SEMUANYA sudah dipersiapkan dengan rapi. Setumpuk uang hasil tabungan bertahun-tahun, berakhir pekan di hotel termahal di New York, mengendarai limusin, bercinta dengan wanita cantik, dan ini yang terakhir serta mengagetkan: menembak kepala sendiri hingga otak terburai. Itulah rencana Letkol Frank Slade (dimainkan dengan bagus oleh Al Pacino), seorang veteran buta yang getir menghadapi sisa hidupnya. Ia dikenal sebagai panglima yang tegas dan berkepribadian keras selama masa pengabdiannya pada masa pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson. ''Ia terlalu jujur dan terus terang, sehingga sering menyakiti hati atasannya,'' ujar keponakannya mengejek. Dan karena itu, kesempatannya untuk menjadi jenderal tak pernah terbuka baginya. Atasannya menaikkan pangkat itu untuk temannya yang sama sekali tak berprestasi. ''Dan dalam keadaan mabuk, ia meledakkan granat di hadapannya. Kawannya mendapatkan pangkat dan jabatan, pamanku yang gila kebetulan hanya mendapatkan hak pensiun dan buta,'' sambung keponakannya dengan nada menghina. Itulah kenyataan bagi Slade. Ia tersingkir dari dunia militer, sebuah tempat ia mengabdi lebih dari separuh hidupnya. Ia dihina oleh hampir seluruh keluarganya karena kebrutalan sikapnya. Dan tak seorang kawan pun bersedia berbicara lama-lama dengannya. Maka, sisa-sisa yang ada pada Letkol Slade hanyalah rasa pahit dan sinis terhadap dunia. Ia hanya duduk bersama kucingnya di paviliun rumahnya sembari menyumpah-nyumpah seisi dunia yang tolol dan tak bermoral. Kehilangan penglihatan dan rasa harga dirinya terkubur dalam-dalam, sehingga Slade menjelma menjadi seorang kakek tua yang menyebalkan. Satu-satunya yang bisa membuat Slade tersenyum adalah bau harum tubuh wanita. Pada masa jayanya, Letkol Slade adalah seorang lelaki yang pandai merayu wanita. Adalah seorang pemuda bernama Charlie Simms yang kemudian menggali sisi lembut Slade. Simms adalah penerima beasiswa sekolah pra-universitas Baird yang prestisius. Masalahnya, suatu malam, Simms melihat teman-temannya melakukan vandalisme. Simms dipaksa oleh kepala sekolahnya untuk melaporkan pelakunya, dan jika menolak, Simms akan dikeluarkan. Pada saat kesulitan itulah, Simms berkenalan dengan Slade. ''Ayo, kita menikmati New York,'' ajak Slade. Sepanjang perjalanan itu, secara perlahan Simms menyadari ada bagian dari diri Slade yang lembut bagaikan beludru. Slade memang manusia yang sangat lurus, jujur, dan terus terang. Di balik kegemarannya menenggak minuman Jack Daniels dan membentak-bentak, sebenarnya Slade adalah seorang prajurit yang manusiawi. Film yang diilhami dari sebuah film Italia berjudul Profumo Di Donna ini adalah sebuah kisah perjalanan batin dua manusia yang mempertahankan kebenaran, meski akhirnya mereka terpaksa ''mengalah'' dalam berbagai ''perang''. Slade bukan seorang prajurit yang bersedia menjilat atasan demi sebuah jabatan. Upah kejujurannya adalah penderitaan yang berkepanjangan. Simms adalah seorang yang mempunyai prinsip untuk tidak mengkhianati kawannya, meski dengan risiko akan dikeluarkan dari sekolah. Dengan gemilang Martin Brest telah berhasil menyajikan ramuan pertentangan batin dua manusia ini dalam bentuk komedi. Brest berhasil menggambarkan bagaimana hidung dan hati Slade menjadi mata dalam hidupnya. Dan Al Pacino memang pantas mendapatkan Piala Oscar dalam memerankan tokoh yang kompleks itu. Permainannya dipuji banyak aktor, bahkan aktor Marlon Brando menyebutnya ''aktor terbaik di dunia'' (lihat Pokok & Tokoh). Lihat, betapa jenakanya Slade yang buta tapi toh mengenal semua bau parfum yang dikenakan setiap wanita. Betapa menegangkan melihat Slade menyetir mobil Ferrari dengan kecepatan 100 km. Betapa mengharukannya melihat ketangkasan langkah-langkah Slade mengajar Donna (diperankan Gabrielle Anwar) dansa tango. Bahkan di tengah ketegangan Simms menghadapi Slade yang ingin bunuh diri, skenario masih berpihak pada kejenakaan. ''Letkol Slade, saya mohon, jangan lakukan. Anda begitu mahir berdansa tango dan menyetir Ferrari, itu penting dalam hidup.'' Brest mengakhiri film ini dengan solilokui Letkol Slade yang panjang sekali. Harap maklum. Brest ingin membuat ending yang romantis. Pada akhirnya, toh sang kakek berhak menerima sesuatu yang manis setelah bertahun-tahun menelan kegetiran. Bahwa Simms yang tidak jadi dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tak bersalah, juga merupakan sebuah romantisasi. Yang jelas, penonton tidak ingin pulang dengan bayangan otak Al Pacino terburai di lantai hotel bintang lima. Maka Brest tak lupa menyelipkan humor di akhir cerita saat Slade dan Simms bergandengan keluar dari gedung sekolah. Seorang guru wanita berlari mengejar Slade dan memperkenalkan diri sebagai pengajar ilmu politik di sekolah itu. ''Saya mengagumi khotbah Anda tadi, Letkol Slade,'' katanya. Dan sambil menghirup harum tubuh wanita itu, Slade menjawab, ''Oh, terima kasih. Apakah Anda sudah menikah?'' Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini