Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGGUBAH komik terkenal SIM adalah Sim Kim Tan atawa Lazarus Simon Iskandar (1943-2001), satu dari The Big Three dalam komik roman Indonesia, yang berjaya pada 1970-an. Dalam gubahan awal 1960-an ini, misteri cinta baru dihadirkan setelah cerita usai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sim Kim Tan atau Lazarus Simon Iskandar. 1967.
M
ISTERI, termasuk misteri cinta, sering dipahami sebagai sesuatu yang serba tak jelas, bahkan terumuskan pula sebagai tidak mungkin diketahui dan hanya berakhir ketika terselesaikan. Namun dalam cerita gambar 33 halaman Rose Tak Berdaun (U.P. Budi Agung—Djakarta, tt), sebaliknya dari kisah yang mengandalkan misteri, yang disebut misteri justru muncul setelah cerita berakhir, sebagai sesuatu yang "jelas adalah misteri".
Dalam sebuah pesta, ketika sedang menyendiri, Sri bersua dengan Rusdi yang juga memilih untuk menyendiri dalam pesta itu. Mereka pun berkenalan. Sri, yang dianjurkan ayahnya masuk fakultas kedokteran, kemudian pulang bersama Rusdi yang masih harus menyelesaikan kuliahnya di luar negeri. Ayah Sri juga disebutkan sedang berada di luar negeri.
Hubungan kedua panil di halaman 8 dan 10 dalam komik Rose Tak Berdaun ini bermasalah: Apakah Rusdi mempersilakan Sri menyetir? Apakah mesti diandaikan Sri punya mobil dan Rusdi tidak, walau Rusdi disebut mengantar?
Melihat Sri masuk rumah sambil bernyanyi kecil, Dewi, kakaknya, memberi peringatan tentang risiko bergaul rapat dengan pemuda. Lantas Sri mendengarkan kisah kakaknya baik-baik.
Dewi berkisah tentang hubungannya dengan pemuda yang dipanggilnya “Rus …”. Setelah tiga tahun, hubungan itu terputus karena pemuda Rus pergi kuliah ke luar negeri.
Sakit hati dan frustrasi, pada malam berhujan Dewi mengalami kecelakaan karena ditabrak mobil, yang kemudian lari. Dewi, yang menjadi cacat karena itu, lantas melarang Sri bergaul dengan Rusdi. Namun Sri menolak.
Kisah selanjutnya, melalui halaman belakang rumah, Dewi berkenalan dan bergaul rapat dengan Jusuf, tetangga barunya. Keduanya sepakat, kekurangan masing-masing tidak perlu disembunyikan.
Tak dinyana, ketika Rusdi menjemput Sri, dan bertemu dengan Dewi, ternyatalah dia pemuda Rus itu. Dewi pun mengancam Rusdi, jika tidak serius dengan Sri, ia harus pergi saat itu juga. Maka Rusdi pun memilih tetap tinggal.
Kemudian terjadilah peristiwa Rusdi berjalan dengan seorang perempuan lain. Ini membuat hati Sri hancur lebur dan tak sadarkan diri di rumahnya. Dewi dan Jusuf segera menolongnya. Dipertanyakan oleh Jusuf, kenapa Sri harus berbuat nekat.
Lantas Jusuf menceritakan, betapa suatu saat ketika menerima amarah orang tuanya karena ia suka berfoya-foya. Dilarikannya mobil pada suatu malam berhujan—pada suatu tanggal 1 September.
Itulah tanggal tertabraknya Dewi, sehingga disampaikannya betapa Jusuf tidak perlu merasa bersalah secara berkepanjangan karena mengira yang ditabraknya tewas—itu pun ditinggalkannya lari. Adapun yang harus disebut bersalah adalah Rusdi, yang setelah dulu mempermainkan Dewi, kini mempermainkan Sri.
Akhir gembira cerita Rose Tak Berdaun ini: Rusdi diberitakan di koran sebagai penipu yang tertangkap, lengkap dengan pemasangan fotonya.
***
APAKAH yang "jelas adalah misteri" di sini? Tentu adalah serba kebetulan (1) bahwa Rusdi berhubungan dengan kakak-adik Dewi ataupun Sri; meski yang menentukan adalah, (2) frustrasinya Dewi di malam berhujan setelah putus hubungan dengan Rusdi, yang membuatnya ditabrak Jusuf.
Diperiksa kembali: jika Dewi tidak patah hati gara-gara Rusdi, ia tidak akan berhujan malam-malam dan disambar mobil Jusuf. Betapapun memang ironis bahwa faktor tertabraknya Dewi, dan bahwa ia tidak mati, menjadi penguat ikatan cinta mereka, yang berarti dibayar dengan cacatnya Dewi.
Dapat dikatakan pula, ini berarti Dewi lebih terkorbankan daripada Jusuf, dan dengan begitu Dewi mengemuka sebagai peran utama dibanding Sri yang kaitan alur hubungannya dengan Rusdi kelewat sederhana—dan tidak berperan sama sekali dalam hubungan Dewi-Rusdi sebelumnya. Bahkan Rusdi, sebagai antagonis, berperan lebih penting daripada Sri.
Momentum tertabraknya Dewi menjadi pusat atawa sumber pengaluran karena melahirkan situasi pada dua peran: Dewi yang menganggap semua laki-laki tidak bertanggung jawab; Jusuf yang terus-menerus diburu perasaan bersalah. Ini seperti jawaban suatu misteri, maka tentu bukanlah ini misterinya.
Misteri yang jelas adalah kebetulan sebagai jawaban, yang kemudian menjadi misteri baru: mengapa harus terjadi, bahwa Dewi yang patah hati berada di jalanan pada malam berhujan.
Kecelakaannya, walau tak tergambar, bisa dipahami sebagai kecelakaan, tanpa membawa-bawa rincian ketergambarannya—tetapi justru yang tergambar menjadi misteri besar karena tergambar tanpa kecelakaan itu sendiri, seperti gambar berikut:
Panil tunggal di halaman 13, satu-satunya gambar peristiwa (sebelum) kecelakaan.
Gambar ini merupakan panil tunggal untuk menggambarkan kecelakaan, di belakang perempuan dalam hujan itu terlihat mobil, yang kemungkinan besar dimaksud akan menabraknya.
Dengan tidak digambarkannya kecelakaan, bahkan tidak juga digantikan tulisan, hanya gambar ini yang ditawarkan untuk dibaca sebagai penyampaian atas segala kejadiannya.
Apa yang sesungguhnya terjadi, terandaikan berlangsung dalam pembayangan pembacanya, dan memang bisa dilakukan, melalui penanda-penanda yang mengarahkannya. Namun yang tersediakan, dalam gambar ataupun tulisan, cukup terbatas.
Pertama, meski kata cacat disebutkan, tidak pernah dibahas lebih lanjut tentang cacatnya tersebut, kecuali memang tergambar betapa Dewi ternyata tidak bertangan kiri. Perlu ditekankan kembali bahwa hal itu tidak disebut-sebut dan seperti sengaja tidak ditonjolkan.
Tidak terlihatnya tangan kiri Dewi dalam berbagai panil, tidak memperlihatkannya sebagai cacat.
Tidak terlihatnya tangan kiri Dewi dalam berbagai panil, tidak memperlihatkannya sebagai cacat.
Demikian pula dalam panil tunggal ini, sebagai representasi pertemuan berkali-kali, indikasi cacat ditutupi.
Kedua, dua panil tunggal yang terhubungkan dengan kecelakaan, terpisah jauh, dan berasal dari dua pengujar, juga tidak menunjuk atau memberitahukan, lewat gambar ataupun tulisan, bagaimana kecelakaan itu berlangsung, sehingga Dewi kehilangan tangannya yang kiri.
Panil tunggal (sesudah) kecelakaan terjadi, baru muncul lagi di halaman 31, melalui pengujar lain, yakni penabraknya.
Ketiga, sepanjang cerita pun tidak ada sesuatu yang membahas perkara cacat, selain digambarkan Jusuf berkata, “Buat apa kita harus menyembunyikan kita punya kekurangan?”
Momen terpenting yang terpasang kembali di sampul, dengan posisi kaki yang menapak tanah berubah.
Mencermati kembali komik ini, dapat diketahui bahwa sampul bukunya menggunakan panil tunggal kecelakaan yang pertama. Artinya merupakan momen terpenting sehingga perlu pula membongkar makna yang menjadi judulnya: Rose Tak Berdaun—seperti terlacak dari panil berikut:
Dari adegan ini, dapat ditafsir bahwa Jusuf menganggap daun bagian dari kesempurnaan bunga; tetapi Dewi menerimanya sebagai tangan-lengkap adalah bagian dari kesempurnaan perempuan.
Adegan ini mengesahkan posisi Dewi sebagai peran terpenting dalam cerita. Sebab, dialah "mawar tak berdaun" itu: perempuan tanpa tangan kiri. Dalam pengertian ini, pesan cerita adalah betapa cacat tubuh, bahkan tentunya kekurangan apa pun, tidak perlu menjadi penghalang cinta.
Maka faktor "jelas misteri"-nya yang utama adalah Jusuf sebagai penabrak-lari Dewi, dan membuat Dewi kehilangan tangan kiri, akhirnya menjadi pasangan Dewi. Misteri tidak hadir sepanjang cerita, tetapi muncul justru sebagai "jelas misteri" dalam kebetulan-kebetulan yang mengakhiri cerita, yang menjadi misteri karena ketepatan penyebabnya tidak akan pernah terjawab.
***
SELAIN wacana misteri, wacana cacat yang tak luput menjadi sumber perkara tentu masih merujuk pada pengertian orang cacat fisik sebagai kaum disable, atau yang tak berdaya (dis-able), belum seperti paham kiwari sebagai difable atawa berkemampuan beda (dif-able dengan dif terasalkan dari different).
Panil ini yang pertama kali mengungkap kondisi fisik Dewi, tanpa pernah disebut secara eksplisit.
Perbedaan ini menentukan karena alur yang sebagian bertumpu pada penyembunyian cacat fisik Dewi, sebelum memperlihatkannya, jelas terujukkan pada kuasa wacana bahwa cacat fisik adalah suatu bentuk kekurangan, atau mungkin saja ke-rendah-an. Bukan sekadar perbedaan, yang tetap setara dan sederajat dengan kesempurnaan atawa normalitas dominan.
***
RUANG dan waktu komik Rose Tak Berdaun ini adalah Jakarta dalam masa peralihan dari masa pra-Orde Baru ke Orde Baru, jika bukan awal masa Orde Baru, yang ditandai dengan maraknya budaya populer: dansa-dansi dan nyanyi, ataupun gaya busana dan rambut, bahkan keberadaan komik itu sendiri; sementara perubahan kebijakan ekonomi membuat tersedianya dana segar, yang membuat Jusuf mampu berfoya-foya dan ngebut di jalan dengan mobilnya, sebelum akhirnya menabrak Dewi.
Pesta dansa di rumah pribadi menjadi budaya urban kontroversial pra-Orde Baru, tetapi merebak jamak pada awal Orde Baru.
Ini menunjukkan bagaimana cerita komik, sebagai peristiwa sehari-hari, menjadi bagian dari konstruksi yang politis sifatnya, seperti juga komik urban seperti ini tidak akan direstui secara resmi dalam kebijakan budaya rezim pra-Orde Baru, tempat penggambaran atas suatu Jakarta gemerlap, betapapun sederhana, terbukti berlangsung.
Penggambaran yang kini terasa sederhana dari kegemerlapan Jakarta.
Namun kegemerlapan urban, sebagai representasi modernitas, dalam kenyataannya tidak pernah memudarkan orientasi terhadap misteri. ***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
CATATAN: Gambar-gambar © (tt) Sim Kim Tan.