Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta – Sapardi Djoko Damono merupakan salah satu penyair terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Tepat setahun yang lalu, 19 Juli 2020, Sapardi telah wafat. Penyair yang lahir pada 20 Maret 1940 ini juga dikenal sebagai akademisi, pengamat sastra, pakar sastra, dan kritikus sastra. Selama 80 tahun, Sapardi telah melalui berbagai kisah yang menarik dan inspiratif.
Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Sapardi Djoko Damono adalah putra pertama dari pasangan Sadyoko dan Saparian. Ia lahir di Solo, Jawa Tengah. Masa pendidikan dasarnya pun ia habiskan di Solo juga. Pendidikan yang dijalaninya adalah SR (sekolah rakyat) Kraton "Kasatriyan" Solo, lalu SMP Negeri II Solo. Kemudian, pendidikan SMA ia tempuh di SMA Negeri 2 Surakarta dan lulus pada 1958.
Setelah lulus dari SMA, Sapardi menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) UGM, dengan mengambil jurusan Sastra Inggris. Pendidikan Sastra Inggris yang ia terima membuatnya menjadi penerjemah beberapa buku asing. Karya terjemahan Sapardi Djoko Damono, antara lain Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway), Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra karya Eugene O'Neill), Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, karya John Steinbeck), dan sebagainya.
Selepas lulus dari UGM, Sapardi memperdalam ilmu humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat. Pendidikannya tersebut ia tempuh selama satu tahun, yakni dari 1970 hingga 1971. Karir akademiknya pun semakin cemerlang ketika ia mendapat gelar doktor di bidang ilmu sastra dengan disertasi yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur" pada 1989. Ia kemudian dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia pada 1995.
Sebagai akademisi sekaligus penyair, karya-karya Sapardi sangatlah dijunjung tinggi oleh para penyair dan pengamat sastra tanah air. Dalam buku Sastra Indonesia Modern II, Andries “Hans” Teeuw memuji keindahan dan keorisinilan karya Sapardi. “Dia seorang penyair yang orisinil dan kreatif, dengan percobaan-percobaan pembaharuannya yang mengejutkan, tetapi dalam segala kerendahan hatinya, boleh jadi menjadi petunjuk tentang perkembangan-perkembangan mendatang,” ucap Andries Teeuw seperti dikutip dari Ensiklopedia Kemendikbud, 19 Juli 2021.
Penyair Joko Pinurbo pun juga mengungkapkan kekagumannya terhadap Sapardi. Sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, Sapardi merupakan penyair aliran lirisisme, yang dimulai oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Puisi-puisinya terdiri dari sajak sederhana, tetapi berhasil membuat banyak orang kagum. “Dia (Sapardi) adalah salah satu rasul utama dunia puisi Indonesia,” ujar Penyair Joko Pinurbo sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo, 19 Juli 2021.
Berkat keindahan karyanya, Sapardi Djoko Damono mendapat berbagai penghargaan. Pada 1996 ia memperoleh Kalyana Kretya dari Menristek RI. Tahun 2003 Sapardi mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature dan tahun 2004 Sapardi memperoleh Khatulistiwa Award. Pada tahun 2012, Sapardi juga mendapat penghargaan dari Akademi Jakarta.
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca: Sapardi Djoko Damono Pernah Tidak Puas Dengan Karyanya, Sajak Apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini