Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seno Gumira Ajidarma membedah komik kuno Indonesia karya Mopizar.
Dari komik Indonesia keluaran 1960-an dan 1970-an itu, dia menggali bagaimana gagasan kejahatan muncul.
Komikus Mopizar bernama asli Mouna Pirous Zainal Arifin, abang dari A.D. Pirous, pelukis kaligrafi Indonesia.
MOUNA Pirous Zainal Arifin sudah menikah pada 1950 saat adiknya, Abdul Djalil Pirous—lebih dikenal dengan A.D. Pirous—yang berusia 18 tahun, datang bergabung dengannya dari Aceh ke Medan. Tahun itu Arifin tercatat tidak hanya berteater, tapi juga membuat kartun, poster film, potret wajah, lukisan dekoratif, dan kartu Lebaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas dorongan Mouna, A.D. Pirous, yang tidak disetujui ayahnya menjadi perupa (karena gambar itu “haram”) tapi dibela ibunya, juga memilih jalan seni rupa dan kelak terkenal sebagai seniman kaligrafi. Perjalanannya tercatat dalam penelitian seorang Arifin lain dari Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, “Sejarah dan Peran Abdul Djalil Pirous dalam Seni Lukis Kaligrafi Islam 1970-2012”, pada 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dunia komik Indonesia lebih mengenal Mouna Pirous Zainal Arifin sebagai Mopizar. Dalam ketiga komik gubahannya yang masih terlacak, Mopizar menggeluti tema kejahatan.
Tewasnya Iblis Bermata Satu (1968); Hukum Tanpa Hakim (1966), Lukisan Berdarah (pasca-1972). © 1968 MOPIZAR/U.P. NASIONAL; © 1966/PT WARGA RAYA: ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Seperti diketahui, bagi mereka yang skeptis terhadap kegunaan kata “kejahatan” (evil-skeptic), istilah kejahatan (evil) ternyata dianggap sebaiknya dihapus karena peluangnya untuk ditimpakan semaunya. Sekadar contoh, istilah “poros kejahatan” (axis of evil) yang ditimpakan Presiden Amerika Serikat George W. Bush pada 2002 terhadap Iran-Irak-Korea Utara telah menjadi stigmatisasi yang berhasil mengarahkan kebijakan politik luar negeri AS sampai hari ini. Padahal yang dilakukan Bush itu hanyalah tindak demonisasi (pengiblisan) yang penalarannya sulit dipertanggungjawabkan (David Frum, “The Enduring Lessons of ‘The Axis of Evil’ Speech”, 2022).
Betapapun, karena manifestasi kejahatan itu terbincangkan, dari kekerasan harian dalam rumah tangga sampai perbudakan dan genosida, penyelidikannya telah begitu merasuk dan berkembang sehingga terbentuk sejarah teoretisasi filsafat kejahatan. Namun pemikiran radikal atas kejahatan baru ditekuni secara berlipat ganda setelah peristiwa Holocaust: pemusnahan bangsa Yahudi oleh rezim Nazi di Jerman semasa Perang Dunia II.
Sembari menengok tiga komik Mopizar, yang menimba gagasannya dari wacana kejahatan, dapat diikuti sebagian dari perbincangan kejahatan yang merujuk pada “The Concept of Evil” (Todd Calder, 2022) ataupun “Criminal Man” (Cesare Lombroso, 2006).
Komik Tewasnya Iblis Bermata Satu
Dalam judul Tewasnya Iblis Bermata Satu (1968) dikisahkan tentang Aman, murid Guru Suci dari Gunung Cireme. Dia ditugaskan oleh gurunya itu untuk menjemput Nena, putri Pa’ Samik, seorang guru silat di Gunung Gede yang baru saja meninggal. Guru Suci bermaksud merawat putri sahabatnya itu.
Saat lewat Desa Panyingkiran dan masuk ke warung, Diding, anak kepala desa, ingin unjuk kegagahan di depan Nena dengan berbuat kasar terhadap Aman. Hasilnya, dia sendiri yang malu, baik di dalam warung maupun ketika bertarung di luar.
Diding dipermalukan di warung. Meski kejahatannya hanya bertingkat “kurang ajar”, basis reguler membuatnya tergolong berkarakter jahat (evil character). © 1968 MOPIZAR/U.P. NASIONAL BANDUNG
Setelah membayar makanan, Aman dan Nena melanjutkan perjalanan sampai harus menginap di rumah kosong. Di situlah Nena diculik oleh Silum Sari, nenek siluman (bukan manusia), dengan maksud menjodohkannya kepada anaknya, Pangeran Pitok, calon penguasa kerajaan siluman yang berwujud puing reruntuhan istana di tengah hutan.
Tentu Nena tidak bersedia dan berusaha membebaskan diri dari pelecehan Pitok, yang berhasil merebut pedangnya. Aman, yang membuntuti Silum Sari, muncul pada saat dibutuhkan. Pitok dikalahkan dan Nena dibawa lari. Agar aman dari pengejaran Silum Sari, mereka harus segera tiba di kaki Gunung Bongkok.
Sesampai di sana, Silum Sari ternyata berhasil mengejar dan bertarung dengan Aman, yang hampir kalah jika Guru Suci tidak mengirim serangan dari jauh. Saat Aman dan Nena sampai ke puncak Gunung Bongkok, Guru Suci tidak di situ karena sudah turun untuk menghadapi Silum Sari.
Pertarungan ini bukanlah antarmanusia, melainkan antara siluman dan manusia. © 1968 MOPIZAR/U.P. NASIONAL BANDUNG
Dalam perbincangan tentang duduk perkara, Silum Sari mengatakan Aman menculik menantunya, yang segera disangkal bahwa Nena tentunya yang diculik lebih dulu. Tertegaskan di sana, gagasan bahwa manusia kawin dengan siluman tidak bisa diterima. Lantas, dalam pertarungan silat dan sihir, Silum Sari berhasil ditewaskan oleh Guru Suci. Di puncak Gunung Cireme, sebelum cerita berakhir, Guru Suci pun melamar Nena untuk Aman.
Konsep kejahatan di sini tetap hidup, tapi bukan karena dibangkitkan kembali (evil-revivalist), yang merupakan lawan pandangan evil-skeptic, melainkan karena memang tidak pernah mati. Bukan saja sebagai pandangan esensialis bahwa kejahatan merupakan anasir substansial, tapi juga monistik, yakni berwujud konkret, dalam hal ini makhluk siluman, meski bentuknya manusia.
Kejahatan dalam panil ini dimengerti sebagai daya adi-alami (supernatural), yang hanya cocok dalam konteks religius dan fiksi. © 1968 MOPIZAR/U.P. NASIONAL BANDUNG
Dalam sejarah, konsep kejahatan tentulah merupakan perumusan tertua sehingga dalam salah satu pertimbangan mutakhir dianggap bahwa rujukan kepada roh adi-alami, kekuatan hitam, dan monster hanya cocok sebagai konsepsi fiksi atau religius. Namun, di luar itu, ternyata penggunaan sekuler masih dirumuskan bagi konteks moral dan politik (Garrard 2002, 325; Card 2010, 10–17), seperti bisa diujikan pada komik-komik Mopizar yang lain nanti.
Pendekatan sekuler “obyektif” dalam kriminologi ini bahkan pernah melakukan kesalahan fatal ketika peneliti seperti Lombroso (1835-1909) sebagai perintis bidang ilmu itu membuat pembedaan antara orang kriminal dan non-kriminal berdasarkan fisionominya (Lombroso 2006, 50-7). Di satu pihak seperti belum bebas dari stereotipe mitologis (jahat = buruk). Di pihak lain seperti membenarkan kebersalahan dalam kehidupan sehari-hari ataupun imajinasi (tampang kriminal = penjahat). Seperti wajah para peran dalam Tewasnya ini.
Dari kiri ke kanan, fisionomi peran Nena, Diding, Silum Sari, Pitok, Aman, dan Guru Suci yang mengikuti stereotipe baik-jahat mitologis. © 1968 MOPIZAR/U.P. NASIONAL BANDUNG
Komik Hukum Tanpa Hakim
Hukum Tanpa Hakim berkisah tentang Karso yang sejak awal sudah disebut berwatak jahat dan kejahatannya sungguh akut. Karso memang mencintai Mimi, perempuan materialis yang tidak bisa dimilikinya dan nyaris ia bunuh pula setelah dia membunuh Hadi yang sedang berkencan dengan Mimi.
Dalam kejaran polisi. Mopizar memainkan sudut pandang. © 1979 MOPIZAR/ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Teriakan Mimi mengundang polisi dan Karso pun lari. Dalam pelarian, ia mencuri mobil yang di dalamnya terdapat tas berisi uang.
Panil ini tentu merupakan penanda zaman penting. © 1979 MOPIZAR/DOK. IWAN GUNAWAN
Karso terus melarikan mobil sampai ke luar kota dalam kejaran seorang polisi. Di jalan berkelok pegunungan, mobil itu menabrak tebing di pinggir jalan, sehingga Karso meneruskan pelariannya dengan mendaki pegunungan itu.
Polisi yang juga mendaki kemudian berhasil menangkapnya. Dia memborgol sebelah tangan Karso dan sebelahnya lagi untuk tangannya sendiri agar Karso tidak bisa lari. Namun, saat polisi itu lengah, Karso memukul kepalanya dengan batu dari belakang. Polisi itu tewas, tapi kunci borgolnya lenyap di celah batu, membuat Karso terbebani mayat polisi itu ke mana pun ia pergi di dataran tinggi tandus tersebut.
Setelah mayat itu membusuk, burung-burung elang pemakan bangkai mulai mematuki mayat polisi itu sampai tinggal kerangka. Lantas, karena burung-burung itu belum kenyang, Karso yang masih hidup dipatuki pula, juga sampai tinggal kerangka.
Teror dan horor sebagai karma: bentuk kejahatan yang menimpa penjahat. © 1979 MOPIZAR/DOK. IWAN GUNAWAN
Dibuka dengan bocoran bahwa kejahatan berbuah karma, yakni dihukum oleh kekuatan adi-alami, pengenalan kejahatan sebagai karakter (bawaan?) Karso berpeluang menimbulkan ambiguitas atas dosa-dosanya.
Teori kontemporer atas karakter jahat (evil character/evil personhood) terbagi dalam pertimbangan regularitas ataupun disposisional (“sudah wataknya”) di satu pihak, dan berdasarkan perilaku (action-based), berdasarkan pengaruh (affect-based), atau berdasarkan motivasi di pihak lain. Variabel yang menggabungkan keduanya, sebagian, atau keseluruhan disebut pertimbangan agregatif (Russell 2014), seperti regularitas berdasarkan perilaku (Kekes 2005) atau disposisional berdasarkan motif (Calder 2009).
Tanpa caption yang mengarahkan, wajah peran Karso tidak dengan sendirinya tertafsir sebagai penjahat, menggugurkan fisionomi orang jahat Lombroso. © 1979 MOPIZAR/ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Menurut pertimbangan regularitas, pribadi jahat terbiasa memiliki sifat berbuat jahat (evil-making properties) secara reguler; sementara menurut pertimbangan disposisional, pribadi jahat tidak perlu memiliki sifat berbuat-jahat—berwatak jahat sudah memadai untuk berbuat jahat.
Pertimbangan berdasarkan perilaku menentang pendapat bahwa sifat berbuat jahat merupakan jenis-jenis perilaku tertentu, yakni perilaku-perilaku jahat. Pertimbangan berdasarkan pengaruh menentang pendapat bahwa sifat-sifat berbuat jahat adalah jenis-jenis motivasi tertentu, seperti keinginan jahat.
Sejumlah teoretikus berdalil perihal lebih dari satu sifat-sifat berbuat jahat. Misalnya bahwa perilaku jahat dan perasaan jahat adalah sifat berbuat jahat (Russell 2014, 292); ataupun bahwa perasaan jahat dan motivasi jahat adalah sifat-sifat jahat (Haybron 2002, 269).
Bagaimana dengan Karso? Faktor Mimi yang dicintainya mungkin membawa kepada pertimbangan berdasarkan pengaruh. Tapi memukul Hadi dan polisi sampai mati, dan di antaranya mencuri mobil, seperti menunjukkan regularitas. Ini menjadikannya makhluk terburuk yang secara moral layak dikutuk. Mungkinkah karena itu diperlukan kejahatan alam yang tak berdosa untuk menghentikannya sebagai bentuk karma?
Dapat diterima secara purba, dalam nalar religi dan dongeng, dalam dunia praktis belum terlalu dimasukakalkan adanya fakta bahwa seorang pembunuh yang suatu ketika membunuh, secara massal sekalipun, sangatlah jarang, jika memang pernah, memiliki sifat-sifat berbuat jahat. Jadi regularitas kejahatan karakter tidak dapat dipastikan, sebagai konsep tak dapat berlaku dan karena itu tergugurkan.
Komik Lukisan Berdarah
Dalam Lukisan Berdarah, Safran adalah seorang pelukis muda miskin yang menjalin hubungan dengan Niar, anak orang kaya. Ayah Niar melarang hubungan itu karena masa depannya terandaikan suram. Namun Niar melawan larangan itu dan menikah dengan Safran.
Ternyata kehidupan finansial mereka memang berat karena lukisan-lukisan Safran, yang dipajang di depan sebuah restoran, belum ada yang laku.
Suatu malam, di suatu jalan, sebuah mobil dengan cepat melintasi genangan air dan airnya menciprati Safran. Tentulah Safran marah.
Mobil itu kemudian menabrak tiang, rusak parah, dan pengemudinya tewas. Tidak bisa menolong, Safran mampu menggambarkan pemandangan yang dilihatnya. Lukisan ini esoknya sudah jadi dan langsung laku.
Proses kreatif lukisan berdasarkan kecelakaan. Lukisan pertama yang laku setelah berumah tangga. © MOPIZAR/ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Bochari, pembelinya, bersedia membeli lukisan-lukisan kecelakaan yang lain, selama bukan imajinasi, melainkan berdasarkan kecelakaan yang dilihat langsung oleh Safran.
Kolektor ini menolak seni sebagai imajinasi. Ia menghendaki tiruan kecelakaan secara radikal. Sumber kejahatan atau bukan? © MOPIZAR/ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Proses lahirnya kejahatan. © MOPIZAR /ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Ini tentu sulit. Dompet Safran menipis dan Niar, yang sakit dan harus dioperasi, menunggu uang untuk membayar biayanya. Jika operasi tidak dilakukan, dengan dukungan obat-obat mahal, Niar pun akan kehilangan nyawanya.
Maka di tempat sepi Safran memukul seseorang dengan batu agar dapat menghasilkan lukisan yang sesuai dengan konsep sang kolektor. Orang itu pun mati, walau Safran tidak bermaksud membunuhnya.
… dan terjadilah kejahatan itu. MOPIZAR/ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Ia segera membuat lukisannya dan langsung dibayar Bochari. Dengan uang itu, Safran bergegas naik becak yang mengebut ke rumah sakit. Namun adalah Dokter Purwo, ahli bedah yang seharusnya melakukan operasi itu, yang terbunuh olehnya.
Becak mengebut. Panil ini pun menjadi penanda zaman.© MOPIZAR/ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN
Kejahatan dalam Lukisan Berdarah ini memuat sejumlah gejala pada pertimbangan berdasarkan pengaruh (affect-based accounts). Dalam konteks ini, orang jahat disebut memiliki jenis perasaan-perasaan tertentu atawa emosi. Suatu karakter jahat mendapat kesenangan dari penderitaan dan penderitaan dari kesenangan (McGinn 1997, 62).
Benarkah? Walau sadisme dan kejahatan iri hati menjadi paradigma, terdapat alasan untuk percaya bahwa perkara mendapat kesenangan dari penderitaan dan sebaliknya tidaklah perlu dianggap memadai sebagai karakter orang jahat. Mengapa? Karena bagi karakter jahat, meski terus-menerus menyakiti korbannya, ia bisa melakukannya tanpa perasaan apa pun (Calder 2003, 368).
Masalahnya, jenis-jenis perasaan seperti kesenangan dari penderitaan orang lain ini mungkin saja tidak disengaja dan tak didukung orang yang memilikinya—seperti ketika ia merasa bersalah dan takut kepada dirinya sendiri, ketika tersadar telah menikmati perasaan sadisnya dari melihat penderitaan orang lain. Terlalu kasar menyebut orang seperti ini jahat. Lebih baik dikasihani karena menyebutnya jahat sama seperti menyalahkan gerak refleksnya (Calder 2003, 368–369).
Di sini jelas bahwa Safran mendapat pengaruh. Sebelum berjumpa dengan Bochari, ia hanyalah pelukis bersemangat, rajin, dan tidak beruntung—tapi jelas tidak memikirkan penderitaan korban ketika memukulnya dengan batu dan masih begitu ketika melakukannya saat didorong oleh kondisi hidup-matinya Niar.
Jadi, dalam pertimbangan kejahatan berdasarkan pengaruh, apakah Safran bukan orang jahat walau menyakiti orang tanpa perasaan? Hukum dengan mudah menjeratnya, tapi perumusan konsep kejahatan akan penuh perdebatan. Tentu juga menarik mempertimbangkan posisi Bochari, yang tidak melakukannya sendiri, tapi jelas bahwa dialah sumber gagasan “menciptakan kecelakaan sendiri” tanpa perasaan yang dikerjakan Safran. Apakah kejahatan Bochari lebih besar atau lebih kecil daripada berbuat-jahatnya Safran?
Posisi Bochari dapat diperiksa melalui konsep pertimbangan disposisional, yang menentang pendapat bahwa seseorang karakternya jahat hanya jika cenderung memiliki sifat berbuat jahat. Persoalan potensial dengan pertimbangan disposisional adalah konfliknya dengan intuisi, bahwa orang jahat itu jarang karena sebagian besar orang cenderung memiliki sifat berbuat jahat dalam jenis situasi tertentu (Russell 2014, 159).
Dalam eksperimen Stanley Migram pada 1974, ditunjukkan bahwa sebagian besar orang cenderung menampilkan tindakan jahat (seperti menyetrum orang tidak bersalah) dalam kondisi eksperimental (demi pengkajian atas hukuman dan pembelajaran).
Eksperimen Milgram itu dirancang untuk menjelaskan bagaimana ribuan orang biasa (‘orang baik-baik’) dapat memainkan peran dalam pelaksanaan Holocaust semasa Nazi berkuasa. Tersaran, sebagian besar orang cenderung menampilkan tindakan jahat ketika dipengaruhi, dimanipulasi, atau ditekan untuk melakukannya oleh tokoh-tokoh autoritas, seperti banyak orang di Jerman Nazi (Russell 2014, 170–173).
Namun, jika memang begitu, berarti orang yang cenderung jahat itu bukannya jarang. Berlangsung silang pendapat atas terdapatnya faktor kondisi keberpihakan otonomi (autonomy-favoring conditions), suatu kondisi ketika yang berbuat jahat tidak ditipu, diancam, dipaksa, atau ditekan, dan karena dapat melakukan apa pun sesuai dengan kemauannya.
Faktor ini akan mempengaruhi apakah seseorang akan menjadi sangat cenderung jahat atau sedikit cenderung jahat. Jika diajukan pertimbangan disposisional secara ketat, seseorang menjadi sangat jahat hanya apabila berada dalam kondisi keberpihakan otonomi (Russell 2014, 72–75).
Menurut Russell, meskipun sebagian besar orang sangat cenderung menampilkan tindakan jahat dalam skenario Milgram, karena skenario Milgram tidak berada dalam kondisi keberpihakan otonomi, sebagian besar orang bukanlah pribadi jahat.
Calder menyanggah pendapat Russell itu karena tidak jelas apakah pertimbangan disposisional ketat adalah perbaikan dari sekadar dasar-dasar pertimbangan disposisional, bahwa kecenderungan seseorang untuk menampilkan tindakan jahat itu kuat (Calder 2015b, 356–357).
Eksperimen Milgram yang mengejutkan dan membuat subyek tertekan, membuat mereka tidak mau meneruskannya. Artinya, subyek eksperimen Milgram menampilkan kecenderungan kuat menampilkan tindakan jahat, hanya ketika dikejutkan oleh keadaan baru eksperimen Milgram, bukan sesuatu yang berlangsung secara berkelanjutan dalam keadaan itu.
Apabila seseorang tidak mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat secara berkelanjutan, orang itu sebenarnya tidak mempunyai kecenderungan kuat untuk berbuat jahat. Sedangkan jika subyek eksperimen Milgram bersedia ambil bagian dalam lanjutan eksperimen, tidak juga bisa dipastikan apakah mereka bukan orang jahat.
Keberatan kedua terhadap Russell, pendapat tersebut dibuat khusus untuk menangkap intuisi yang tidak terdapat pada sebagian orang: bahwa banyak orang tidak bisa menjadi orang jahat di lingkungan mana saja, bahkan di lingkungan politik yang berlawanan sekalipun. Gagasan Russell, jika banyak orang cenderung berbuat jahat dalam situasi tertentu, seperti di dalam Jerman Nazi, ia bukanlah orang jahat jika cenderung melakukan tindakan jahat hanya dalam situasi tersebut.
Alasan ini mungkin saja ditolak karena banyak orang cenderung rawan untuk menjadi jahat di lingkungan itu sehingga siapa pun perlu tetap waspada (Calder 2022, 28).
Dalam hal hubungan antara Bochari dan Safran, Bochari adalah sosok otoritas dalam kondisi keberpihakan otonomi, sedangkan Safran tergolong menjadi jahat dalam pertimbangan berdasarkan pengaruh (affected-based accounts). Situasi yang ia alami adalah keberadaan pelukis miskin yang tidak berdaya menghadapi kuasa kolektor dengan tuntutan spesifik: lukisan berdasarkan kecelakaan orang lain yang dibuat sendiri. Situasi yang melahirkan narasi Lukisan Berdarah.
Kejahatan sebagai Sumber Kejahatan
Ketiga komik Mopizar ini mengolah kejahatan sebagai sumber kejahatan, yang memperlihatkan gejala kejahatan, dari esensialisme purba sampai konstruktivisme kontemporer.
Judul Tewasnya Iblis Bermata Satu, sebagai yang pertama, sebetulnya membingungkan karena yang bermata satu adalah Pitok—yang tidak begitu penting, karena peran yang menjadi ancaman adalah Silum Sari.
Dalam genre komik silat, hadirnya kejahatan tentu saja klasik. Namun yang terjadi di sini, representasi kejahatannya bukan peran manusia, melainkan siluman. Persoalan tematiknya pun: manusia tidak bisa kawin dengan siluman. Kejahatan hadir sebagai materialisme konkret, bukan idealisme abstrak. Esensialismenya radikal karena berwujud, seperti fasilitas monistik bagi kejahatan. Bayi siluman, dalam nalar religius dan fiksi, sejak dalam kandungan sudah jahat, bukan?
Hukum Tanpa Hakim adalah titik pergeseran, meski belum beranjak, karena terdapat dua aspek: (1) religius, sehingga Karso yang berada jauh di atas gunung bisa terhukum—meski benarkah tanpa hakim?; (2) sekuler, karena dibakukan Karso berkarakter jahat dan terus berbuat jahat sehingga terdorong ke arah pertimbangan regularitas (regularity accounts), walau kejadian dalam alurnya belum cukup memberi segenap fakta dan tidak adil pula menuntutnya dari fiksi. Betapapun, bukankah tidak mungkin bayi manusia begitu lahir langsung jahat?
Alur Lukisan Berdarah tentu lebih dari biasa, bukan hanya karena cukup jarang (1) berkesenian dipersandingkan seiring sejalan dengan kejahatan, tapi juga (2) merekam proses beralihnya suatu pribadi, dari yang murni bekerja secara bersih untuk hidup menjadi berbuat jahat demi kehidupan itu juga. Adapun (3) pembelajaran wacana kejahatan dapat dikatakan memadai dalam komik ini, dengan representasi sosok otoritas dalam kondisi keberpihakan otoritas ataupun seseorang yang berlaku jahat dalam kategori kejahatan berdasarkan pengaruh. Bagaimana mempertimbangkan kejahatan keduanya?
Dari yang terakhir ini perlu dicermati proses konstruksinya, bagaimana Safran yang begitu layak menarik empati dalam perjuangan hidupnya terbentuk menjadi pembunuh karena berbagai faktor sosial-ekonomi yang tak terhindarkan. Bahwa yang dibunuhnya ternyata calon penyelamat nyawa Niar adalah twist demi faktor kodrat—tapi ini sebaiknya diabaikan karena lebih produktif bagi wacana jika bukan kodrat yang membuatnya menjadi pembunuh.
Kejahatan lain? Rancangan cover Tangan Mencencang Bahu Memikul, yang berakhir dalam gambar ulang oleh Hasmi. © MOPIZAR /ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN © MOPIZAR © HASMI
Jika kejahatan itu esensi dan ini tinggal fiksi, kriminalitas itu konstruksi. Tampak sederhana, penjelasan yang bertanggung jawab berpeluang menjadi rumit. Namun ketiga komik gubahan Mopizar atawa Mouna Pirous Zainal Arifin ini bisa membantu pemahaman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo