Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Okky Madasari dan Kisah Buku Terbaru, Mata di Tanah Melus

Melalui buku sastra anak, Okky Madasari mengaku tak melepas kesetiaannya terhadap tema kemanusiaan yang selama ini ia usung

3 Februari 2018 | 14.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cover buku Mata di Tanah Melus karya Okky Madasari (Gramedia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Isu sosial, orang –orang tertindas kerap menjadi tema yang kental mendominasi karya Okky Madasari. Ia kerap membawa pembaca terhadap sebuah kondisi atau masalah yang dirasakan para tokohnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya sastra kerap dijadikan Okky sebagai medium menyajikan atau menyuarakan persoalan masyarakat, persoalan ketidakadilan. Dalam wawancara sebelumnya, Okky mengutarakan tujuannya menulis memang memberi ruang terhadap hal terabaikan. Setidaknya, suara-suara itu bisa disaksikan melalui sejumlah karyanya seperti novel Entrok, Maryam, 86, Pasung Jiwa, Kerumunan Terakhir, dan kumpulan cerpen Yang Bertahan dan binasa Perlahan yang terbit tahun lalu.

Lalu bagaimana dengan karya sastra anak? Sebuah genre yang belum lama ini turut dicoba Okky lewat karya terbarunya Mata di Tanah Melus yang baru diluncurkan 22 Januari lalu.

Apakah tema-tema sosial khas Okky tetap melekat dalam karya tersebut? “Harapan saya, jika saat anak-anak mereka telah membaca karya semacam ini, mereka akan tumbuh menjadi manusia yang berpikiran terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian,” tutur Okky. Jawaban tersebut menyiratkan melalui sastra anak, Okky tak melepas kesetiaannya terhadap tema kemanusiaan yang selama ini ia usung.

Dalam sebuah wawancara melalui surat elektronik pekan lalu, Okky yang kini tengah menjadi pengajar tamu di National University of Singapore meluangkan waktunya menjawab beberapa pertanyaan seputar karya terbarunya tersebut.

 Apa alasan utama Anda menerbitkan buku untuk anak? 

Keinginan untuk menulis buku anak baru muncul di benak saya dua tahun terakhir, ketika saya punya anak. (sekarang usia anaknya 3,5 tahun).  Anak saya suka dibacakan cerita. Saya juga kerap harus mengarang cerita-cerita untuknya.  Di situ muncul keinginan untuk menulis sebuah cerita yang bisa saya bacakan untuknya yang juga akan menjadi buku pertama yang ia baca saat ia bisa membaca nanti.

Peran Ibu menjadi faktor utama bagi Anda?

Ya, peran saya sebagai ibu menjadi pendorong utama keputusan ini. Barangkali saya tak akan pernah punya pikiran untuk menulis novel anak jika saya tidak menjadi ibu untuk anak saya.

Ada alasan lain selain hal personal?

Saya juga melihat terbatasnya bacaan anak di Indonesia. Untuk anak saya saja, saya tak punya banyak pilihan buku anak yang berkualitas. Padahal usia anak-anak sangat penting untuk bisa membentuk karakter manusia melalui bacaan dan menumbuhkan minat baca.

Apakah menulis cerita untuk anak sulit bagi Anda?

Menulis cerita anak menjadi tantangan baru setelah saya menulis 5 novel dan 1 kumpulan cerita yang semuanya untuk orang dewasa. Saya dipaksa keluar dari perangkap zona nyaman untuk terus memperluas batas kreativitas dan imajinasi.

Dari mana ide cerita muncul?

Ide cerita berawal dari perjalanan saya ke Belu, Nusa Tenggara Timur tahun 2016 lalu. Saya berangkat ke sana berdua dengan anak saya yang saat itu berusia dua tahun. Dalam perjalanan riset bersama anak saya itulah lahir ide untuk menuliskan kisah yang terinspirasi oleh daerah Belu dalam bentuk fiksi yang bisa dibaca oleh anak-anak.

Selama melakukan perjalanan dengan anak saya, saya belajar banyak hal. Terutama adalah bagaimana melihat realita dari kacamata seorang anak. Imajinasi saya pun bergerak liar, mengikuti imajinasi anak saya.

 Seperti apa proses pengembangan ide dan penulisannya?

Dalam proses penulisan, saya sebagai pengarang melihat segala sesuatu dari kacamata anak-anak, utamanya tokoh utama dalam novel itu yang berumur 12 tahun. Saya meleburkan diri dalam karakter, pikiran, dan jiwa anak-anak, sehingga kemudian rangkaian kisah mengalir begitu saja sehingga bisa dinikmati anak-anak.

Apakah ada perbedaan signifikan dengan proses penulisan selama ini?

Saya rasa tak ada perbedaan dalam menulis novel anak dan novel dewasa. Satu hal yang kerap salah kaprah dalam masyarakat kita, menulis cerita anak dianggap lebih gampang daripada menulis cerita untuk dewasa. Itu tidak benar. Kenyataannya adalah menulis cerita anak lebih susah daripada menulis cerita dewasa. Sebabnya seperti yang saya sampaikan, pengarang harus melihat segala sesuatu dari kacamata anak-anak. Salah kaprah kedua dalam penulisan cerita anak adalah kecenderungan untuk membuatnya lebih gampang agar bisa dinikmati anak-anak. Saya tidak sepakat dengan itu. Anak-anak sesungguhnya sangat cerdas dan kaya imajinasi.

Lalu, Seperti apa riset cerita Mata di Tanah Melus ini?

Riset utama adalah dengan perjalanan ke Belu yang kebetulan saya lakukan berdua bersama anak. Saya dua kali datang ke Belu, masing-masing 10 hari. Di Belu saya datang ke berbagai tempat dan bertemu dengan banyak orang yang kemudian menjadi inspirasi dalam buku ini.

Selain itu tentu saja dengan membaca. Saya juga jadi banyak membaca buku anak-anak. Satu yang paling berkesan adalah buku anak karya Salman Rushdi. Oh ya, interaksi saya sehari-hari bersama anak saya juga menjadi sumber inspirasi terbesar bagi saya dalam menulis cerita anak.

Apa ada hal baru yang dialami selama proses penulisan buku ini?

Hal baru, adalah bagaimana saya berusaha melihat segala sesuatu dari sudut pandang anak dan bagaimana saya meleburkan diri dalam jiwa, pikiran, dan imajinasi anak-anak.

Ada kabar kisah Mata di tanah Melus ini akan menjadi sebuah serial?

Iya, betul. Mata di Tanah Melus akan menjadi buku pertama dari serial novel anak yang saya tulis. Buku selanjutnya akan menceritakan petualangan Mata di wilayah lain di Indonesia.

Apakah ceritanya akan saling berkait satu sama lain?

Masing-masing buku bisa dinikmati sendiri-sendiri. Jadi bukan cerita bersambung. Tapi tokoh utamanya sama dan nafas utamanya akan sama.

Tokoh utama di buku ini anak berusia 12 tahun, mengapa mengambil karakteristik tersebut?

Soal usia anak ini memang hal yang cukup lama saya pertimbangkan hingga akhirnya saya putuskan berumur 12 tahun. Keputusan usia 12 tahun akhirnya saya ambil setelah melalui banyak riset dan pengamatan.  Antara lain, usia 12 tahun adalah usia seorang anak memiliki kemandirian dan keberanian dalam berinteraksi dengan dunia luar. Dia tetap anak-anak, tapi dia sudah memiliki semangat dan kemampuan untuk menjadi seperti kakak-kakaknya yang sudah remaja.

Usia peralihan bagi anak-anak...

Anak 12 tahun itu biasanya duduk di kelas 6 SD -- bersiap-siap menjadi anak SMP. Di sini terasa sekali ini usia yang menjembatani masa kanak-kanak dan remaja.

Dengan menghadirkan karakter 12 tahun, semesta dalam kisah ini bisa terbangun sebagai sebuah cerita petualangan seorang anak yang penuh rasa ingin tahu, yang penuh keberanian sekaligus rasa penasaran ingin melihat dunia yang lebih luas dari yang sehari-hari di hadapinya.

Dengan tokoh anak 12 tahun, cerita ini bisa dinikmati oleh anak-anak yang baru bisa membaca, mulai dari 5 atau 7 -- karena sebagaimana kehidupan di dunia nyata, anak-anak selalu melihat kakak-kakak mereka yang lebih tua dan ingin menjadi mereka.

Hal apa yang ingin disampaikan dan dicapai Mbak Okky lewat karya ini?

Saya ingin anak-anak dan orang dewasa benar-benar menikmati buku ini sebagai sebuah cerita. Dengan menikmatinya, masing-masing pembaca akan bisa memaknai hal-hal yang tersurat dan tersirat dari kisah ini. Banyak sekali pelajaran tentang kehidupan, manusia dan kemanusiaan yang tersembunyi di balik setiap karya sastra.

30_tamu_Okkymadasari

Okky pun menilai usia anak-anak merupakan usia penting dalam membentuk karakter manusia. Ia berharap saat anak-anak telah membaca karya semacam itu, mereka akan tumbuh menjadi manusia yang berpikiran terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian.

Alasan utama Okky mengemas pesan sosial, kemanusiaan dalam bentuk cerita, yaitu bisa menyampaikan nilai tanpa bernuansa dakwah dan menggurui. Ia percaya nilai-nilai itu akan lebih tertanam dalam jiwa dan akan membentuk karakter pembaca.

Berapa lama pembuatan buku ini memakan waktu?

Saya mulai menulisnya Oktober 2016. Lalu sempat terhenti beberapa bulan, lalu saya selesaikan selama saya mengikuti program residensi dari University of Iowa International Writing Program. Saya menyelesaikannya Oktober 2017 di kamar saya di Iowa.

Ada alasan tersendiri kala diluncurkan 22 Januari lalu?

Tak ada alasan khusus meluncurkannya di 22 Januari. Waktu terbaik menerbitkan buku anak konon saat liburan sekolah, yaitu Desember atau Juli. Untuk Desember terlalu cepat, sementara Juli terlalu lama. Ya, sudah kita terbitkan Januari saya. Agar menjadi semacam gong pembuka karena buku selanjutnya juga saya rencanakan terbit tahun 2018 ini.

Buku diluncurkan saat Anda sedang mengikuti program visiting fellow di Singapura, kapan ada peluncuran khusus bersama penulis?

Untuk buku ini saya tak merencanakan untuk mengadakan acara peluncuran apapun. Setelah menerbitkan 5 novel dan 1 kumpulan cerita, ini pertama kalinya saya tak membuat perayaan apapun untuk kelahiran buku saya. Saya benar-benar ingin buku ini terlebih dahulu menjumpai pembaca-pembaca baru saya, utamanya anak-anak SD-SMP. Saya ingin mereka berkenalan dan menikmati karya saya dulu. Nanti,  saat lahir buku selanjutnya, baru saya ingin membuat perayaan bersama pembaca-pembaca baru saya.

Dalam wawancara ini, Okky juga menambahkan dengan menerbitkan karya sastra anak, ia pun berencana untuk mulai membawa serta gagasan soal sastra anak dalam berbagai kesempatan. Ia percaya, menulis cerita anak merupakan sebuah kerja ideologis - sebuah pertarungan. "Melalui cerita anak, kita bisa membentuk karakter manusia yang akan mewarnai dunia di masa depan," tutur Okky Madasari menutup obrolan.

AISHA SHAIDRA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus