Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Nama yang Mengalir Sampai Jauh

Gesang, penggubah Bengawan Solo, meninggal. Sosok yang begitu intens menghidupi keroncong dengan karya-karyanya.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamis sore pekan lalu, berakhirlah hidupnya yang panjang. Dan seperti bunyi lirik lagu Bengawan Solo, Gesang, 93 tahun, mengayun langkahnya sampai jauh di dunia musik yang tidak teramat digandrungi sekarang ini.

Keroncong dan Gesang dua sosok yang terbukti tidak mudah bercerai. Bahkan, pada hari-hari terakhirnya di Rumah Sakit Muhammadiyah, Surakarta, tatkala tekanan jantung koroner dan infeksi paru yang selama ini dideritanya terasa agak ringan, ia terdengar menyenandungkan karya-karyanya. Perlahan, tapi nada-nadanya masih bisa dikenali.

Lahir dengan nama Sutardi pada 1 Oktober 1917, sosok yang satu ini menggubah 44 buah lagu keroncong, termasuk Kroncong Jembatan Merah, Kroncong Saputangan, Kroncong Pamitan, Kroncong Tirtonadi, dan Kroncong Sebelum Aku Mati. Sejak bisnis batik orang tuanya di Kemlayan bangkrut—waktu itu usianya masih belasan tahun—ia mencemplungkan diri ke dalam musiknya bersama Orkes Keroncong Kembang Kacang. Ia berdendang dengan melodi dan lirik ciptaannya, sedangkan kawannya di orkes menuliskannya dalam not dengan piano atau gitar. ”Saya tak menguasai teori musik,” katanya.

Gesang—nama yang kemudian disandang hingga akhir hayatnya lantaran Sutardi dianggap terlalu ”berat” dan membuatnya sakit-sakitan—memang akhirnya menciptakan karya-karya yang bagus, seperti Bengawan Solo. Lagu yang digubahnya dengan seruling selama enam bulan pada 1940 ini merupakan hasil pengamatan seorang anak lelaki yang biasa bermain-main di tepi sungai tersebut. ”Kalau musim panas, airnya kering hingga kelihatan dasarnya, tapi kalau musim hujan, bikin banjir rumah di sekitarnya,” ujarnya.

Gesang kini sosok terkenal. Bengawan Solo telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Mandarin, Belanda, Inggris, Rusia, dan pernah dijadikan theme song sebuah film Jepang—belakangan, empat warga Belanda mengaku telah menciptakannya sebelum Gesang. Diperkirakan musiknya yang sederhana dan liriknya yang pendek membuat orang mudah jatuh hati pada karya-karyanya. Dan Gesang sibuk dengan pertunjukannya yang tak kunjung habis di atas pentas keroncong: dari satu kota ke kota lain.

Bukan cuma itu. Orang Jepang dan Belanda yang baru angkat kaki dari tanah jajahan mereka lalu membawakan lagu-lagunya di tanah air mereka. Misi kebudayaan Presiden Soekarno yang mengikutsertakan Gesang ke Cina dan Korea Utara juga mempopulerkan dan menginternasionalkan lagu-lagunya. Banyak lagunya yang dia ciptakan ketika berkunjung ke negeri lain. Keroncong Tembok Besar diciptanya karena kagum pada Tembok Cina, dan Seto Ohashi buah kekagumannya pada jembatan sepanjang 12,3 kilometer penghubung Pulau Honshu dan Shikoku. Maklum, di Jepang ini fan beratnya paling banyak. Sampai-sampai membentuk Perhimpunan Dana Gesang yang mendirikan Taman Gesang di tepi Bengawan Solo. Tembok Besar tak pernah dipublikasi sampai 1996, karena setelah diciptakan, pecah peristiwa 1965.

Namun ini semua merupakan sukses yang memiliki dua sisi. Kepiawaiannya dalam keroncong, misalnya, membuat seorang gadis bersedia dinikahinya, tapi kesuksesan dan kesibukannya lalu membuat rumah tangganya kandas. Ia bercerai dengan istri yang juga seorang pengagumnya.

Dunia berubah. Tapi kegetiran demi kegetiran dijalaninya tanpa mengeluh. Manakala orang tak lagi memujanya di atas pentas, dan kehidupan ekonominya ambruk, ia masih seperti yang dulu. Terus menyanyi, menghadapi ini semua dengan ketenangan yang luar biasa, bangun pagi untuk salat subuh di masjid dekat rumahnya. ”Lagian masjid kan dekat rumahnya,” kata Hendarmin, yang selama ini mengurus royalti lagu-lagu Gesang di luar negeri.

Yophiandi, Ahmad Rafiq (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus