Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Muhammadiyah Putar Perdana Film Djuanda Pemersatu Laut Indonesia

Film Djuanda Pemersatu Laut Indonesia yang diproduksi pada 2023 ditayangkan perdana Muhammadiyah di Kampus UMY, akhir pekan lalu.

25 Februari 2025 | 08.59 WIB

Poster film Djuanda: Pemersatu Laut Indonesia. Dok. UMY.
Perbesar
Poster film Djuanda: Pemersatu Laut Indonesia. Dok. UMY.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Yogyakarta - Djuanda Kartawidjaja tampak serius membaca baris demi baris surat misterius yang baru diterimanya. Misterius, karena surat beramplop putih itu menyusup diam-diam dari celah jendela ruang kerjanya. Ia menghembuskan nafas panjang. Istrinya, Juliana yang melihat gelagat keresahan pun menghampirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pilihan Editor: Muhammadiyah Produksi Film Tentang Perdana Menteri Terakhir Indonesia

Dialog Djuanda dan Juliana yang Menentukan Indonesia

“Ada kabar apa, Pi?” tanya Juliana di samping meja kerja suaminya. “Kita kembali kehilangan beberapa isi peti kemas yang seharusnya kita bawa ke Eropa,” jawab pengganti Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri masa Presiden Sukarno itu. “Penyelundupan lagi?” Djuanda mengiyakan. “Papi sudah punya solusi?” Juliana bertanya lagi. “Harus ada,” Djuanda menjawab singkat dan dalam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dialog itu muncul dalam scene menjelang akhir film Djuanda Pemersatu Laut Indonesia dalam penayangan premiere di Amphitheatre Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu, 22 Februari 2025. Suasana tahun 1957 itu mengantarkan penonton pada inti film tentang peran Djuanda dalam mempersatukan pulau-pulau di Indonesia.

Dialognya dengan Kemal Budiman Djuanda, satu-satunya anak lelakinya dari lima bersaudara kian memperjelas peran itu. “Kok kerja sampai nggak pernah tidur. Kan Indonesia sudah merdeka,” tanya Kemal kecil dengan nada protes.

Djuanda pun menjelaskan sembari membentangkan selembar peta gambar pulau-pulau di Indonesia. Kejelasan batas laut yang dikuatkan dalam hukum untuk melindungi wilayah perairan dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah satu langkah menuju kedaulatan dan kemerdekaan penuh itu. “Karena kita negara dengan ribuan pulau. Seharusnya perairan dan segala sesuatu di dalamnya sepenuhya adalah milik kita,” ujar Djuanda menjelaskan.

Mengingat hukum yang berlaku saat itu, Ordonantie Kolonial Hindia Belanda 1939, yaitu Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie (TZMKO), justru membuat bangsa Indonesia merugi. Aturan itu menetapkan wilayah laut Indonesia sejauh tiga mil dari garis pantai yang mengelilingi pulau. Kapal-kapal asing bebas berlayar di Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut Makassar di wilayah NKRI.

Gagasan Djuanda untuk Indonesia

Dan pada adegan akhir, dengan berbalut jas gelap, Perdana Menteri Djuanda membacakan gagasannya yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 di hadapan jajaran kabinetnya. Bahwa Indonesia adalah negara yang punya ciri khas dan corak tersendiri. Bahwa Indonesia merupakan kepulauan yang membentuk satu kesatuan. Ketentuan Ordonantie Belanda 1939 telah memecah belah Indonesia.

Cucu tertua Djuanda Kartawidjaja, Ismeth Wibowo Amirullah menjelang pemutaran perdana film Djuanda: Pemersatu Laut Indonesia di Amphitheather UMY, Sabtu, 22 Februari 2025. TEMPO/ Pito Agustin Rudiana.

Maka tujuan gagasan tersebut adalah, pertama, untuk mewujudkan NKRI sebagai satu kesatuan yang utuh. Kedua, untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI berdasar asas negara kepulauan. Ketiga, untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.

“Gagasan ini perlu kita sampaikan kepada PBB. Mungkin perjalanannya akan sulit, membutuhkan waktu lama. Namun upaya ini perlu kita kerjakan. Bukan untuk kita sekarang, tapi untuk anak cucu kita nanti,” terang Djuanda.

Hasilnya, deklarasi itu ditetapkan sebagai UU Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Luas wilayah Indonesia bertambah sekitar 2,5 kali, yakni dari 2.027.087 kilometer persegi menjadi 5.193.250 kilometer persegi. Indonesia setidaknya memiliki garis laut maya sepanjang 8.069,8 mil berdasar perhitungan 196 garis batas lurus dari titik pulau terluar.

Momentum 13 Desember itu dicanangkan sebagai Hari Nusantara masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditetapkan masa Presiden Megawati Soekarnoputri. “Kalau bicara soal laut, ndilalah, kemarin lagi trending topik soal pagar laut,” kata Ismeth Wibowo Amirullah, cucu tertua Djuanda saat menyampaikan sambutan siang itu.

Pembuatan Film Djuanda Gunakan Teknologi Unreal Engine

Film berdurasi 120 menit itu adalah film yang diluncurkan Lembaga Seni dan Budaya (LSB) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ormas keagamaan berlogo matahari menggandeng Andika Prabhangkara dan Ery Isnanto sebagai produser dan sutradara dari PH Mixpro untuk menggarap film itu sejak 2023 lalu.

Tak seperti film-film kebanyakan, film Djuanda dibuat dengan teknik unreal engine yang biasa dipakai dalam pembuatan game online. Para aktor berakting tidak benar-benar berada di suatu lokasi sebagaimana yang tampak pada tayangan film. Melainkan di tempat tak seberapa luas dengan latar serba biru.

Teknologilah yang seolah-olah menempatkan mereka, seperti di kantor, di tengah-tengah peperangan, di dalam kereta api, dan seterusnya. Meskipun gradasi warna antara aktor dan lokasinya tampak kontras.

“Kami baru tahu teknologi perfilman yang tak seperti kami bayangkan. Segala macam desain, frame, dikerjakan dalam ruangan sempit. Kalau dulu harus angkut layar, macam-macam alat dan atribut dengan truk,” ucap Ketua LSB PP Muhammadiyah, Gunawan Budiyanto yang serasa dapat kuliah 10 SKS dengan mengenal teknologi itu.

Sementara pemilihan Djuanda sebagai sosok yang dikisahkan, salah satunya karena dia juga tokoh Muhammadiyah. Insinyur lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng - kemudian dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) – ini memilih menjadi Kepala Sekolah SMA Muhamamdiyah di Kramat, Jakarta ketimbang jadi asisten profesor. Ayahnya, Raden Kartawidjaja adalah tokoh Muhammadiyah di Tasikmalaya. “Pertama kali membaca hubungan Djuanda dengan Muhammadiyah sejak saya SMA,” aku Gunawan. Kisah itu pernah dimuat dalam berita resmi Muhammadiyah pada 1981. 

Syuting film itu mengambil lokasi di sekolah-sekolah Muhammadiyah, seperti Madrasah Mualimin Muhammadiyah dan SMK Muhammadiyah Prambanan. Sementara para pelakon bukan dipilih dari aktor dan aktris terkenal. Bahkan melibatkan anak-anak di sekolah itu sebagai pemerannya. “Melatih pelajar-pelajar Muhammadiyah jadi pelaku film. Jadi ada nuansa baru,” kata Gunawan.

Djuanda kecil, muda juga dewasa diperankan Aradhana Rahadi, Rayhan Bhagaskara, dan Fredy A. Fauzi. Ada juga aktor teater Rendra B. Pamungkas sebagai Pak Darwis. Sosok ini sebagai seorang guru sejarah sekaligus yang menarasikan biografi Djuanda di ruang kelas.

Cara mengajarnya pun unik. Selain ada dialog dengan siswa, Pak Darwis juga berteatrikal secara monolog untuk memudahkan murid-muridnya berimajinasi tentang sejarah Djuanda. Ia menjelaskan lautan bukan memisahkan dan membatasi antar pulau-pulau di NKRI. Justru lautan menghubungkan dan menyatukan pulau-pulau itu.

“Harapannya, generasi muda memahami, bagaimana film ini kami ekspos. Mungkin nanti ke sekolah-sekolah bergiliran memutar film ini,” ungkap Gunawan soal rencana usai pemutaran perdana itu. 

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus