Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Di bioskop, di sebelah klab malam

Teater angkasa pentas di ujung pandang. pertunjukan yang menggunakan gedung bioskop dan bersebelahan dengan klub malam itu cukup unik. pentas sekaligus dapat dinikmati lewat radio. (ter)

24 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERLAPIS-LAPIS layar warna-warni menutupi panggung sempit di depan layar bioskop Benteng itu. Serentak dengan tingkahan musik pengantar bercampur komentar penyiar radio, layar pun tersingkap beriring. Di balik sana, di atas panggung, tergelar amat rapi set ruang tamu sebuah rumah tinggal keluarga menengah. Pemain akhirnya muncul, dan tatkala mereka mulai berbicara, suara mereka terdengar utuh menggema di seluruh ruang bioskop Benteng yang terletak di pantai kota Ujung Pandang itu. "Pemain di panggung itu cuma menyesuaikan gerak mulutnya dengan suara mereka yang telah kita rekam terlebih dahulu", komentar Kolonel Djamaluddin Effendi, pengarang dan sutradara pementasan yang populer dengan sistim full dubbing tersebut. Sembari terus mengepul-ngepulkan asap tembakau dari pipanya, kolonel yang kepala intel ini bercerita panjang lebar tentang sistim dubbing itu. Perwira menengah yang telah bertugas lama di Ujung Pandang ini mula-mula bersinggungan dengan soal seni tatkala beberapa tahun silam ia mulai menulis novel. Karangan-karangannya yang lahir secara subur itu kemudian tersiar pula lewat udara dalam bentuk sandiwara radio RRI Ujung Pandang. "Ketika itu saya mulai menyadari bahwa penduduk kota ini kurang hiburan, dan sandiwara radio saja tentu tidak cukup", begitu Djamaluddin bercerita. Ketika ia berniat juga muncul di panggung, sudah jelas tidak mungkin, "sebab kota ini sama sekali tidak punya panggung, apa lagi gedung yang pantas untuk pementasan", kataya pula. Nah, putar akallah sang kolonel. "Kalau tak ada rotan akar pun jadilah." Dan bioskop Benteng pun dimanfaatkan, dengan membangun panggung kecil di depan layar. "Ini tidak gratis, lho. Pembuatan panggung dari batu kita tanggung sendiri, dan setiap malam pertunjukan kita harus membayar 75 ribu pada direksi bioskop", tukas Djamaluddin. Dan dalam gedung bioskop yang begitu besar dengan akustik yang terlalu buruk (suara musik gemuruh dari klab malam di sampingnya terdengar menusuk dalam bioskop tua ini) hasrat bersandiwara cara normal hanya akan mendongkolkan hati pembeli karcis yang duduk di belakang. Djamaluddin pun teringat akan sandiwara radionya itu. Bisa dibayangkan apa yang lahir dari kombinasi "akar-akar" itu, bukan? Walhasil kini di Ujung Pandang telah hadir sebuah sandiwara kombinasi: panggung dan radio. Grup pimpinan Kolonel Djamaluddin Effendi itu bernama Teater Angkasa, dan setiap malam pertama pertunjukan mereka sekaligus juga bisa diikuti lewat RRI Ujung Pandang. Unik memang, terutama bagi para pemainnya yang sebagian juga bekas pemain pentas. Soal mensinkronkan gerak mulut dengan suara yang sudah terekam itulah soal utama. "Satu dua pementasan pertama memang masih berat, karena pada saat itu rekaman dibuat betul-betul berdasarkan sandiwara radio, tanpa memperhitungkan kemungkinan gerak di atas panggung", komentar seorang pemain Teater Angkasa. Tapi Djamaluddin ini punya cara untuk melakukan perbaikkan. Setiap selesai pertunjukan, ia selalu minta pendapat teman-temannya, tapi terutama Rahmah Arge, Ketua Dewan Kesenian Ujung Pandang. Konon dari pengalaman 7 kali pertunjukan di tahun 1975 -- juga tahun ditemukannya sistim dubbing itu -- plus pendapat dan saran teman-temannya, kini rekaman Teater Angkasa telah pula memperhitungkan segala kemungkinan di atas panggung. "Kami menggunakan stop watch untuk menghitung waktu gerak pemain-pemain di atas panggung", kata Djamaluddin pula. Sudah tentu cara seperti ini toh belum bisa menjamin sinkron sepenuhnya. "Tapi dibanding dengan pertunjukannya yang dulu-dulu, pertunjukan Embun Pagi ini sudah jauh lebih sempurna", begitu Rahman Arge mengomentari teknik pertunjukan yang berlangsung awal Januari 1976 ini. Soal mutu? "Wah, saya tidak berani bicara", sambut Djamaluddin dengan senyum. Dan pemimpin grup teater yang satu ini pun mengumumkan sebuah pengakuan. "Saya terakhir nonton sandiwara di tahun empatpuluhan. Jadi bisa saudara bayangkan selera dan pcrkembangan saya,bukan?" Kepada Salim Said dari TEMPO Djamaluddin menyatakan keinginannya menonton pementasan berbagai teater mutakhir di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. "Tapi saya ini kan selalu sibuk kalau lagi ke Jakarta", keluhnya. Bukan cuma di Jakarta, juga di Ujung Pandang Djamaluddin selalu sibuk, hingga menyaksikan pementasan drama Dewan Kesenian Ujung Pandang yang memang jarang itu, juga tidak sempat. "Tapi saya selalu mengikuti kegiatan teman-teman dan bahkan ikut mendorong mereka", tukas Djamaluddin pula. Sebagai kepala intel, tentulah logis kalau kolonel ini mengetahui semua yang terjadi, dan dari pengetahuanya itulah ia bersama seniman-seniman Ujung Pandang ikut mendesak Wali Kota Patompo -- untuk segera membangun sebuah gedung kesenian yang pantas untuk kota yang berharap punya "dimensi budaya" itu. Juga dari kedudukannya yang amat strategis itulah barangkali Djamaluddin tahu bahwa kegiatannya berteater itu telah menarik banyak penonton dalam sekian malam berturut-turut. Katanya: "Kalau dari segi mutu barangkali saya dinilai kurang, dari segi, mendidik orang menonton pementasan saya yakin kegiatan kami telah berbuat banyak. Mudah-mudahan penonton yang saya bina ini kemudian bisa mendapat suguhan beragam sandiwara oleh seniman-seniman di kota ini". Kalimat yang terakhir ini diucapkan oleh Djamaluddin ketika baru saja menyinggung kedudukannya sebagai pejabat yang tidak bisa selalu berada di suatu tempat. "Sebelum MPP atau pergi dari sini, saya ingin meninggalkan sesuatu untuk Ujung Pandang".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus