Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rms

Rms (radius, mooy, sumarlin) tergusur dari kabinet pembangunan vi. sedih, kaum muda islam mengalami kemunduran. mereka tak antipati pada pemeluk agama lain.

10 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Singapura, dalam perjalanan pulang ke Amerika setelah satu bulan berkunjung ke Muangthai dan Indonesia, saya membaca berita pembentukan Kabinet Pembangunan VI. Kejutannya banyak sekali. Jabatan-jabatan yang menangani kebijaksanaan ekonomi seakan- akan dicampur-adukkan secara tidak karuan antara para teknokrat dan teknolog. Lagi pula, di bidang hankamnas, beberapa nama yang diperkirakan para pengamat akan bertahan, ternyata lenyap dari peta politik. Hal-hal itu tentu dikomentari oleh pers asing, seperti The Straits Times, dan The Asian Wall Street Journal. Tetapi ada dimensi yang hampir lepas dari liputan mereka. Saya juga kurang memperhatikannya sebelum diberitahu oleh seorang teman dari Singapura. Yakni, orang Kristen/Katolik yang menjadi menteri kali ini tinggal tiga dibanding enam pada Kabinet Pembangunan V. Khususnya, Radius Prawiro, Adrianus Mooy, dan J.B. Sumarlin yang dijuluki RMS itu, tidak termasuk lagi. Saya lalu teringat kepada ucapan teman lain, cendekiawan muda Islam Indonesia: ''Kami sudah lama dikuasai oleh minoritas di negeri ini. Sekarang sudah waktunya mayoritas berkuasa.'' Dan saya teringat pula kepada wawancara-wawancara saya dengan beberapa tokoh Islam lain, yang nada pembicaraannya hampir sama. Kiranya tidak sulit untuk membayangkan kegembiraan mereka sekarang. Saya sendiri merasa agak sedih. Bukan dengan jumlah orang Kristen/Katolik yang duduk di kabinet. Sebab naik dan turun persentase itu bergantung pada beberapa faktor. Dan saya belum yakin bahwa presiden dengan sengaja menguranginya untuk memuaskan tuntutan golongan politik tertentu. Saya sedih sebab sikap teman-teman saya merupakan suatu kemunduran di dalam perjuangan kaum muda Islam kalau saya boleh pakai istilah yang bergema historis itu yang telah saya saksikan selama seperempat abad Orde Baru. Kaum muda yang saya maksudkan termasuk pemikir (dan praktisi) seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Syafii Maarif, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan lain-lain. Apa keistimewaan orang-orang ini? Pertama, sebagai satu keseluruhan intelektual, mereka tak tertandingi oleh kelompok lain selama dua dasawarsa lebih. Hampir semua ide baru dan segar mengenai masalah kemasyarakatan dan pembangunan yang berkaitan dengan dimensi spiritual, diciptakan, dikembangkan, serta disebarkan oleh mereka. Prestasi ini menjadi lebih besar lagi kalau kita ingat bahwa sebelum Orde Baru, puncak intelektual di Indonesia dikuasai oleh orang non-Islam atau setidak-tidaknya nonsantri. Kedua, ide mereka tidak satu macam, tetapi sangat pluralistis. Sebagian besar berasal dari kubu modernis Islam, intelektual kota dengan latar belakang Muhammadiyah atau organisasi sejenis. Di antara golongan itu ada yang lebih mementingkan perumusan kembali ajaran agama untuk masyarakat modern, seperti Nurcholish. Dan ada yang cenderung menghindari pembahasan teologi dan langsung menciptakan program-program untuk menolong kaum duafa, seperti Dawam dan Adi. Banyak juga yang langsung atau tidak langsung diilhami oleh tradisi Islam desa, khususnya Jawa, yang dulu umumnya dicemooh sebagai ''sufi'' dan kolot. Satu contoh: ''seri kiai''-nya Abdurrahman Wahid, yaitu kolom-kolomnya di Kompas dan TEMPO pada tahun 1970-an dan 1980-an, yang menggambarkan kiai-kiai tua sebagai sumber pengetahuan lama yang tetap berlaku untuk memecahkan masalah sosial di parohan kedua abad dua puluh. Kini, penulis prolifik Emha Ainun Nadjib meneruskan pendekatan ini. Ketiga, para pemikir Islam muda itu tidak terjangkiti penyakit antipati kepada agama lain atau penganutnya. Mereka tidak takut atau merasa diancam oleh sebuah minoritas yang jauh di bawah 10% penduduk Indonesia. Sebaliknya, obsesi mereka adalah bagaimana menerjemahkan atau menerapkan cita-cita mereka, yang mereka sadari sebagian besar berasal dari agama Islam, ke dalam kehidupan masyarakat umum yang masih miskin dan terbelakang. Untuk itu, mereka bersedia meminta pertolongan material dan spiritual dari mana pun asalnya. Pada tahun 1970-an dan 1980-an saya sangat mengagumi prestasi LP3ES, lembaga penelitian dan pemikiran yang terkenal menerbitkan majalah Prisma. Rahasia sukses LP3ES pernah saya tanyakan kepada salah satu pendirinya. Jawabannya sederhana saja: ''LP3ES merupakan gabungan antara Masjumi dan PSI.'' Untuk pembaca muda, respon singkat itu mungkin perlu dijelaskan. Maksudnya bukan Masjumi dan PSI beneran, yakni partai-partai politik yang dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada masa Orde Lama. Melainkan semangat dan komitmen bersama sebagian besar pemimpin partai-partai itu, baik yang Islam maupun non-Islam, untuk menjunjung tinggi cita-cita modernisasi dan demokrasi. Si pendiri tadi, masih belum puas dengan jangkauan metafornya, lantas melanjutkan: ''Dan harapan saya adalah supaya kerja sama yang telah terwujud di LP3ES dapat tercapai nanti oleh masyarakat Indonesia umumnya.'' Insya Allah, harapannya itu akan terus menjiwai perjuangan sebagian besar intelektual muda Islam. *)Guru Besar Ilmu Politik Ohio State University

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus