Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Aktor Omara Esteghlal mengungkapkan pandangannya tentang sistem pendidikan Indonesia dan isu kekerasan remaja dalam film Pengepungan di Bukit Duri (The Siege at Thorn High), karya sutradara Joko Anwar, yang dijadwalkan rilis pada 17 April 2025 mendatang. Dalam wawancara dengan Tempo di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis, 10 April 2025, Omara berbicara tentang perannya sebagai seorang siswa yang mewakili kekerasan dan ketidakberdayaan di tengah sistem sosial yang rusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pilihan Editor: Wawancara Joko Anwar: Keresahan sebagai WNI di Balik Film Pengepungan di Bukit Duri
Pengepungan di Bukit Duri berlatar pada 2027, ketika Indonesia berada di ambang kehancuran akibat ketegangan sosial, diskriminasi, dan kebencian rasial. Film ini mengisahkan seorang guru, Edwin (Morgan Oey) yang berusaha menemukan keponakannya di tengah kekerasan yang merajalela Tanah Air. Omara memerankan Jefri, seorang siswa yang dikenal sebagai biang kekerasan di SMA Duri.
Bagi Omara, karakter Jefri bukan sekadar antagonis yang terlibat dalam kekerasan, melainkan sebuah gambaran dari kehancuran—yakni kegagalan masyarakat dan sistem sosial yang lebih luas, termasuk sistem pendidikan yang dianggapnya sudah semakin terpuruk.
Selain berbicara tentang film, Omara juga membahas pandangannya mengenai kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Aktor kelahiran 1999 itu menilai, banyak masalah dalam sistem pendidikan yang tidak kunjung teratasi, mulai dari kegagalan moral hingga sistem feodalisme. Omara menilai bahwa pendidikan Indonesia terjebak dalam lingkaran setan, ketika guru, murid, dan pihak-pihak lain saling menyalahkan tanpa solusi yang jelas.
Omara, yang pernah menempuh pendidikan di United World College dan meraih gelar di bidang Filsafat dan Psikologi dari St. Olaf College di Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa pengalaman pendidikannya di luar negeri memberinya pandangan yang berbeda. Ia merasa, perbedaan mendasar antara sistem pendidikan di Indonesia dan luar negeri terletak pada adanya ruang untuk berdialog antara guru dan murid.
Joko Anwar, dalam berbagai kesempatan juga telah menekankan bahwa melalui karyanya ke-11 tersebut, ia turut menyampaikan keresahan tentang ketegangan sosial-politik di Indonesia saat ini. Terutama terkait kekerasan dan pendidikan moral. Selain Morgan dan Omara, film ini turut dibintangi Hana Malasan, Endy Erfian, Fatih Unru, serta sejumlah wajah baru di industri film Tanah Air seperti Satine Zaneta, Dewa Dayana, Fariz Fadjar, Florian Rutters, Farandika, Raihan Khan, Sandy Pradana, hingga Millo Taslim.
Pengepungan di Bukit Duri. Foto: Instagram Joko Anwar.
#Apa pertimbangan Anda saat memutuskan untuk memerankan sosok yang merepresentasikan kekerasan remaja dan kegagalan sistemik seperti Jefri?
Topik-topik yang kita bicarakan itu (dalam Pengepungan di Bukit Duri) sebenarnya, saya berani katakan, sudah terjadi sekarang. Kekerasan sudah terjadi. Sistem yang korup sudah terjadi. Sistem edukasi yang mengkhawatirkan sudah terjadi. Tidak adanya kesejahteraan sosial bagi pelajar ataupun pengajar sudah terjadi.
Mengabaikan bahwa anak-anak itu butuh bantuan yang lebih secara moral itu sudah diabaikan juga terjadi. Nah, kenapa saya tertarik, selain bahwa ini adalah filmnya abang (Joko Anwar), karakter Jefri ini adalah personifikasi dari segala kehancuran manusia yang berada di situasi yang juga sudah hancur.
#Apakah Anda melihat kehancuran yang dibawa Jefri sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem masyarakat, atau justru hasil dari sistem itu sendiri?
Ini mungkin terdengar sangat berat, kedengerannya sangat absurd, tapi tidak. Banyak sekali manusia yang hancur gara-gara masyarakatnya hancur. Dan kita sadari bukan hanya dia menyalahkan masyarakat, tapi dia adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.
Maka ketika kehancurannya dia dilanjutkan dari kehancuran masyarakat, akhirnya lanjut, makin hancur, makin hancur. Orang-orang dibesarkan oleh kehancuran, maka jadi hancur. Jefri ini personifikasi itu. Jefri adalah satu orang yang menggambarkan kehancuran dunia, kehancuran negara, kehancuran lingkungan, kehancuran dunia. Makannya (karakternya) sangat menarik. Tapi sosok Jefri itu sendiri kan dibentuk oleh lingkungannya, dia juga korban dari masyarakat itu sendiri.
#Bagaimana Anda merefleksikan posisi Jefri dalam konteks kekerasan remaja hari ini? Apakah Anda melihatnya sebagai cerminan kegagalan kolektif publik saat ini?
Mungkin ini debat nature (kodrat atau bawaan) versus nurture (asuhan atau lingkungan). Tapi dua-duanya itu sebenarnya bisa kita bicarakan. Contoh kita di debat yang nature, bahwa manusia dilahirkan sudah hancur gitu. Maka tanggung jawab kita adalah untuk memperbaiki adanya struktur moral, itu pertama. Contoh lain, kita percaya bahwa itu semua salah nurture, salah cara pengembangan, masyarakat yang mengajarkan, maka dia jahat gara-gara masyarakat itu. Maka yang kita harus benahi adalah masyarakatnya.
Maka pelajaran yang aku ambil adalah kita ini harus benahi. Karena apa? Kita bagian dari masyarakat—mulai dari berlogika, rasional, bersuara. Kita harus melangkahi adanya sistem feodalisme yang kayak ‘yaudah kita ikutin aja’ karena dia lebih tua, karena dia lebih senior atau kelihatannya lebih pintar atau lebih sukses. Nggak, sistem feodalisme itu harus kita kalahkan. Kedua, kita harus lebih rasional dan lebih berlogika bahwa yang kita lakukan ini logis atau nggak sih sebagai manusia? Masuk akal apa nggak?
#Film ini menyorot lingkaran kekerasan dalam keluarga hingga diskriminasi rasial, dengan masalah yang berakar pada kegagalan sistem pendidikan. Menurut Anda, bagaimana sistem pendidikan Indonesia saat ini?
Menurut saya, masalah pendidikan Indonesia ini lumayan infinite regress (memiliki argumen tak berujung). Dalam artian, contoh, murid dibesarkan seperti ini, menyalahkan guru. Guru menyalahkan antara murid yang bandel, atau guru menyalahkan atasannya karena kurang ini itu. Atasannya menyalahkan, kita nggak ada cukup dana, begitu terus sampai titik teratas—dia juga menyalahkan pendidikan yang dia terima kayak apa. Jadi, masalah ini masih berlangsung.
Seringkali saya melihat di luar negeri atau ketika kita lihat di media saja, di film atau di mana, dan pengalaman saya, ketika guru menyampaikan, “Oke, ABC, tentang apa gitu,” saya sebagai murid yang diajarkan guru itu, tidak percaya atau tidak setuju dengan pernyataan dia, saya bisa mengangkat tangan, “Ma’am, tapi menurut saya harusnya DEF. Kenapa ABC?”
Mempertanyakan guru itu bukan hal yang tidak sopan, bukan hal yang tidak hormat, melainkan hal yang sehat. Kenapa? Karena terjadi percakapan antara guru dan murid. Ini di kuliah saya, di kuliah besar pun seperti ini. Pengajaran itu bukan sepihak. Tapi dari unsur kata belajar-mengajar, bukan proses belajar saja. Belajar-mengajar, bahwa guru dan murid itu sama-sama belajar, tapi sama-sama mengajari juga.
Nah, menurut saya, di Indonesia ini seringkali—yang tadi saya bilang, ada feodalisme. Bahwa, oh, dia lebih senior, atau dia punya gelar, maka dia bisa ngomongin ini. Saya bukan siapa-siapa, maka nunduk aja. Murid yang seringkali mempertanyakan tentang satu hal kesejarahan, hal-hal sensitif, justru dikeluarkan dari kelas, dimarahi. Itu memang terjadi. Jadi, yang menurut saya, yang membedakan sekali Indonesia dengan di luar negeri yaitu kurang adanya dialektika.
#Joko Anwar mengatakan, film ini juga tentang peringatan bahwa sejarah kelam bisa terulang kembali. Terutama dengan kondisi sosial politik sekarang—seperti aksi Tolak UU TNI, Indonesia Gelap, maraknya kekerasan hingga pembungkaman. Bagaimana Anda menilai pentingnya vokal sebagai seorang pesohor?
Saya setuju dengan aktivisme akar rumput. Saya percaya dengan aktivisme yang vokal. Tapi mungkin cara vokal saya adalah saya menelaah dulu, lalu saya suarakan apa pendapat saya. Karena apa, menurut saya kita ini rakyat-rakyat yang memiliki akal. Kita, ada mulianya menjadikan diri kita sebagai mikrofon, tapi ada juga mulianya kita rasional dan kita bilang, “Oke, menurut saya (blablabla)”, karena kita berkontribusi.
Pilihan Editor: Morgan Oey dan Omara Esteghlal Cerita Peran Guru Vs Murid Bermasalah di Pengepungan di Bukit Duri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini