Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kucing Yang Memandang

Berbagai lukisan kucing popo iskandar dipamerkan di tim. secara teknis lukisan itu baik, tetapi dibuat dalam ketergesaan sehingga kucing-kucing itu tidak menampakkan persoalan. (sr)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK sekali kucing yang dilukis oleh Popo Iskandar dalam pamerannya di TIM kali ini (8-14 Januari). Formatnya rata-rata besar dan hampir semuanya bujur sangkar, di samping pantas juga disebut bahwa yang dipilihnya adalah kucing yang bulunya hitam. Bentuknya semakin tidak penting. Kadangkala punggung, mata, kaki atau perasaan-perasaan kucing maupun orang di luar kucing itu yang ditonjolkan. Kita jadi teringat pada beberapa pelukis lain yang dalam satu hal hampir mirip yakni menukikkan perhatiannya pada satu objek. Misalnya saja pada Zaini yang ahli perahu, Nashar yang ahli bukit, Srihadi ahli pantai, pada Affandi yang ahli babi, pada Basuki Abdullah yang ahli perempuan cantik. Popo tentulah tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kucinglah satu-satunya yang paling menarik dari kehidupan sekitarnya. Tapi lewat mata kucing yang mencorong kadangkala biru atau hijau, lewat punggungnya yang melengkung tatkala menggeliat, lewat kumisnya, belang tubuhnya lewat aksentuasi garis-garis putih dan sosoknya yang tertangkap dalam bujur sangkar yang rata-rata menyisakan banyak bidang untuk tetap putih polos lewat itu semua seperti tersarankan sesuatu saat yang tertegun. Kesan-Kesan Kecil Popo tidak lagi mempunyai beban persoalan teknis. Ia adalah salah seorang dari pelukis yang dinamakan senior pada masa ini, yang tampaknya juga menjadi salah seorang pemikir lewat kanvasnya secara terang-terangan. Sikap intelektuilnya mempunyai sikap sosial yang sama besarnya dengan sikal sosial yang terkandung dari lukisan-lukisan yang mau menggambarkan kemelaratan atau kepincangan sosial. Inilah lukisan kerakyatan kaum minoritas yang disebut intelektuil, yang rupanya tidak sedikit menderitanya dibandingkan dengan rakyat lainnya -- walaupun penderitaan tersebut adalah penderitaan karena adanya beban dalam jiwa. Ia mau menyuarakan ngeong yang datang dari puisi Sutardji yang bernama Kucing yang kadangkala hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang jiwanya terluka. Bedanya kucing Popo memang tidak begitu buas. Ada terasa juga berbau salon? tapi ini tidaklah mengurangi nilai protes sosialnya. Namun lukisan sudah tentu bukan hanya ide, isi atau maksud-maksud dari pelukisnya saja. Juga banyak ditentukan oleh apa yang sampai pada suatu saat pada diri penyaksinya. Artinya bagaimanapun juga lukisan mesti lebih konkrit, karena ia merupakan salah satu bentuk dari senirupa. Dalam hal ini format yang dipilih oleh Popo memang membantu, karena kucing-kucing tersebut seperti tertekan dalam sebuah kandang sebuah kekuasaan yang halus. Tapi kucing itu sen. diri tidak menampakkan suatu persoalan yang kompleks kecuali keasyikannya sendiri untuk memandang-mandang. Ini yang menyebabkan lukisan tersebut tidak begitu mencakar -- tidak begitu gempal garukannya. Hasilnya adalah lya yang leblh tertonjol, sehingga ia menjadi manis. Bahkan ia cenderung menjadi semacam usaha sederhana saja untuk menaklukkan sebuah bidang yang bujur sangkar. Ketrampilan Popo pun seringkali menyebabkan seri kucing tersebut lebih bersifat teknis. Ini tidak bisa lain kecuali kalau Popo waktu mengerjakan memang bermaksud untuk hanya menghadirkan kesan-kesan kecil pada setiap kanvas. Orang seringkali menandakan hal ini ketergesa-gesaan. Sekarang ketergesa-gesaan seringkali lebih menonjolkan soal "waktu" saja. Ketergesaan dalam kucing Popo bukan hanya masaalah waktu, tapi tidak adanya niat untuk menukikkan kontemplasi. Inipun semacam potret dari masa kini yang memang, tergopoh-gopoh, sehingga ide harus segera dilontarkan sebelum terlupakan atau tertendang oleh ide berikutnya yang makin deras juga datangnya setiap hari. Ini sah juga. Artinya persoalan kita kemudian apakah memang betul Popo hanya berniat mengemukakan kesan kontemplatif itu tok, atau memang lukisannya tidak berhasil menggambarkan maksudnya yang lebih juh. Ini dijelaskan oleh lukisan-lukisan lainnya yang menggambarkan ombak, orang tidur, buket satu dan dua, sejoli satu dua tiga yang menjurus pada lukisan abstrak. Risiko Keliru Besr Dalam lukisan-lukisan yang bukan kucing, tampaknya juga ada kehendak berseri. Di sana Popo jelas menghindari keterlibatan yang terlalu tuntas terhadap masaalah yang sedang menarik perhatiannya. Pada ombak ia tidak melukiskan lebih dari enerji yang menggerakkan ombak tersebut, pada "buket satu" ada warna merah dan hijau, di mana peranan warna kuning emas yang terhampar di tengahnya menyarankan sebuah pengaburan. Keputusan itu menarik, karena kita jadi ingin tahu sebabnya. Apakah ini adalah usaha untuk tetap mempertahankan lukisan tersebut supaya tetap komunikatif, artinya tidak menjadi terlalu pribadi sifatnya, ataukah maunya adalah supaya ada sisa pekerjaan yang diserahkan pada para penikmat itu sehingga proses menonton lukisan tetap kreatif, bukan hanya proses menelan saja. Yah, pada akhirnya kita hanya bisa memberikan interpretasi yang barangkali juga seluruhnya bisa keliru. Karena menghadapi kesenian kontemporer risiko untuk keliru sangat besar, kalau kita tidak menyaksikan sendiri dengan mata kepala sendiri dan menanggapinya sendiri secara pribadi -- tidak dengan kaidah-kaidah orang lain. Karena dalam kesenian macam ini orang lain jadi tidak penting, sementara kritik hanya menjadi pemaparan dari pengalaman yang sangat pribadi dari seorang penonton. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus