Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pralaya Matra '99 | ||
Karya | : | Nyoman Erawan |
Tempat | : | Galeri Komaneka, Ubud, Bali |
Waktu | : | sampai 3 Mei 1999 |
"Ibu Bumi Nusantaraku sedang menangis, cemas, dan sekarat," kata Nyoman Erawan. Inilah narasi besar pameran tunggal perupa lulusan ASRI Yogyakarta, yang menggelar 58 karya lukis cat minyak di atas kanvas, cat air, dan sebuah karya seni instalasi. Semua karya lukis Erawan dalam pameran ini merupakan kelanjutan dari proses pencariannya terhadap dimensi penghancuran dan kematian. Yang muncul dalam kanvasnya adalah resimbolisasi perlambang Bali, berupa matra-matra kosmos dalam budaya Hindu (nawasanga), bulatan memusar yang sangat dikenal dan tetap hidup dalam lukisan gaya Kamasan, dan retakan-retakan yang memberikan suasana kelam dan amburadul yang seolah menggambarkan imajinasi sebuah prosesi penghancuran dalam upacara ngaben. Kesan kehancuran dan keagungan terpampang lewat teknik cipratan, lelehan, dan sapuan tipis yang dikombinasi dengan warna-warna cokelat keemasan. Karya lukis Erawan dikenal cenderung bergaya abstrak ekspresionis.
Dalam budaya Bali, kematian memang dipandang sebagai bagian dari perjalanan hidup dari alam skala (fana) ke alam niskala (surgawi). Tak aneh kalau kematian tetap mengandung dimensi "keindahan": ada tabuh bleganjur yang bertalu-talu seakan sebuah pesta pora, kidung-kidung sayup yang mengantar ke suasana sureal, bade (bangunan yang ikut dibakar dalam upacara ngaben) yang menyundul langit, serta warna-warna yang kadang terkesan gemerlap seperti sebuah upacara ritual lainnya.
Berbeda dengan kecenderungan seni rupa kontemporer Indonesia, yang sarat dengan teks, Erawan menggambarkan kepedihannya menyaksikan perkembangan masyarakat belakangan ini dalam karya instalasi bertajuk Ibu Bumi Nusantaraku dengan bahasa rupa yang agak sukar ditangkap narasinya. Menurut Erawan, ia tak ingin terjebak dalam ekspresi yang terlampau sarat pesan intelektual yang vulgar, tetapi kering secara estetis. Maka, dalam konteks Indonesia sekarang ini, karya instalasinya itu hanya secara samar menggambarkan Bumi Nusantara bagai Ibu Bumi yang sekarat.
Ada kerusuhan Mei 1998, benturan-benturan primordial di Ketapang-Kupang-Ambon-Sambas dan daerah-daerah lainnya. "Ibarat seorang ibu, Indonesia sekarang ini adalah ibu yang cemas membayangkan generasi macam apakah yang akan lahir dari rahimnya kelak," kata Erawan.
Karya instalasi Erawan berbentuk sosok ibu dari bahan pasir hitam basah dalam posisi menengadah ke langit, tapi terjepit oleh berbagai realitas yang mengekspresikan elemen kekerasan, semisal kelewang, badik, ulat-ulat hidup di tangan kiri, ikan-ikan berenangan di "tangan kanan", darah yang menggelegak di bagian "perut", taji dan tombak tajam di "kepala" dan daerah "seberang rahim" (perlambang generasi akan datang). Suasana suram itu masih ditingkahi jeritan suara kipas angin yang digantungi "gongseng" (sejenis lonceng kecil yang biasa digantungkan pada burung).
Lewat karya lukis dan instalasi itu, Erawan memperlihatkan bagaimana tradisi Bali memperkaya ekspresinya. Tapi, proses kreatif Erawan dinilai sebagai sikap yang menerima perubahan kebudayaan Bali dari orientasi religius ke industri pariwisata. Sikap ini banyak ditentang di Bali. Meskipun demikian, Erawan memang perupa kontemporer Bali yang berani melakukan lompatan proses kreatif dengan menabrak tabu agama dan budaya yang dipegang dengan kukuh oleh orang Bali. Misalnya, ia pernah nekat memanfaatkan lukisan bergaya Kamasan, yang dianggap mengandung muatan religi yang sakral, ke dalam karya lukisnya pada 1980-an. Erawan meyakini bahwa masyarakat akan terus berubah secara evolutif, tapi perubahan itu tak harus menyingkirkan tradisi. Tak berlebihan jika kritikus seni Jim Supangkat menempatkannya sebagai "avantgardis tradisi", sedangkan kritikus Jean Couteau menganggap Erawan menyusun simbol tradisi ke dalam bahasa baru yang kontekstual dengan masa kini. Toh Erawan tetaplah orang Bali, yang menjadi warga desa adat dan mewarisi kewajiban menjadi undagi (arsitek sarana ritual kremasi ngaben) di kampungnya. Proses kreatifnya mengandung kehangatan budaya tradisi, juga semangat untuk menciptakan lambang-lambang baru.
Putu Wirata Dwikora
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo