Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Melanggengkan Musik Orkestra

Sejak 1950-an, kelompok orkestra lahir dan mati silih berganti. Amadeus Orchestra memberi harapan untuk kelangsungan musik orkestra di Indonesia.

26 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejak 1950-an, kelompok orkestra lahir dan mati silih berganti. Amadeus Orchestra memberi harapan untuk kelangsungan musik orkestra di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria tambun itu menggendong alat musik besar dan berat terbuat dari tembaga tersebut dengan santai. Mengenakan jins dan kaus bertulisan "We Got Rhythm" di dadanya dan "Brass" di punggungnya, CEO PT Nusa Satu Inti Artha (Doku), perusahaan fin-tech, ini mengatakan ia baru lima bulan belajar main tuba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Thong Sennelius, sang CEO, disodorkan oleh Sekolah Musik Amadeus Indonesia untuk menunjukkan kepada penonton bahwa dalam belajar musik, tak ada kata terlambat. Thong memang sudah belajar alat musik lain, trombone, selama empat tahun di Amadeus. Tapi sebelumnya ia tidak bisa baca not balok. Ia bahkan sama sekali tidak tertarik pada musik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sekarang ia datang dua pagi sepekan ke sekolah dan berlatih di halaman parkir Ruko Simprug Gallery, Jakarta Selatan. Tidak peduli jika ditonton oleh tukang parkir, penjual angkringan, dan pelalu-lalang pagi hari," kata Grace Soedargo, pendiri Yayasan Musik Amadeus Indonesia.

"We Got Rhythm" adalah tajuk konser alat tiup brass, woodwind, dan perkusi Amadeus pada Kamis, 17 Mei lalu, di GoetheHaus, Jakarta Pusat. Tahun ini penting bagi sekolah musik tersebut karena merupakan ulang tahun ke-25 kehadiran ansambel alat musik gesek Capella Amadeus, yang dibentuk sekolah itu pada Juli 1993. Musikusnya para guru serta siswa yang berbakat.

Grace Soedargo, sang pendiri Amadeus, adalah pencinta musik gesek. Ia sejak masih kanak-kanak belajar biola. "Awalnya hanya kursus biola saat berusia 11 tahun, lalu saya sempat ikut Orkes Simfoni Remaja pada era Gubernur Ali Sadikin," ia berkisah.

Gemas ingin memperoleh pendidik yang bisa mengajarkan kepadanya nada biola yang tidak memekakkan telinga-dan berlawanan dengan keinginan orang tuanya-Grace melangkah ke Graz, Austria, dan masuk ke Die Universitat fur Musik und darstellende Kunst. Di sana ia memperoleh tiga ijazah, yakni untuk piano, biola, dan pedagogi musik. Keruan saja ia lulus pada 1991 dengan predikat summa cum laude.

Dalam 25 tahun kiprahnya, Capella Amadeus melakukan sekian langkah mengejutkan: antara lain lawatan pendidikan musik ke kota-kota di luar Jawa dan pergelaran musik klasik jalanan. Sekolah Amadeus juga tidak segan "mengangkat" anak yang menunjukkan minat dan memberikannya pendidikan tanpa bayaran. Sebanyak 30 persen siswa di situ, yang berjumlah 200 orang lebih, tidak dikenai biaya.

Ketika Goethe-Institut menawarkan bantuan, Grace cepat meminta seperangkat alat tiup brass dan musikus profesional untuk mengajari mereka menguasai alat-alat tersebut. Maka, mulai 2011 dan selama beberapa tahun, Amadeus memperoleh sederet guru alat tiup yang datang bergiliran dari Jerman. Dalam kurun tiga bulan, sekolah itu memperkenalkan kepada masyarakat sebuah ansambel baru: Amadeus Brass, yang menyajikan konser dengan pemain musikus-musikus alat gesek.

Kala itu, ansambel Capella Amadeus sudah berkembang menjadi Capella Amadeus Orchestra karena pemainnya semakin lengkap. Dengan kehadiran seksi alat tiup brass, akhirnya Capella Amadeus menjelma menjadi Amadeus Symphony Orchestra.

Konser "We Got Rhythm" memperkenalkan kepada khalayak bahwa Amadeus melangkah kian jauh, tidak saja memiliki seksi brass, tapi kini juga woodwind dan perkusi. Berapa tepatnya ansambel yang tercipta dalam 25 tahun?

"Kami punya Miniput untuk anak usia empat sampai enam tahun; lalu Capelilliput untuk usia enam sampai sembilan tahun; Capellita untuk usia sembilan sampai 13; Neo Capella untuk usia 13-18; Capella Amadeus String Ensemble, Amadeus Woodwinds, Amadeus Percussion yang oleh anak-anak disebut Ampere; dan Amadeus Grenadilla Clarinet Community," kata Grace sambil menghitung pada jarinya.

Dan tak kalah penting, "Tentu saja kami juga punya Amadeus Symphony Orchestra, yang mencakup seksi gesek, tiup brass, tiup kayu, perkusi-semuanya!"

Dalam diskusi dengan pers suatu saat, kritikus musik Gus Kairupan (almarhum) dan musikus trompet Erik Awuy pernah membahas kecenderungan tidak-langgengnya orkestra di Indonesia, yang sejak 1950-an lahir dan bermatian bagaikan bunga ditiup angin. "Karena orkestra-orkestra itu tidak memiliki pemain tetap. Kita nonton pemain viola di orkestra satu, tampil lagi dalam pertunjukan bulan depan dengan orkestra berikut," kata Gus Kairupan.

Persoalan mendasar lain adalah sedikitnya musikus tiup woodwind maupun musikus tiup brass yang dimiliki Indonesia. "Kecuali mereka main dalam marching band militer," kata Grace. Tanpa penetasan musikus dengan mutu baik secara kontinu, tidak mengherankan jika perkembangan musik ini di Indonesia kerap menemui kebuntuan.

Lebih jauh, "Tanpa basis klasik dan akademik untuk menjadi rujukan, karya pop dan eksperimental di cabang seni mana pun tak akan berkembang," kata sineas Garin Nugroho pada suatu kesempatan.

Malam itu, dalam "We Got Rhythm", paras musikus oboe Wirya Satya Adenatya berbinar-binar. "Jangan-jangan ini pertama kali di Indonesia ada konser khusus alat tiup," katanya. "Dengan kehadiran pendidikan, bakal kian banyak lahir pemain tiup di masa mendatang."

Dengan penyemaian musikus tiup dan perkusi yang berpendidikan (dan bukan otodidaktik semata), mungkin pesan yang diumbar oleh peristiwa ulang tahun ke-25 Amadeus Orchestra adalah ini: kelanggengan musik orkestra di Indonesia kini punya landasan harapan yang mantap. DEBRA H. YATIM

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus