Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Krisis Iklim dalam Kolaborasi Teater Boneka di Yogyakarta

Beberapa kelompok teater boneka dunia berkolaborasi dalam Pesta Boneka di Yogyakarta. Bertema perdamaian hingga krisis iklim.

3 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEEKOR burung dari kertas washi berkelir putih terbang ke sana-kemari. Berparuh kuning gading, burung itu melayang-layang dan menyambar boneka-boneka mini yang disusun bertumpuk di lantai. Burung berukuran jumbo itu datang bersama seorang dalang, Maria Tri Sulistyani, dari balik layar putih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ria—sapaan akrab Maria—menggerakkan burung itu dengan kedua kakinya. Burung tersebut tampak seperti sedang menari diiringi alat musik yang dimainkan Shinichi Hirai dari Usaginingen, kelompok seni pertunjukan asal Jepang. Di layar muncul gambar analog yang dibentuk menggunakan cairan kimia dan dioperasikan Emi Hirai, istri Shinichi yang juga anggota Usaginingen. Wujud visualnya bermacam-macam, antara lain gumpalan tanah dan bebatuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Jumat malam, 25 Oktober 2024, itu, Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater yang diinisiasi Ria dan suaminya, Iwan Effendi, tampil bersama Usaginingen dalam Pesta Boneka Ke-9 yang digelar selama 23-27 Oktober 2024 di Kampoeng Media, Desa Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Digelar setiap dua tahun, Pesta Boneka tahun ini mendatangkan 120 seniman dari 25 negara.

Pesta kali ini bertema “Seeds of Hope” (Benih-benih Harapan). Tema ini berhubungan dengan berbagai persoalan dunia yang berdampak pada kehidupan manusia, seperti peperangan dan krisis iklim. Lewat tema tersebut, para seniman ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya membawa harapan dan kebaikan ke banyak tempat di tengah beragam persoalan dunia.

Pertunjukan teater boneka kolaborasi Papermoon dengan Usaginingen itu berjudul Songs for Us to Meet. Panggung boneka nonverbal itu menarik perhatian ratusan penonton yang berlesehan dengan payung pohon bambu dan berteman desir angin malam.

Pentas selama hampir satu jam itu ditujukan bagi anak-anak berusia enam tahun ke atas. Papermoon dan Usaginingen bahkan melibatkan anggota keluarga mereka, yakni Lunang, anak pasangan Ria-Iwan, dan Minagu Hirai, anak pasangan Emi-Shinichi, dalam pertunjukan.

Pentas Papermoon Puppet Theatre bersama Usaginingen, kelompok seni pertunjukan asal Jepang berjudul Song For Us To Meet dalam Pesta Boneka ke-9 di Kampoeng Media di Desa Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada Jumat, 25 Oktober 2024. Tempo/Shinta Maharani

Kedua keluarga ini juga pernah tampil dalam Washi Meets Art Festival di Kochi, Jepang, pada Juli 2024. Di sana, Ria dan keluarganya tampil setelah menjalani residensi seni selama tiga pekan di sebuah rumah di Pulau Teshima untuk berkolaborasi dengan keluarga Emi. Rumah residensi yang mereka tinggali adalah bekas panti asuhan.

Menurut Ria, tidak mudah meyakinkan warga Jepang untuk berkolaborasi. Tantangannya ada pada proses kreatif karena mereka punya latar belakang budaya yang berbeda. “Untuk menyatukan chemistry tidak gampang,” kata Ria kepada Tempo seusai pertunjukan.

Ria memasak masakan khas Indonesia seperti soto dan nasi goreng untuk mencairkan suasana dalam lokakarya dengan masyarakat setempat. Rupanya, memasak, bagi dia, menjadi cara ampuh untuk memecah kebuntuan.

Perkenalan keluarga seniman itu bermula pada 2019 melalui media sosial. Ria mengetahui kelompok Usaginingen dari temannya yang tinggal di Jepang. Dia melihat kemiripan kelompok itu dengan grup teaternya karena mereka melibatkan keluarga. Ria kemudian mengikuti akun media sosial kelompok tersebut.

Hubungan pun berlanjut. Pada 2021, Usaginingen menjadi peserta Gulali Festival yang diinisiasi Papermoon dan digelar dalam format daring. Pada 2023, mereka berpentas secara luring dalam Gulali Festival di Yogyakarta.

Usaginingen adalah kelompok seni pertunjukan berbasis keluarga yang memanfaatkan peralatan visual dan alat musik buatan sendiri. Kelompok ini memulai kiprahnya pada 2011 di Berlin, Jerman. Beberapa tahun kemudian, mereka pindah ke Teshima. Pertunjukan eksperimental menjadi ciri khas mereka.

Kelompok ini unik karena memadukan teknik analog dan digital dengan musik. Mereka telah tampil di 27 negara dan aktif dalam berbagai festival seni dengan pengembangan karya seni berupa instalasi, misalnya lewat penciptaan seperangkat alat mirip pemintal benang yang digerakkan dengan dua kaki.

Mereka juga aktif bekerja sama dengan masyarakat dalam memanfaatkan lahan pertanian yang terbengkalai dan menjalankan program seni residensi menggunakan bangunan-bangunan bekas. “Boneka burung itu terinspirasi dari burung yang banyak menghuni tempat residensi kami,” tutur Ria.

Burung putih itu menjadi tokoh sentral yang mengisahkan siklus hidup manusia, yakni lahir, tumbuh, berkembang, dan mati. Namun kematian membawa harapan baru. Burung yang mati itu menyatu dengan tanah dan menjadi pupuk untuk menyokong kehidupan.

Kolaborasi keduanya dalam Song for Us to Meet memadukan dua pendekatan seni yang kontras. Papermoon dikenal punya kekuatan pada teknik penceritaan yang naratif, sementara Usaginingen tampil dengan pendekatan yang abstrak.

Shinichi Hirai menyebutkan pertunjukan mereka terinspirasi alam dan kehidupan sehari-hari di Pulau Teshima. Kelompoknya memadukan seni visual dengan musik yang membawa emosi setiap individu. Contoh emosi itu adalah nada musik yang membawa sensasi kesedihan, kemuraman, dan kegembiraan.

Shinichi menciptakan seperangkat alat musik yang disebut Shibaki, yang dalam bahasa Jepang berarti ketukan. Dia memainkan alat-alat musik yang disusun pada kayu dengan cara duduk seperti penabuh drum. “Kami menekankan imajinasi dan rasa,” ucapnya.

Pesta Boneka ke-9 di Kampoeng Media di Desa Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada 23-27 Oktober 2024. Tempo/Shinta Maharani

Menurut Shinichi, hal yang menantang dalam kolaborasi dengan Papermoon adalah penyatuan teknik berkarya yang berbeda. Bagi dia, diperlukan usaha yang kuat untuk sama-sama memahami pendekatan masing-masing. Semua boneka yang ditampilkan dalam kolaborasi itu mereka bikin sendiri dengan bahan terbatas. Lunang dan Minagu turut serta menciptakan boneka-boneka yang dipentaskan.

Kolaborasi seniman lintas negara juga muncul dalam penampilan Mighty Women Mini Puppet Collective. Enam perempuan asal Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Amerika Serikat itu tampil sepanggung dengan media masing-masing yang berbeda. Misalnya Pie Chen Kuo, dalang The Puppet & Its Double Theater asal Taiwan, menampilkan mainan berbentuk ekskavator, babi, sapi, singa, dan kayu.

May Than, pendiri Talentshow Theatre Company asal Thailand, tampil dengan menggerakkan kaus tangan dan daun kering. Dia berpantomim dengan menghidupkan kaus tangan itu. Lain halnya dengan Sherry Harper-McCombs asal Amerika Serikat yang memainkan bola dunia dari kertas hijau yang berisi pohon dan bunga.

Meskipun satu panggung, mereka tampil secara solo di meja masing-masing dalam pertunjukan berjudul Finding Seeds yang berdurasi satu jam. Mereka juga berinteraksi dengan penonton, yang sebagian adalah anak-anak.

Enam seniman itu pertama kali berkolaborasi dalam Pesta Boneka ini. Pie Chen mengatakan mereka berlatih intensif selama tiga hari untuk pentas ini. Karena datang dari berbagai negara, mereka bersepakat membuat konsep masing-masing dan tampil solo di satu panggung.

Menurut Pie Chen, tidak mudah menyatukan perbedaan itu. Keterbukaan setiap seniman menjadi kunci dalam kolaborasi. “Kami terbuka pada berbagai ide dan kemungkinan,” ujarnya.

Pie menampilkan mainan ekskavator berukuran kecil yang kelaparan layaknya manusia yang rakus. Alat berat itu membuka mulutnya dan memakan apa pun di sekitarnya, seperti babi. Ekskavator itu juga mengeruk tanah dan rerumputan. Dalam pembuatan karyanya, Pie terinspirasi masifnya pembangunan infrastruktur di Taiwan sepuluh tahun terakhir.

Seperti Pesta Boneka sebelumnya, para seniman yang berpentas kerap membawa kesegaran dan kejutan. Keberagaman teknik atau pendekatan itulah yang menjadi kekhasan pesta ini, yang dikerjakan secara keroyokan dengan melibatkan berbagai komunitas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Burung Kertas dan Ekskavator Lapar"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus