Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cerpen Perjumpaan dan Perpisahan dengan Andy Preton karya Erwin Setia.
Erwin Setia adalah penulis lepas yang cukup produktif menulis cerpen dan esai.
PERJUMPAAN DAN PERPISAHAN DENGAN ANDY PRETON
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erwin Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku menjumpainya pertama kali ketika ia kencing dari atas menara masjid raya. Orang-orang, selain diriku, meneriakinya dan memintanya untuk turun. Namun ia bergeming seakan-akan suara-suara teriakan itu tak pernah menghampiri telinganya. Ia hampir saja mati dikeroyok massa seandainya aku tak datang melindunginya dan berpura-pura menganggapnya sebagai saudara jauh yang setengah gila. Kini ia memang seperti saudara jauh bagiku dan soal kegilaan—tak diragukan lagi, ia bukan hanya setengah gila, ia benar-benar gila!
“Andy Preton.”
Ia memperkenalkan namanya. Dilihat dari sisi mana pun, ia tidak pantas menyandang nama kebarat-kebaratan itu. Hidungnya pesek, bibirnya tebal, alisnya melengkung serupa pelangi yang abnormal, dan kulitnya cokelat kemerah-merahan bagai orang yang baru keluar dari panggangan. Tetapi soal nama bukanlah urusan penting. Jadi, kupanggil ia Andy Preton dan kuikuti ke mana ia pergi.
Aku tertarik dengan orang-orang yang menurut kebanyakan orang layak dilupakan atau dimasukkan ke tong sampah. Sebenarnya Andy Preton tak seburuk itu. Ia mengasihi para pengemis, bocah-bocah pengamen yang mengiba di lampu merah, dan wanita kesepian. Ia pernah membuat seorang wanita, yang kami temui sedang termenung sendirian di bangku halte, terhibur. Andy Preton bertanya apa kabarnya, wanita itu hanya memandanginya dengan tatapan kosong. Andy Preton bilang, jangan bersedih, wanita itu justru tampak makin bersedih. Kemudian Andy Preton bergoyang-goyang dan beratraksi bagai badut sambil tak henti-hentinya meminta sang wanita untuk tidak bersedih. Wanita itu sempat tertawa sesaat. Tapi, kami tahu, tak berapa lama setelah kami berlalu dari bangku halte, wanita itu kembali bersedih.
“Kenapa kebahagiaan selalu berumur pendek?” tanya Andy Preton dengan ekspresi seolah-olah itu adalah fakta yang baru diketahuinya.
“Karena sebenarnya kebahagiaan tidak pernah ada,” jawabku asal-asalan.
Sejak hari pertemuan kami, aku mengajaknya menginap di rumah kontrakanku setelah kami lelah berjalan ke sana kemari. Aku tak pernah ragu melakukan itu walaupun para tetanggaku kelihatan cemas dengan keputusanku itu.
“Saudara jauhku,” kataku kepada tetangga dan siapa pun yang menanyakan perihal Andy Preton. Andy Preton hanya nyengir dan mengangguk-angguk. Bagaimanapun ia cukup sopan jika tidak sedang gila. Jika ia sedang gila, aku akan menjaga jarak darinya dan menganggapnya orang asing—sebab sebetulnya ia memang orang asing.
Kegilaan pertamanya sejak kutemani adalah ketika ia memintaku membeli pilox.
“Untuk apa?”
“Kau beli saja dululah. Nanti kau akan tahu.”
Aku membeli pilox, memberikan benda itu kepadanya, dan menunggu dengan waspada. Aku tahu akan ada hal yang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa persisnya hal tidak beres itu.
Ia berjalan, terus berjalan, sampai tiba di depan kantor wali kota. Bangunan itu terlihat bagus dengan mobil-mobil mewah berbaris di tempat parkir dan orang-orang berseragam bergerak lamban.
“Apa yang akan kaulakukan di sini?”
“Diam sajalah. Nanti kau akan tahu.”
Ia menyemprotkan pilox ke tembok depan, samping, dan belakang gedung tersebut. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati seakan-akan ia telah melakukannya ribuan kali. Bagian paling menarik bukan soal kehati-hatiannya, melainkan gambar yang tercetak di tembok-tembok itu. Semprotan pilox itu membentuk tiga onggok penis. Penis di tembok depan berukuran besar, tembok samping berukuran sedang, dan tembok belakang berukuran kecil.
“Kenapa penis di tembok depan seperti meriam, sedangkan penis di tembok belakang seukuran kelingking?”
“Begitulah orang-orang di dalam gedung itu. Di depan orang-orang mereka berlagak paling hebat, padahal di belakang mereka cuma seonggok tahi. Tapi penis seukuran kelingking lebih buruk daripada tahi.”
Sebelum kami pergi dari gedung itu, Andy Preton melempar kaleng pilox ke bagian dalam gedung. Dari celah pagar, kami bisa melihat kaleng itu menimpa seorang pejabat berkepala botak—pakaian dinasnya kelihatan mentereng. Lelaki botak itu tampak kesakitan memegang kepalanya, celingak-celinguk, dan membuang kaleng tersebut jauh-jauh. Kami menertawakannya.
“Aku akan senang sekali seandainya bisa melukis penis seukuran jempol di atas kepalanya. Seorang pejabat dengan penis sebesar jempol terlukis di atas kepalanya yang botak. Ah, pasti itu akan menjadi karya yang indah betul.”
Kami kembali menertawakannya, lantas menjauh dari kantor wali kota dengan hati riang.
Jika seseorang bertindak gila, ia tidak hanya akan sekali melakukannya. Kegilaan pertama akan dilanjutkan kegilaan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Dan begitulah Andy Preton. Setelah melukis penis di tembok kantor wali kota, ia melukis benda ajaib itu di tembok-tembok pabrik, supermarket, dan gedung-gedung besar lain yang terkenal.
Aku bertanya kepadanya kenapa ia tidak melukis hal-hal lain. Ia menjawab, “Karena itulah yang kupunya dan karena penis adalah muasal dari segala hal yang ada di muka bumi hari ini.”
Aku merenungi ucapannya dan mengira-ngira bagaimanakah nasib dunia jika Adam tidak punya penis.
Selagi di rumah, aku tidak banyak bercakap-cakap dengan Andy Preton. Tepatnya, ia mendadak seperti orang bisu saat berada di dalam rumah. Ketika aku bertanya soal dirinya, ia tak pernah menjawab. Ketika aku bertanya hal lain, ia malas-malasan menanggapi seolah-olah pertanyaan-pertanyaanku adalah hal paling tidak penting di dunia. Ketakacuhannya itu membuatku tak tahu banyak tentangnya. Aku tidak tahu siapa ia sebenarnya, dari mana ia berasal, dan ke mana ia akan pergi. Aku hanya tahu ia bernama Andy Preton dan suka melakukan hal-hal gila yang berhubungan dengan penis.
“Tapi aku tidak pernah meletakkan penis di tempat yang salah,” ucapnya suatu kali.
Aku tidak tahu apa yang ia maksud. Dan ia juga tidak mau repot-repot menjelaskan perkataannya itu kepadaku. Aku hanya teringat peristiwa ketika ia kencing dari atas menara masjid. Aku bertanya soal itu kepadanya, “Apakah itu bukan sesuatu yang salah?”
“Kukira tidak.”
“Tapi kau hampir mati dihajar massa.”
“Banyak orang yang mengalami peristiwa hampir mati. Bukan hanya aku.”
“Tapi, kau tahu, orang-orang itu sangat geram karena kau kencing dari tempat yang tak seharusnya. Kau telah merusak simbol kesucian banyak orang.”
“Aku tidak mengencingi masjid. Aku hanya kencing dari atas menara masjid.”
“Kupikir memang tidak ada yang salah dengan penismu.”
“Memang begitu.”
“Tapi jelas ada yang salah di dalam kepalamu.”
Ia tersenyum tipis. Aku tidak tahu apakah ia merasa tersindir atau malah tersanjung.
Keberadaan Andy Preton membuat hari-hariku tidak sedatar biasanya. Kelakuannya, caranya berbicara, pikiran-pikirannya, membuatku bagaikan didatangi oleh seorang tokoh fiktif dalam novel-novel picaresque. Dan itu adalah sesuatu yang kusukai. Meskipun mungkin aku tidak akan melakukan atau mengucapkan apa-apa yang dilakukan dan diucapkan olehnya. Ini seperti kau melihat Muntadhar Al Zaidi melempar sepatu kepada George W. Bush atau Damien Tarel menampar Emmanuel Macron. Kau senang orang lain melakukan hal itu, tapi kau jelas tidak akan melakukannya.
Kebanyakan kegilaan Andy Preton adalah sesuatu semacam itu—sesuatu yang aku senang ketika ia melakukannya, tapi aku sendiri tidak akan melakukannya sekalipun mendapat bayaran besar. Ada sesuatu di dalam diriku—entah apakah itu nurani atau semacamnya—yang menahan diriku berbuat seperti itu. Tapi hal yang sama—entah apakah itu nurani atau semacamnya—kupikir juga berlaku terhadap Andy Preton dengan cara sebaliknya: ia melakukan kegilaan-kegilaan itu karena dorongan nuraninya sebagaimana aku tidak melakukan itu karena ditahan oleh nuraniku.
Aku bukan orang yang memiliki banyak teman. Malah boleh dibilang aku sama sekali tidak punya teman (tapi aku keberatan jika dibilang kesepian—ada perbedaan besar antara tidak punya teman dan kesepian). Oleh sebab itulah aku senang dengan keberadaan Andy Preton. Aku berharap ia bertahan lebih lama di rumahku. Aku akan dengan senang hati mengikutinya ke mana pun ia pergi dan bersabar atas ketakacuhannya selama di rumah. Tetapi, pada hari itu, ketika cahaya pagi begitu terang dan samar-samar tercium bau amis dari halaman rumah, Andy Preton berujar, “Aku akan melakukan satu kegilaan lagi. Kau boleh ikut denganku. Tapi, setelah itu, biarkan aku pergi dan hari-hari berjalan sebagaimana dulu sebelum kita bertemu.”
Sebenarnya aku ingin meminta penjelasannya. Namun kupikir ia tidak akan menahan keinginannya untuk pergi sebagaimana ia tidak pernah menahan kegilaannya.
Hari itu kami berjalan, terus berjalan, sebagaimana pada hari-hari sebelumnya, dan setelah berjalan cukup jauh, berhenti di seberang sebuah kampus ternama. Ia memandangi gedung kampus yang menjulang.
“Kemarin aku mendapat kabar seorang dosen kampus itu memperkosa mahasiswinya.”
Aku terkejut, tapi aku tidak mengatakan apa-apa.
“Aku tahu siapa namanya, aku tahu ia mengajar apa, dan aku akan cari tahu di mana toilet yang biasa ia gunakan di dalam kampus.”
Kami masuk ke area kampus dan pura-pura menjadi mahasiswa ketika salah seorang satpam menegur kami. Kami masih cukup muda untuk dianggap sebagai mahasiswa. Andy Preton bertanya dengan ramah kepada seorang wanita berusia empat puluhan berjilbab putih dengan wajah setenang pohon tua di mana ruangan Dosen X dan apakah ia masuk hari ini. Wanita itu menyebutkan ruangannya dan bilang Dosen X masuk. Dosen X cukup terkenal, tak heran orang pertama yang kami temui langsung bisa menjawab pertanyaan Andy Preton.
Kami menunggu di lorong di mana ruangan Dosen X berada. Kami menunggu selama setengah jam sampai sosok lelaki berkumis lebat dengan kemeja hitam diselipkan ke celana terlihat memasuki ruangan. Ia adalah Dosen X.
“Ia baru selesai makan siang. Sebentar lagi ia pasti akan ke toilet. Aku akan mengikutinya dan kau tunggu saja di sini,” kata Andy Preton.
Benar saja, tak lama berselang, Dosen X keluar dari ruangan dan menuju toilet. Andy Preton buru-buru membuntutinya. Aku tahu Andy Preton menyimpan bungkusan berisi soda api di balik sakunya. Tak sampai lima menit, terdengar jeritan dari toilet, dan Andy Preton muncul dengan terengah-engah. Kami berlari, beranjak turun dari ruangan Dosen X yang berada di lantai atas. Setiba di lantai dasar, kami berjalan santai dan bersikap biasa-biasa saja. Sambil berjalan, Andy Preton berbisik, “Tadi aku menaburkan soda api ketika bangsat itu kencing di urinoar.”
Ia menyeringai lebar.
“Kau benar-benar hebat. Hebat dan gila.”
Aku tidak tahu apakah itu kata-kata yang tepat untuk kuucapkan kepadanya, tetapi hanya itulah yang terpikirkan olehku.
Pada hari itu kami berpisah. Andy Preton mengucapkan terima kasih kepadaku.
“Untuk apa?”
“Untuk segalanya.”
Kemudian ia melenggang, berjalan, terus berjalan, sampai jauh.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku bertemu seseorang yang terus menggeleng-geleng. Ia berteriak-teriak.
“Ada orang gila kencing dari atas menara masjid raya!”
Tentu saja aku tahu siapa orang gila yang dimaksudnya. Tapi aku tidak tahu bagaimana nasib orang gila itu selanjutnya. Kuharap ia baik-baik saja. Sementara itu, di ujung jalan, di tempat di mana masjid raya berada, kulihat asap membubung. (*)
Tambun Selatan-Bekasi, 20-21 Juni 2021
----------------
Erwin Setia lahir pada 1998. Penulis lepas. Menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo