Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGAI Mekong adalah salah satu sungai di dunia yang mempunyai posisi sangat penting dan mengandung beragam kisah yang menarik dari abad ke abad. Sungai ini mengaliri berbagai wilayah etnis dan bangsa, melahirkan peradaban-peradaban yang berbeda, dan menjadi kompleks dengan situasi sosial-politik yang dinamis. Kota kecil di Thailand di area perbatasan Mekong ini adalah Chiang Saen. Kota ini merupakan bekas wilayah salah satu Kerajaan Lanna yang tertua di Thailand. Desember lalu, pemerintah Thailand membuka sebuah perhelatan besar, Thailand Biennale Edisi Ketiga, di kawasan Chiang Rai dan sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan dua direktur artistik yang merupakan figur terkemuka di ranah seni Thailand, Rirkrit Tiravanija dan Gridthiya Gawewoong, serta dua kurator, Angkrit Ajchariyasophon dan Manuporn Luengaram, Thailand Biennale berhasil menunjukkan pendekatan yang menarik berkaitan dengan lokalitas dan dinamika praktik artistik global. Hal ini menjadi simpul penghubung untuk para seniman dari berbagai belahan dunia dalam membicarakan isu-isu penting mengenai peradaban manusia hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menggabungkan berbagai situs arkeologis yang menunjukkan kekayaan sejarah kebudayaan Lanna dan kompleksitas pembentukan negara bangsa, masuknya periode industrialisasi, serta konteks ruang masa kini, Thailand Biennale barangkali menjadi salah satu perhelatan penting dalam lini masa perkembangan seni rupa kontemporer di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir.
Dengan judul “The Open World: Featuring Artists from Mekong Region to Amazon and Beyond”, perhelatan bienial ini digelar cukup masif dengan mengundang 60 seniman untuk merespons 17 lokasi yang ada di Chiang Rai dan mempresentasikan 10 paviliun di kawasan kota.
•••
PERJALANAN dari Chiang Rai ke Chiang Saen tertempuh selama 40 menit, melintasi jalan antarkota yang mulus dan sepi dengan pemandangan bukit di kanan-kiri, yang juga menandai kawasan perbatasan dengan Myanmar. Konteks perbatasan inilah yang nanti banyak membentuk narasi karya-karya yang dipamerkan di Chiang Saen. Kota ini menampung ribuan pengungsi Myanmar yang terutama melarikan diri dari masa pemerintahan diktator hingga pasca-junta militer. Thailand termasuk negara yang menunjukkan keterbukaan terhadap pengungsi ketika mereka merevisi undang-undang yang memperbolehkan pengungsi bekerja di sektor-sektor tertentu.
Memasuki kawasan Chiang Saen, kami disambut rindangnya pepohonan yang terasa purba dan reruntuhan kuil di sana-sini. Pemberhentian pertama kami adalah Museum Nasional Chiang Saen, yang terutama menyimpan jejak-jejak arkeologis kawasan ini, juga keberagaman artefak budaya dari alat makan hingga alat musik.
Karya seniman Citti Kasemkitvatana yang memaknai ulang gagasan waktu dan terjadinya semesta melalui citra sosok Kala menjadi pembuka yang baik untuk menyibak misteri sejarah Chiang Saen. Seniman Kader Attia mempresentasikan karya barunya yang berfokus pada struktur bangunan kuil dan detail yang masih tertinggal, kemudian menyandingkannya dengan interpretasi masa kini yang secara sangat artikulatif dinarasikan oleh seorang warga lokal beridentitas transgender.
Selanjutnya kami beranjak ke kawasan Wat Pa Sak, satu situs sejarah penting yang masih digunakan sebagai tempat beribadah para biksu hingga kini. Jeab—panggilan akrab Gridthiya Gaweewong—menjelaskan bagaimana Thailand Biennale bercita-cita menyatukan beragam kelompok yang berbagi sejarah dan konteks yang serupa, meski tak sama, dan membangun percakapan baru dengan dunia yang relevan dengan masa kini.
Dari situ, karya Chitti Kasemkitvatana yang lain, sebuah gambaran tentang kelahiran waktu, yang diceritakan dalam 12 bahasa yang bersumber dari aksara Palawa, menjadi intervensi menarik di antara reruntuhan kuil dan pohon-pohon yang telah berusia senja.
Museum Aeropocene karya seniman Argentina, Tomas Saraceno./Tempo/Alia Swastika
Sejarah Mekong ini kemudian banyak sekali dijelajahi oleh para seniman yang menampilkan karyanya di situs Warehouse bekas gudang beras, tempat singgah kami selanjutnya. Karya Nipan Oranniwesna berjudul Silent Traces membangun sebuah peta raksasa berukuran 5 x 15 meter yang menyajikan pertumbuhan kartografi Chiang Rai. Menggunakan tepung sebagai medium utama, karya ini membicarakan peta yang melampaui perannya sebagai penanda geografis. Kompleksitas sejarah dan arkeologis serta dinamika sosial-politik juga disajikan melaluinya.
Seniman Singapura, Ho Tzu Nyen, menampilkan sebuah video yang menarasikan ulang sejarah perdagangan opium dalam proyek The Critical Dictionary of Southeast Asia. Dalam video itu, huruf O direpresentasikan sebagai opium dan ocean (laut). Bukan rahasia lagi bahwa kawasan Mekong, terutama daerah Segitiga Emas, dikenal sebagai pusat perdagangan opium. Dalam video ini, Tzu Nyen menghubungkan sejarah perdagangan opium dengan berkembangnya Singapura sebagai pelabuhan perdagangan masa kolonial, termasuk ramainya perdagangan opium sebagai komoditas.
Perjalanan hari pertama kami akhiri dengan nyaris sempurna: mengunjungi situs karya seniman kenamaan Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Memasuki area situs yang dulu merupakan gedung sekolah Ban Mae Ma, saya langsung membayangkan beberapa adegan di film-film Apichatpong sebelumnya.
Instalasi pada ruang pertama merupakan tirai kain bergambar langit, atau layar yang menjadi latar belakang untuk sandiwara tradisional Thailand, yang bergerak dengan pengatur waktu otomatis, menawarkan imajinasi tentang waktu dan nostalgia masa lalu. Instalasi kedua merupakan video seni yang, sebagaimana kekhasannya, seperti menyejajarkan dunia nyata dan dunia mimpi. Karya-karya ini lahir dari permenungan Apichatpong tentang mitologi waktu dari sosok seorang Kala, yang akhirnya masuk kisah-kisah politik Thailand.
•••
HARI kedua kami habiskan di kawasan Chiang Rai, mengunjungi ruang-ruang sekitar pusat kota, yang tampaknya menunjukkan bagaimana praktik seni berkelindan dengan kehidupan keseharian. Tak jauh dari Bandar Udara Mae Fah Luang, sebuah museum baru saja diresmikan khusus untuk menyambut Thailand Biennale kali ini, yaitu Chiang Rai International Art Museum.
Di sana karya monumental seniman Taiwan, Wang Wen-Chih, yang merupakan instalasi situs khusus menggunakan bambu, membentuk ruang yang menggambar keseimbangan jiwa dan ego dari manusia, mempertemukan dunia dalam dan dunia luar, yang terutama lahir dari refleksi peradaban baru pasca-Covid-19.
Di dalam museum, karya-karya para seniman terkemuka, seperti Pierre Huyghe, Heague Yang, dan Sarah Sze, menjadi daya tarik bagi warga setempat untuk memahami praktik-praktik seni kontemporer masa kini dengan berbagai medium dan isu yang diangkat.
Masuk ke kota, di Gudang Tembakau, kita bisa melihat kerja kolaborasi seniman Argentina, Tomas Saraceno, yang dalam beberapa tahun ini menciptakan seri Museum Aeropocene yang terbuat dari plastik-plastik sampah dari berbagai lokasi. Kali ini dia mewujudkannya dengan warga sekitar.
Instalasi berbentuk balon udara raksasa ini juga dimaksudkan sebagai ruang sosial baru tempat ia mengundang pengunjung memanfaatkan ruang ini untuk berbagai aktivitas, seperti membaca buku, membuat diskusi, dan menonton film bersama.
Model kerja penciptaan partisipatif juga bisa dilihat dalam karya seniman Jepang, Shimabuku, yang bersebelahan dengan karya Saraceno. Mereka membuat seri layang-layang dari warga Chiang Rai dan melakukan pertunjukan bersama warga untuk menerbangkan sosok-sosok kertas tersebut.
Salah satu kawasan yang paling terpatri dalam ingatan adalah Taman Mae Fah Luang, tempat saya menemukan karya seniman Indonesia, Citra Sasmita, Timur Merah Project X: Theater in the Land of God and Beasts (2023), yang secara khusus merujuk pada mitologi tentang Dewi Kadru yang melahirkan seribu naga.
Citra menempatkan lukisan kamasan yang dibuatnya di atas lembaran kulit sapi serta memberi garis dan sapuan yang tegas pada warna merah, termasuk pada anyaman tubuh naga yang dibuatnya dengan warna merah yang kuat, untuk menghubungkan cerita naga ini dengan trilogi warna merah, putih, dan biru, yang disebut sebagai tridatu dalam tradisi Hindu.
Karya Citra Sasmita, Timur Merah Project X: Theater in the Land of God and Beasts (2023), dalam Thailand Biennale 2023./Tempo/Alia Swastika
Di taman ini pula saya berjumpa dengan karya seniman Vietnam, Nguyen Trinh Thi, yang sedemikian magis. Karyanya menghubungkan getaran dari aliran Sungai Mekong dengan beberapa alat terbuat dari kayu untuk menghasilkan bunyi. Trinh Thi mengurai konteks biodiversitas di Sungai Mekong hari ini setelah dibangunnya bendungan skala besar oleh pemerintah Cina yang sangat mempengaruhi ekosistem kehidupan di seluruh kawasan yang bersandar pada aliran sungai.
Karya ini secara puitis memberi penghormatan kepada seluruh makhluk alam, pengetahuan kelompok adat, kerja dan solidaritas aktivis dan warga, serta budaya yang lahir dalam sejarah panjang dinamika sungai.
Tiga hari ternyata memang terasa tak cukup untuk menjelajahi apa yang hendak ditawarkan oleh Thailand Biennale. Pada akhirnya saya melihat proyek ambisius ini sebagai cara memberikan alternatif pada proses bienial yang makin industrial dan terpola di berbagai negara maju.
Sama spiritnya dengan Biennale Jogja, Thailand Biennale melihat pengetahuan lokal dan kehadiran warga sebagai aspek penting dalam sebuah perayaan, ketika pengetahuan yang menubuh saling dipertukarkan dari berbagai lokalitas. Dengan begitu, karya-karya yang hadir memperkaya dan memancing percakapan tentang trauma masa lalu, ingatan bersama, konstruksi identitas, serta imajinasi masa depan di tengah kecamuk dunia yang karut-marut. Menonton seni di sini menjadi sebuah perjalanan spiritual untuk memasuki ruang dan kota yang purba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Chiang Sen: dari Dunia yang Purba Menuju Memorial"