FRENCH CONNECTION II
Sutradara: John Frankenheimer
Skenario: Alexander Jacobs, Robert dan Laurie Dillon.
***
BAGI mereka yang telah menonton French Connection I (TEMPO 7
oktober 1972), langkah-langkah berikut detektip "sinting"
Popeye Doyle bukan soal rumit untuk ditebak. Akhir-akhirnya
dua seri kisah pembasmian penyelundupan obat bius ini memang
jadi sepotong riwayat hidup detektip New York yang bernama
Doyle (Gene Hackman). Ia masih keras, bahkan lebih keras, dari
penampilannya dalam seri pertama dulu. Gagal menangkap Alain
Chernier (Fernando Rey) di New York, ia tiba di Marseille dengan
tekad yang lebih pasti.
Tapi seperti ketika di New York, juga di kota pelabuhan Perancis
ini Doyle banyak membikin ribut kolega-koleganya. Ketika di New
York ia pernah melepaskan tembakan yang mengakibatkan kematian
temannya. Di Marsille, adalah karena ketidaksabarannya juga
menyebabkan terbunuhnya seorang detektip oleh penembak gelap.
Bagi Doyle, Chernier bahkan telah menjadi musuh pribadi. Ketika
markas para penyelundup itu diserbu polisi, Doyle cuma
memperhatikan dan menguntit Chernier yang sempat lolos. Dan
untuk permusuhan yang sifatnya demikian barangkali saja Doyle
merasa tidak perlu tunduk pada aturan kepolisian Perancis. Tapi
justru karena itu pulalah ia akhirnya berhasil menemukan dan
membunuh buronannya.
Rasa-rasanys permusuhan pribadi detektip New York dengan
jagoan penyelundup Perancis itu juga menjadi pengetahuan atasan
Doyle. Itulah sebabya maka justru dia yang dikirim ke
Marseille, pusat kegiatan para penyelundup bius Perancis. Dan
dengan caranya sendiri, Doyle senang dengan tugas berat itu. Ia
bahkan sangat marah ketika koleganya di Perancis menyediakan dua
pengawal baginya. Risiko menghindari pengawal itulah yang ia
rasakan ketika terperangkap ke dalam sarang Chernier. Tiga
minggu ia di sana sebagai kelinci percobaan dengan dosis heroin
yang tinggi. Sebuah penderitaan yang hebat, tapi juga restu
tersembunyi. Kini jejak Chernier tertemukan. Dan dalam
keadaannya yang terdesak sebagai tamu kepolisian Perancis,
Doyle untuk kesekian kalinya memperlihatkan kesintingannya:
hotel bekas tempat penyiksaan dirinya ia bakar. Dan
"tikus-tikus" pengikut Chernier keluar terbirit-birit. Maka
diketahuilah markas Chernier sekaligus kapal berbendera Belanda
yang dipergunakan mengangkut selundupan ke New York.
Pertempuran, kejar-kejaran dan tentu saja juga bunuh-bunuhan.
Tidak puas dengan cuma mengobrak-abrik sarang musuh Doyle yang
menyembunyikan senjata di sepatu larsnya, berlari sepanjang rute
bis, sepanjang kade pelabuhan Marseille untuk akhirnya
mengakhiri hidup Chernier yang sudah merasa aman di atas perahu
pesiarnya itu.
Dalam bentuknya yang tampak, porsi-porsi jenis adegan dalam
seri kedua ini sebenarnya sama saja dengan yang mendahuluinya.
Ada kejar-kejaran mobil di seri pertama, di seri kedua muncul
kejar-kejaran manusia dengan bis dan kapal pesiar kematian
kolega polisi di seri pertama juga terulang pada yang
berikutnya. Kekasaran itu, kekerasan itu, semuanya dengan utuh
muncul kembali lewat pengerjaan yang rapi dan trampil.
Bisa juga lantaran ketrampilan itu maka film ini mengasyikkan.
Tapi rasanya ada yang lebih menarik dari itu. Ketika setiap
orang makin hari makin didesak menjadi polisi bagi diri,
keluarga dan harta bendanya di dunia yang makin rumit dan ruwet
ini, kehadiran polisi macam Doyle sudah pasti bagaikan musafir
haus yang jumpa mata air di tengah padang pasir. Adanya semacam
pemuasan diri dalam menikmati perjuangan Doyle, meskipun
kenyataan dalam jarak sekian menit dari pemutaran film ini
hanya akan meyakinkan kita bahwa Doyle yang "sinting" kini --
paling tidak di negeri kita -- cuma ada dalam gedung-gedung
bioskop setelah layar tersorot.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini