Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemikir Islam Mun'im Sirry berkeliling ke berbagai kota di Indonesia selama dua pekan untuk memperkenalkan buku terbarunya, Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme.
Mun'im Sirry menyebutkan salah satu persoalan Islam di Indonesia adalah menggunakan cara beragama masa lalu di kehidupan masa kini.
Hal itu terjadi akibat kuatnya konservatisme yang menganggap hanya ada satu pandangan yang benar dalam Islam.
TIAP menerbitkan buku, ia menjadi kontroversial. Mun'im Sirry, Lektor di Departemen Teologi Universitas Notre Dame, kampus Katolik bergengsi di Amerika Serikat, itu merilis Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme. Dalam buku terbarunya itu, dia menyebutkan Al-Qur'an merupakan kalam Allah sekaligus perkataan Nabi Muhammad SAW.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandangan yang sebelumnya disebarkan Mun'im lewat akun Facebook itu tentu saja memantik pertentangan. Sebagian besar umat Islam meyakini Al-Qur'an sepenuhnya datang dari Ilahi dan Rasulullah hanyalah perantara. Akademikus seperti Muhammad Nuruddin sampai menulis buku Membuktikan Al-Qur'an sebagai Kalam Ilahi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai revisionis, Mun'im kenyang akan pertentangan. Omongannya dalam simposium tentang Al-Qur'an di Kuala Lumpur pada 2017, misalnya, membuat pejabat mufti Malaysia menyatakan ceramah Mun'im menimbulkan kekacauan. Di tempatnya menimba ilmu, Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura, Mun'im dicap liberal dan ditolak sebagian kiai. Namun dia jalan terus. Bagi dia, warisan masa lalu pantang ditelan mentah-mentah sonder kritik.
Pria 53 tahun asal Madura yang menetap di Indiana, Amerika Serikat, itu pulang ke Tanah Air selama dua pekan untuk memperkenalkan buku terbarunya. Wartawan Tempo, Shinta Maharani, mewawancarai Mun'im di SaRanG Building, Bantul, Yogyakarta, pada Rabu, 19 Juni 2024. Berikut ini petikannya.
Buku karya dosen kajian Al Quran dan hubungan antar-agama University of Notre Dame, Amerika Serikat, Mun’im Sirry. TEMPO/Shinta Maharani
Apa itu konservatisme agama?
Konservatisme berarti menjaga tradisi apa adanya tanpa berupaya menjawab tantangan masa kini. Dalam konservatisme, ada ortodoksi yang menganggap hanya satu pandangan yang benar.
Mengapa muncul konservatisme dalam Islam?
Problem umat Islam adalah cara beragamanya masa lalu, sedangkan aktivitasnya berjalan pada masa modern. Agama yang tidak menggunakan kesadaran dan landasan historis itulah yang menyebabkan konservatisme. Mereka mengagungkan masa lalu, tapi tidak melihat fenomena sekarang. Padahal pemahaman dalam agama dipengaruhi oleh sejarah dan zaman dengan tantangan yang berbeda-beda.
Menurut Anda, bagaimana membebaskan agama dari konservatisme?
Cara beragama semestinya kontekstual dan rileks, bukan mendasarkan pada pokoknya. Masalahnya, sebagian umat Islam hanya merujuk pada pandangan ulama-ulama lama dan menerimanya mentah-mentah. Kenapa Islam terbelakang? Karena enggan mengkritik diri sendiri. Itu yang membuat Islam tidak maju. Padahal Islam memiliki pemikir yang beragam yang seharusnya dipertimbangkan. Contohnya, pembaharu Islam seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Djohan Effendi. Mereka menjadikan Islam bukan sebagai sesuatu yang sudah selesai. Gerakan pembaharu melihat pandangan ulama terdahulu bukan sesuatu yang sifatnya memveto sehingga tidak seharusnya diterima mentah-mentah tanpa kritik.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa melarang salam lintas agama. Bagaimana pandangan Anda?
Apa pertimbangan teologis MUI melarang salam lintas agama? Saya tidak melihat salam lintas agama sebagai sesuatu yang salah. Apa salahnya mendoakan orang lain? Doa diterima dan tidak itu Allah yang menentukan.
Apa makna salam lintas agama bagi Anda?
Salam, apa pun bahasanya, adalah ungkapan untuk memberi doa. Kebetulan, Islam menggunakan bahasa Arab. Sementara itu, agama lain, misalnya Kristen, menggunakan bahasa yang sederhana. Misalnya semoga kita selamat, kasih Tuhan, dan keberkahan. Intinya, salam itu sama, yakni mendoakan manusia untuk keberkahan dan keselamatan.
Apakah fatwa MUI itu contoh hal yang membuat Islam tidak maju?
Fatwa MUI itu tidak mengagetkan. Sejak dulu MUI tidak merepresentasikan beragam pemikiran Islam yang berkembang. Orang-orang MUI punya kecenderungan pemikiran yang sama, yakni menjaga ortodoksi. Mereka menjaga tradisi konservatisme. Meminjam bahasa sarjana Belanda, fatwa MUI itu adalah bagian dari kebangkitan konservatisme. Dalam sejarahnya, MUI lebih condong ke pemikiran ortodoks atau konservatif yang tidak menggambarkan dinamika umat Islam yang beragam.
(Ijtimak Ulama Komisi Fatwa MUI pada 31 Mei 2024 melansir fatwa yang mengharamkan salam lintas agama dengan alasan salam mengandung unsur ubudiyah atau peribadatan dalam Islam)
Apa contoh lain konservatisme MUI?
Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme dan kelompok minoritas. Itu sejalan dengan paradigma konservatisme.
Menurut Anda, bagaimana muslim seharusnya merespons fatwa itu?
Fatwa MUI tidak mengikat sehingga boleh diabaikan. Saya melihat beberapa kalangan menolak fatwa yang meresahkan. Itu cerminan bahwa Islam di Indonesia beragam.
Bagaimana seharusnya respons Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terhadap masalah ini?
Lembaga yang lebih moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, tidak hanya perlu menyoal fatwa itu, tapi juga memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa MUI tidak mewakili muslim yang beragam.
Anda tidak khawatir akan kebangkitan konservatisme?
Saya tidak khawatir karena NU dan Muhammadiyah terus memberikan ajakan yang menyejukkan bagi keharmonisan antarumat beragama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo