan Michael Philippou itu membawa napas baru untuk horor bergenre kerasukan atau pemanggil arwah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini bercerita tentang tokoh Mia yang diperankan Sophie Wilde, seorang remaja putri yang tertekan setelah ibunya meninggal dua tahun lalu. Singkat cerita, Mia hadir dalam sebuah pesta anak muda karena ajakan temannya.
Di pesta itu, mereka iseng menjajal permainan memanggil arwah. Bukan sekadar bermain jelangkung dengan media boneka kecil, arwah yang ia panggil diminta masuk ke dalam tubuh peserta pesta.
Caranya, orang itu harus memegang sebuah patung berbentuk sepotong tangan kiri. Patung itu terbuat dari porselen yang berwarna abu-abu gelap dan pucat. Seperti sedang berjabat tangan, Mia dan peserta pesta lain cukup berbicara “talk to me” atau bicaralah kepadaku dan “I let you in” atau aku mempersilakan kamu masuk.
Setelah itu, mereka kerasukan arwah yang sengaja dipanggil. Mulanya permainan berjalan seru. Sesuai dengan aturan, arwah hanya boleh hinggap di tubuh manusia selama kurang dari 90 detik. Jika lebih dari itu, arwah tak akan mau pergi. Celakanya, permainan yang mulanya penuh canda tawa berubah jadi teriakan dan tangisan karena ada peserta yang melanggar aturan main.
Zoe Terakes sebagai Hayley dalam film "Talk To Me" (2023). Dok. A24
Menariknya lagi, Talk to Me hadir dengan gaya berbeda dibanding film horor lainnya. Jika film bertema hantu mengandalkan unsur kejutan, hal itu akan jarang ditemukan dalam Talk to Me.
Sebagai gantinya, Talk to Me menghadirkan kengerian yang lebih nyata dan brutal. Ya, adegan seram yang dikemas lebih banyak mengarah pada kekerasan yang berdarah-darah. Adegan tubuh manusia kerasukan yang menyiksa dirinya sendiri menjadi hal yang meneror mata penonton.
Salah satu penonton, Yuni Hapsari, mengaku takjub pada brutalnya adegan puncak film horor tersebut. Menurut perempuan berusia 41 tahun itu, sensasi takut yang dihadirkan film tersebut seperti tercampur antara hal mistis dan pembantaian.
“Jadi merinding melihat darah dan luka yang menyakitkan,” ujar Yuni ketika ditemui di salah satu bioskop di Jakarta Pusat, Jumat lalu.
Adapun penonton lain, Emily Wardani, mengatakan sudut pengambilan gambar dalam film Talk to Me juga ciamik. Terlebih saat adegan sadis dan brutal berlangsung. “Jadi, adegan yang ngeri itu seperti semakin diekspos. Deg-degan banget,” kata perempuan berusia 38 tahun itu.
Selain itu, Emily mengatakan kehadiran patung sepotong tangan kiri itu sukses menambah efek horor film tersebut. Meski digambarkan sebagai patung atau benda mati, nyatanya, di mata penonton patung tangan itu seperti hidup dan menjadi sosok iblis yang sesungguhnya.
Bagi Tempo, pemilihan patung tangan kiri sebagai media ritual menjadi hal yang brilian. Media patung tangan kiri itu mampu memberikan unsur kebaruan di tengah genre horor yang sudah sering diangkat ke layar lebar. Bahkan sebenarnya, patung tangan kiri yang disebut The Hand itu bisa menjadi semacam merek dagang atau identitas kuat sekuel film Talk to Me.
Pujian sangat layak diberikan kepada Danny Philippou dan Michael Philippou sebagai sutradara. Terlebih, ini pertama kalinya keduanya menjadi sutradara film horor. Mereka sukses memberikan sensasi sadis dan brutal dalam sebuah film horor.
Film "Talk To Me" (2023). Dok. A24
Namun ada juga orang yang mencibir kengerian yang dihadirkan sepasang saudara kembar berkebangsaan Australia itu. Sebab, tingkat kesadisan yang disajikan dianggap kelewatan. Maklum, Danny dan Michael memang bukan pemain lama dalam sajian kekerasan yang vulgar.
Pria kembar berusia 30 tahun itu memang kerap mengemas adegan kekerasan dalam konten-konten video mereka. Kebetulan, Philippou bersaudara adalah YouTuber kondang nan kontroversial dengan identitas RackaRacka. Konten-konten yang mereka ciptakan kebanyakan komedi satire, gelap, kejam, dan kadang dibumbui hasrat seksual.
Sebagai contoh, keduanya sempat memparodikan maskot badut restoran cepat saji terkenal dunia sebagai pembunuh psikopat. Karena itu, tak jarang konten-konten RackaRacka menuai laporan dan pencekalan di beberapa negara.
Namun, untuk karya film Talk to Me, memang keduanya layak mendapat apresiasi. Salah satu orang yang memberikan sanjungan adalah sutradara Peter Jackson. Pria yang telah menyutradarai film-film besar, seperti trilogi The Lord of the Ring dan trilogi The Hobbit itu menyebutkan teror yang dihadirkan Philippou bersaudara begitu intens.
Menurut Jackson, kengerian yang dibawa Talk to Me begitu kompleks dan menegangkan. “Ini film horor terbaik dalam beberapa tahun terakhir,” kata sutradara berusia 61 tahun itu.
Film Talk to Me merupakan karya yang diadaptasi dari konsep cerita Daley Pearson yang ditulis oleh Danny Philippou dan Bill Hinzman. Menurut situs web Internet Movie Database atau IMDb, Talk to Me mendapat skor 7,4 dari 10.
Si kembar Philippou terang-terangan mengungkapkan rencana mereka membuat film kedua. Menurut Danny, film kedua akan lebih fokus membahas asal-muasal The Hand atau patung sepotong tangan kiri yang menjadi sumber petaka.
Menurut Danny, sejak awal penulisan cerita Talk to Me, ia sudah menjabarkan asal-usul patung tangan menyeramkan itu. Walhasil, akan sangat disayangkan jika cerita Talk to Me harus berhenti di sebatas film pertama.
“Ada begitu banyak adegan untuk menceritakan asal The Hand. Jika diberi kesempatan lagi, tentu kami akan melakukannya.”
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo