BANYAK sekali kucing yang dilukis oleh Popo Iskandar dalam
pamerannya di TIM kali ini (8-14 Januari). Formatnya rata-rata
besar dan hampir semuanya bujur sangkar, di samping pantas juga
disebut bahwa yang dipilihnya adalah kucing yang bulunya hitam.
Bentuknya semakin tidak penting. Kadangkala punggung, mata, kaki
atau perasaan-perasaan kucing maupun orang di luar kucing itu
yang ditonjolkan. Kita jadi teringat pada beberapa pelukis lain
yang dalam satu hal hampir mirip yakni menukikkan perhatiannya
pada satu objek. Misalnya saja pada Zaini yang ahli perahu,
Nashar yang ahli bukit, Srihadi ahli pantai, pada Affandi yang
ahli babi, pada Basuki Abdullah yang ahli perempuan cantik.
Popo tentulah tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kucinglah
satu-satunya yang paling menarik dari kehidupan sekitarnya. Tapi
lewat mata kucing yang mencorong kadangkala biru atau hijau,
lewat punggungnya yang melengkung tatkala menggeliat, lewat
kumisnya, belang tubuhnya lewat aksentuasi garis-garis putih dan
sosoknya yang tertangkap dalam bujur sangkar yang rata-rata
menyisakan banyak bidang untuk tetap putih polos lewat itu
semua seperti tersarankan sesuatu saat yang tertegun.
Kesan-Kesan Kecil
Popo tidak lagi mempunyai beban persoalan teknis. Ia adalah
salah seorang dari pelukis yang dinamakan senior pada masa ini,
yang tampaknya juga menjadi salah seorang pemikir lewat
kanvasnya secara terang-terangan. Sikap intelektuilnya mempunyai
sikap sosial yang sama besarnya dengan sikal sosial yang
terkandung dari lukisan-lukisan yang mau menggambarkan
kemelaratan atau kepincangan sosial. Inilah lukisan kerakyatan
kaum minoritas yang disebut intelektuil, yang rupanya tidak
sedikit menderitanya dibandingkan dengan rakyat lainnya --
walaupun penderitaan tersebut adalah penderitaan karena adanya
beban dalam jiwa. Ia mau menyuarakan ngeong yang datang dari
puisi Sutardji yang bernama Kucing yang kadangkala hanya bisa
dipahami oleh orang-orang yang jiwanya terluka. Bedanya kucing
Popo memang tidak begitu buas. Ada terasa juga berbau salon?
tapi ini tidaklah mengurangi nilai protes sosialnya. Namun
lukisan sudah tentu bukan hanya ide, isi atau maksud-maksud dari
pelukisnya saja. Juga banyak ditentukan oleh apa yang sampai
pada suatu saat pada diri penyaksinya. Artinya bagaimanapun juga
lukisan mesti lebih konkrit, karena ia merupakan salah satu
bentuk dari senirupa. Dalam hal ini format yang dipilih oleh
Popo memang membantu, karena kucing-kucing tersebut seperti
tertekan dalam sebuah kandang sebuah kekuasaan yang halus. Tapi
kucing itu sen. diri tidak menampakkan suatu persoalan yang
kompleks kecuali keasyikannya sendiri untuk memandang-mandang.
Ini yang menyebabkan lukisan tersebut tidak begitu mencakar --
tidak begitu gempal garukannya. Hasilnya adalah lya yang leblh
tertonjol, sehingga ia menjadi manis. Bahkan ia cenderung
menjadi semacam usaha sederhana saja untuk menaklukkan sebuah
bidang yang bujur sangkar.
Ketrampilan Popo pun seringkali menyebabkan seri kucing tersebut
lebih bersifat teknis. Ini tidak bisa lain kecuali kalau Popo
waktu mengerjakan memang bermaksud untuk hanya menghadirkan
kesan-kesan kecil pada setiap kanvas. Orang seringkali
menandakan hal ini ketergesa-gesaan. Sekarang ketergesa-gesaan
seringkali lebih menonjolkan soal "waktu" saja. Ketergesaan
dalam kucing Popo bukan hanya masaalah waktu, tapi tidak adanya
niat untuk menukikkan kontemplasi. Inipun semacam potret dari
masa kini yang memang, tergopoh-gopoh, sehingga ide harus segera
dilontarkan sebelum terlupakan atau tertendang oleh ide
berikutnya yang makin deras juga datangnya setiap hari. Ini sah
juga. Artinya persoalan kita kemudian apakah memang betul Popo
hanya berniat mengemukakan kesan kontemplatif itu tok, atau
memang lukisannya tidak berhasil menggambarkan maksudnya yang
lebih juh. Ini dijelaskan oleh lukisan-lukisan lainnya yang
menggambarkan ombak, orang tidur, buket satu dan dua, sejoli
satu dua tiga yang menjurus pada lukisan abstrak.
Risiko Keliru Besr
Dalam lukisan-lukisan yang bukan kucing, tampaknya juga ada
kehendak berseri. Di sana Popo jelas menghindari keterlibatan
yang terlalu tuntas terhadap masaalah yang sedang menarik
perhatiannya. Pada ombak ia tidak melukiskan lebih dari enerji
yang menggerakkan ombak tersebut, pada "buket satu" ada warna
merah dan hijau, di mana peranan warna kuning emas yang
terhampar di tengahnya menyarankan sebuah pengaburan. Keputusan
itu menarik, karena kita jadi ingin tahu sebabnya. Apakah ini
adalah usaha untuk tetap mempertahankan lukisan tersebut supaya
tetap komunikatif, artinya tidak menjadi terlalu pribadi
sifatnya, ataukah maunya adalah supaya ada sisa pekerjaan yang
diserahkan pada para penikmat itu sehingga proses menonton
lukisan tetap kreatif, bukan hanya proses menelan saja. Yah,
pada akhirnya kita hanya bisa memberikan interpretasi yang
barangkali juga seluruhnya bisa keliru. Karena menghadapi
kesenian kontemporer risiko untuk keliru sangat besar, kalau
kita tidak menyaksikan sendiri dengan mata kepala sendiri dan
menanggapinya sendiri secara pribadi -- tidak dengan
kaidah-kaidah orang lain. Karena dalam kesenian macam ini orang
lain jadi tidak penting, sementara kritik hanya menjadi
pemaparan dari pengalaman yang sangat pribadi dari seorang
penonton.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini