Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
The Japan Foundation dan Galeri Nasional Indonesia menghadirkan pameran boneka Jepang.
Kebudayaan boneka sudah mengakar pada kehidupan masyarakat Negeri Sakura itu.
Boneka Jepang bukan sekadar mainan anak, melainkan tradisi, seni, dan kebudayaan.
Boneka Takasaki Daruma menjadi penyambut pengunjung di Gedung D Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Boneka berkelir merah dengan ukuran tak lebih besar dari galon air minum kemasan itu menjadi bagian dari pameran bertajuk NINGYO: Art and Beauty of Japanese Dolls.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daruma sejatinya tak asing bagi masyarakat Jakarta. Boneka kertas berbentuk bulat dengan gambar wajah itu kerap menjadi hiasan restoran atau toko khas Jepang. Menurut budaya masyarakat Jepang, boneka Daruma dipercaya membawa keberuntungan dan harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu adalah salah satu boneka yang dipamerkan hingga 24 Juli mendatang. Pameran ini hasil kerja sama The Japan Foundation dan Galeri Nasional Indonesia. Selain di Jakarta, pameran boneka Jepang ini akan berlanjut di Surabaya pada 23 Agustus-12 September 2023 dan Denpasar pada 30 September-15 Oktober 2023.
Puluhan pengunjung tampak menikmati 67 karya boneka yang disajikan saat Tempo berkunjung, Jumat lalu, 14 Juli 2023. Sepasang boneka Tachisugata Dairi-bina menjadi salah satu yang paling banyak dijadikan obyek foto oleh pengunjung. Boneka ini berwujud sepasang kaisar dan permaisuri yang memakai busana khas kekaisaran pada zaman Edo (1603-1868).
Koleksi boneka yang di pameran NINGYO. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Boneka kaisar tampak mengenakan kimono berkelir putih lengkap dengan topi hitam sewarna rambut yang menjulang. Adapun boneka permaisuri memakai kimono perpaduan warna merah dan hijau. Tak lupa rambut boneka permaisuri dibikin mengembang layaknya konde besar khas budaya Jawa dan mahkota kecil.
Nabila, salah satu pengunjung, sangat antusias mengambil gambar sepasang boneka tersebut. Menurut perempuan berusia 18 tahun itu, sepasang boneka Tachisugata Dairi-bina punya napas budaya Jepang yang sangat kental.
"Sangat Jepang. Menarik banget kalau diunggah di media sosial saya," kata perempuan yang mengagumi hal-hal bertema Jepang itu.
Tak jauh dari situ, ada boneka Kaisar Jimmu, kaisar pertama Jepang. Boneka ini memiliki tinggi sekitar 30 sentimeter yang berbentuk seorang pria mengenakan kimono berkelir emas. Boneka itu dilengkapi kumis dan janggut hitam yang panjang.
Boneka tersebut ditampilkan dengan lima anak panah yang melekat di punggung dan dua anak panah lainnya di tangan kanan. Tangan kirinya memegang tongkat dengan hiasan burung yang mengepakkan sayap di ujungnya.
Boneka tersebut menggambarkan sebuah legenda sebelum Jimmu menjadi kaisar. Diceritakan dalam sebuah pertempuran, seekor burung elang hinggap di ujung tongkatnya hingga menyilaukan musuh. Singkat kata, boneka ini menjadi representasi sejarah Jepang.
Selanjutnya, ada boneka berjudul Shoki yang ukuran dan kesan gagahnya menyerupai boneka Kaisar Jimmu. Boneka ini memiliki wajah merah terang dengan kumis dan janggut yang sangat panjang nan mengembang. Memakai kimono berkelir merah dan emas, ia tampak memegang sebilah pedang di tangan kanannya.
Koleksi boneka yang di pameran NINGYO. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Boneka Shoki merupakan sosok dewa kuno Cina, tepatnya berasal dari Dinasti Tang pada 618-907. Diceritakan bahwa Shoki adalah dewa yang mampu mengusir roh jahat.
Ada pula boneka Tenjin yang sedang duduk sembari memakai kimono dengan warna perpaduan emas, merah, dan hitam. Menurut kebudayaan Jepang, Tenjin adalah sosok dewa dari Sugawara no Michizane, seorang cendekiawan pada masa Heian (794-1185).
Ia adalah pria yang jenius dan jujur. Setelah meninggal, rohnya dijaga dalam sebuah kuil Shinto untuk dihormati sebagai dewa pengetahuan. Oleh masyarakat Jepang, boneka ini dipajang sebagai doa dengan harapan anak laki-laki dapat tumbuh menjadi pria yang cerdas dan jujur, seperti Michizane.
Kurator pameran Mita Kakuyuki dalam catatannya menulis bahwa ningyo atau boneka sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jepang. Setidaknya, keanekaragaman ningyo bisa dikaji atau dikaitkan dalam empat sudut pandang.
Pertama, boneka-boneka atau ningyo punya kaitan dengan doa perkembangan anak. Pada masyarakat Jepang terdapat budaya yang mempercayai boneka bisa menjadi media penolak bala pada anak. Sebagai contoh, terdapat boneka Amagatsu dan Hoko yang sekilas berbentuk cukup mengerikan bagi masyarakat Indonesia.
Betapa tidak, boneka yang bisa dibuat dari kain dan kayu itu sekilas mirip dengan boneka jalangkung atau boneka santet. Terlebih, kedua boneka itu berwarna putih, bahkan ada yang dipasangi rambut.
Menurut Mita, boneka Amagatsu dan Hoko dirancang untuk melindungi bayi dari berbagai bahaya. Khusus untuk Amagatsu, boneka tersebut berasal dari istana kekaisaran Jepang lebih dari 1.000 tahun lalu. "Karena sebuah kebiasaan memasangkan kain bayi pada lengan boneka lebih dulu sebelum mengenakannya kepada bayi," tutur Mita.
Kedua, ningyo dianggap sebagai seni rupa oleh masyarakat Jepang. Sejak beberapa ratus tahun lalu, kalangan atas dan kekaisaran sangat menyukai boneka sebagai karya seni. Boneka dimaksudkan itu haruslah dibuat dengan rapi dan sehalus mungkin. Bahannya pun beragam, dari kayu, serbuk gergaji, hingga kain, yang wajib dikelir dengan cat putih tebal.
Ketiga, boneka menjadi bagian dari seni rakyat. Menurut Mita, boneka tak sekadar disukai kalangan atas. Rakyat biasa pun suka dengan boneka, bedanya boneka yang dibuat bukanlah berbahan kayu dan kain mahal.
Sebagai contoh, boneka kokeshi berbentuk seperti tabung kayu dengan diameter tak lebih dari 5 sentimeter serta tinggi 20-30 sentimeter. Di ujung atas terdapat bulatan yang punya ukuran lebih besar dibanding ukuran tabung. Bulatan itu lantas digambar wajah manusia. Adapun bagian tabung atau tiangnya dilukis dengan berbagai motif, dari garis-garis sampai motif daun dan lainnya.
Pengunjung mengamati boneka yang di pameran NINGYO . TEMPO/ Febri Angga Palguna
Mita Kakuyuki mengatakan kokeshi adalah boneka kayu rakyat yang sudah muncul pada abad ke-19 sebagai hadiah untuk anak-anak. Boneka-boneka itu lazimnya dijual di kota, seperti daerah pemandian air panas. Menurut Mita, boneka ini menjadi bukti bahwa perajin kayu Jepang sudah lama menggunakan teknik bubut dalam mengolah kayu sebagai hasil kerajinan.
"Boneka ini dikenal karena ekspresi santai yang diaplikasikan dengan sentuhan ringan serta pewarnaan dasar merah yang melambangkan perlindungan dari penyakit," Mita menulis.
Terakhir, ningyo juga bersentuhan dengan penyebaran kebudayaan Jepang. Dalam hal ini, Mita menyebut ningyo sudah merambah hingga pertunjukan tradisional. Ia mencontohkan boneka Joruji Ningyo yang punya ukuran besar dengan tinggi 100-120 sentimeter.
Dalam pameran kali ini, Joruji Ningyo ditampilkan seperti seorang prajurit yang memakai baju zirah khas Jepang. Boneka ini memiliki wajah berkelir putih dengan hiasan ekspresi garang.
Mita mengatakan boneka tersebut biasa dimainkan dalam teater boneka. Karena ukuran boneka yang besar, butuh tiga orang untuk memainkannya. Bukan hanya bergerak, para pemain memberikan suara yang seakan-akan memberi nyawa kepada boneka tersebut.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo