Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mencari Identitas dalam Tubuh

Wulandani memamerkan karyanya berdasarkan hasil cetakan tubuhnya sendiri. Sayang sekali, karyanya memperkuat kesan stereotip.

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran Seni Rupa 'Portable Body' Oleh : Wulandani Waktu : 28 April-23 Mei 2001 Tempat : Galeri Barak, Bandung Portable Body adalah tubuh Wulandani. Pameran ini disajikan berdasarkan bentuk torso perempuan yang merupakan hasil cetakan dari tubuh sang perupa sendiri. Sang seniman menyusun kembali replika tubuhnya dalam beberapa karya yang terbuat dari resin. Menampilkan tubuh dalam praktek seni rupa saat ini bisa saja diartikan berkeinginan mengusung persoalan politik identitas. Tubuh itu ditampilkan melalui karya seni yang merepresentasikan sederet makna metaforis. Hal ini memungkinkan pemaknaan yang tidak dapat dikontrol oleh sang seniman sendiri. Agaknya hal itulah yang terjadi dalam pameran ini. Karena yang ditampilkan adalah tubuh sang seniman sendiri, tidak bisa lain yang muncul adalah persoalan sang seniman, yang dalam hal ini bisa ditarik pada persoalan gender. Secara umum, yang tampil dari karya Wulandani adalah kesan perempuan sebagai korban, dan persoalannya. Tentu saja ini kesimpulan yang terlampau sederhana dan stereotip. Karyanya yang berjudul Cautionary Tales terdiri dari lima kotak kayu yang tiga di antaranya terdiri dari bingkai daun penutup berbentuk dada perempuan. Pada bagian dalam, tampak tergantung figur hitam kecil bersayap, tampil seperti korban yang amat menderita. Dua kotak lainnya menunjukkan model baju pengantin perempuan, lengkap dengan sanggul dan aksesorinya. Karya ini, apa boleh buat, menggiring kita pada makna posisi perempuan yang telah ditetapkan oleh konstruksi budaya modern yang menganut patriarki. Apa yang dikatakan oleh kurator pameran ini mungkin ada betulnya, bahwa sang seniman hanya berkehendak menampilkan pengalaman dan kesadarannya sebagai liyan (the other). Mungkin di sini pula kelemahan karya Wulandani, sehingga karyanya merupakan pemaparan apa adanya tentang posisi perempuan sebagai liyan yang disubordinasi oleh kelompok lelaki. Dengan demikian, yang tampil adalah cerita usang tentang penderitaan dan keterpurukan perempuan. Karya-karya Wulan tampil terlalu serius dan naratif untuk bisa dikategorikan baik sebagai karya parodi maupun karya yang bertujuan membalik makna (apropriasi) sebagaimana umumnya karya seniman feminis. Sebagai akibatnya, karya-karyanya kurang memberi jalan bagi munculnya alternatif bacaan atau pemaknaan yang keluar dari bingkai stereotip. Pernyataan kurator bahwa karya Wulandani memiliki potensi pembalikan orientasi representasi obyek pada karya yang menyangkut figur perempuan, menurut saya, kurang terlihat. Sebaliknya, karya Wulandani semakin memperkuat kesan perempuan sebagai obyek. Mungkin akan lain halnya jika sang seniman justru memiliki motif. Dengan kata lain, menempatkan dirinya sebagai subordinasi pesan-pesan feminis yang memungkinkan akan adanya strategi dan sofistikasi pada penyusunan teks visual pada karya-karyanya. Salah satu karya yang cukup kuat sebagai representasi persoalan bias gender adalah Second Skin, berupa baju berbentuk torso yang masing-masing terbuat dari kulit, lateks berlapis cat biru, dan lateks yang diterapi daun dan bunga-bunga kain. Ini adalah karyanya yang terkuat dan kritis mengenai bias gender karena bisa diartikan sebagai penggambaran posisi dan identitas perempuan dalam budaya modern, yang sesungguhnya merupakan konstruksi budaya yang disusun oleh para penguasanya: kaum lelaki. Kesadaran identitas bisa ditarik dari pihak sang subyek ataupun sang obyek, tergantung siapa atau pihak mana yang sedang menyusun identitas tersebut serta siapa yang membaca teks tersebut. Karya ini merupakan karya yang memberikan kesadaran mengenai cair dan tidak ajeknya persoalan identitas (tepat sekali menempatkan karya tersebut tergantung mengambang), menunjukkan bahwa identitas adalah seperti baju yang bisa diganti-ganti, identitas adalah juga persoalan yang terbuka untuk terus-menerus direvisi. Judul pameran ini adalah Portable Body: mengindikasikan bahwa tubuh—dalam hal ini tentunya tubuh perempuan—bisa dipindahkan, diperlakukan, diletakkan sekenanya. Pertanyaannya: siapa atau pihak mana yang menempatkannya? Perempuan itu sendiri ataukah yang lain? Satu hal yang mungkin perlu direnungkan sang seniman adalah sulitnya mengangkat persoalan perempuan—apalagi tetap berusaha dalam posisi netral—karena konstruksi yang telah terbentuk mengenai posisi perempuan dalam masyarakat modern yang kapitalis dan menganut patriarki. Sering kali perupa yang ingin berbicara persoalan bias gender dihadang oleh pilihan simalakama: menampilkan persoalan secara tersembunyi dan pasif, sebagaimana peran yang terbentuk mengenai posisinya, atau muncul secara lantang, sebagaimana kelompok yang dikritiknya, laki-laki. Tetapi, tanpa harus mengaitkannya dengan teori feminisme, untuk konteks dunia seni rupa kontemporer Indonesia, karya Wulandani memiliki kekuatan, yaitu cenderung naratif dan asosiatif sehingga lebih mudah dibaca dan disusun dengan visualisasi yang menarik dan pas. Sang perupa menyadari bahwa dia terutama tengah membuat karya seni, walaupun menyangkut politik identitas. Asmudjo Jono Irianto, Kurator dan staf pengajar ITB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus