Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

L.K. Ara: Insang, Suno, dan Didong

Fikar W. Eda

Fikar W. Eda

Penyair serta promotor budaya dan kopi Gayo. Buku kumpulan puisinya, antara lain, Rencong (2003) dan Sepiring Mie Aceh, Secangkir Kopi Gayo, bertalam Giok Nagan (2016). Puisinya tersebar di berbagai antologi puisi bersama sejumlah penyair lain.

Di usia 87 tahun, sastrawan L.K. Ara tetap produktif menulis, hadir di berbagai acara sastra dan budaya, juga menjadi YouTuber

14 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penyair L.K. Ara (kiri) membaca puisi diringi suling oleh seniman Gayo, Azzam Pegayon, di Datu Coffee, Takengon, Aceh Tengah, 1 Desember 2024. TEMPO/Mustafa Ismail

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • L.K Ara, 87 tahun, masih produktif berkarya dan hadir di berbagai acara sastra, seni, dan budaya.

  • Ia dikenal sebagai salah satu perawat sekaligus promotor budaya Gayo.

  • L.K. Ara menggunakan berbagai kemungkinan untuk berkarya, termasuk kecerdasan buatan.

PERTANYAAN yang lama terpendam akhirnya saya lepaskan saat bertemu dengan L.K. Ara di sebuah kafe Aceh di Tanah Abang, Jakarta, tiga tahun lalu. Ia tidak muda lagi, usianya 84 tahun ketika itu. “Energi Pak Ara luar biasa besar dalam mencipta. Setiap hari Pak Ara melahirkan puisi dan mem-posting-nya. Bagaimana bisa?” tanya saya sedikit cemburu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

L.K. Ara lahir di Takengon, 12 November 1937. Pada November tahun ini, usianya genap 87 tahun. Saya menyimpan “cemburu” sangat besar. Ketika dunia beralih dari analog ke digital, L.K. Ara cepat-cepat menyesuaikan diri. Ia menjadi YouTuber “tertua” bidang budaya dan sangat diperhitungkan. Kanal YouTube miliknya, LK Ara Official (@lkaraofficial7504), memiliki 5,53 ribu subscriber, 1.282 video, dengan 1.277.784 view (per 4 Desember 2024). Ia mulai bergabung di YouTube pada 5 Desember 2016. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di era artificial intelligence (AI), L.K. Ara juga bersenyawa dengan kecepatan zaman. Ia bermain Suno, aplikasi pembuat musik, dan gambar-gambar buatan AI untuk ilustrasi pembacaan puisinya. Bisa dinikmati pada Ombak Pantai Barat atau Ziarah

Ziarah

pada suatu Jumat yang cerah
kami pun ziarah ke makam Abu Woyla
di kampung pasi Aceh,
Meulaboh tempatnya.

Selesai shalat jumat yang teduh
angin melingkar dalam ruangan
membawa udara nyaman.

Senang tak terkira
dapat kesempatan shalat jumat
di kampung tempat Abu Woyla
tinggal lama meski sang pengembara
terus saja berkelana.

Terbayang Abu Woyla
Khutbah di mimbar
Dan memberi ceramah
Di tengah masyarakat yang luas
Namun tak dilakukan
Abu seperti menyendiri
Tak ada kesempatan berbagi
Karena waktu penuh
Untuk Yang Maha Penyuluh

Sekali waktu muridnya bercerita
Saat tidur malam
Orang-orang lelap di peraduan
Abu menghilang
Mungkin menjenguk kampung lain
Bersilaturahmi malam hari
Namun pagi hari
Abu sudah ada dikamar lagi

Meulaboh-Banda Aceh, Januari 2012

Seniman asal Aceh, LK Ara membacakan puisi karyanya dalam peringatan 40 hari bencana dan gempa tsunami, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 4 Februari 2005. Dok. TEMPO/ Tommy Satria

L.K. Ara tidak pernah diam. Ia terus bergerak menggunakan kemungkinan-kemungkinan baru perkembangan teknologi digital. Suatu kali ia mengontak saya meminta satu puisi. Saya kirimkan Rukuk Sujud Tiang Hitam. Esoknya, dia mengirim hasil pekerjaan Suno. Sejenak saya tercenung. Saya juga mencoba-coba menggunakan Suno. Pertama dicoba, bikin takjub. Dalam sekelip mata, langsung jadi lagu dengan ilustrasi cover yang rapi. Tapi, setelah dua-tiga kali, bosan juga. 

“Wah, ini karya Suno,” komentar saya kepada L.K. Ara sesaat setelah mengirim link YouTube. Saya menyarankan agar sebaiknya suara L.K. Ara sendiri direkam ketika membaca puisi dan di-posting. Akan bagus bagi generasi muda. Hasilnya juga jauh lebih menggetarkan. 

Saya teringat tulisan almarhum A.D. Pirous yang batal dibacakan dalam Pidato Kebudayaan Kongres Kebudayaan Aceh di ISBI Aceh, Mei 2024. Naskah pidato sudah selesai, A.D. Pirous dipanggil Ilahi. Naskah akhirnya dibacakan sahabatnya, Kamal A. Arif, dalam kongres itu. “AI itu hanya meniru perasaan, dia tidak merasakan,” tulis Pirous. 

Saya menikmati pembacaan puisi Ombak Pantai Barat dengan orisinalitas vokal L.K. Ara. Sungguh menggetarkan. Berikut puisinya: 

Ombak Pantai Barat

Ombak itu datang dari jauh.
Ia lelah
Ia menyeret langkahnya
Ia lalui samudra

Sambil melangkah ia bermada
Byur byur

Ombak itu kuyup oleh keringat
Ia tengadah ke langit
Seperti berdoa
Meminta kasih dan tenaga

Lalu ia seret langkahnya
Menempuh samudra
Sambil melangkah ia mendesah
Byur, byur

Ombak itu ombak pantai barat
Jutaan jumlahnya
Terluka bersama kita
Byur, byur

Ombak itu ombak pantai barat
Jutaan jumlahnya
Menangis bersama kita
Byur, byur
Berdoa bersama kita
Byur, byur
Berzikir bersama kita
Byur, byur

Ombak itu ombak pantai barat
Jutaan jumlahnya
Tengadah mengharap kasih-Mu
Ya Tuhan
Teteskan bibit kasih-Mu

Ombak itu ombak pantai barat
Jutaan jumlahnya
Tengadah mengharap kasih-Mu
Ya Tuhan
Teteskan bibit kasih-Mu
Ya Tuhan
Teteskan bibit kasih-Mu

Meulaboh, 23 Feberuari 1988

L.K. Ara (kanan) bersama Sutardji Calzoum Bachri di kediamannya yang juga menjadi Rumah Didong, di Takengon, Aceh Tengah, 30 November 2024. TEMPO/Mustafa Ismail

Nama L.K. Ara sudah lama lekat dalam ingatan. Ketika saya baru belajar berkesenian dan duduk di bangku SMA di Takengon, Aceh Tengah, saya sudah mendengar nama besar L.K. Ara. Saya sekampung dengan dia. Kami sama-sama suku Gayo. 

L.K. Ara adalah orang yang memperkenalkan Cek Toet dengan sangat baik di Jakarta. Ia membawa Toet, pendiri kelop atau grup didong Siner Pagi, berkeliling ke berbagai tempat dan “manggung” di depan tokoh-tokoh penting. Rendra kemudian menyebut Toet sebagai penjaga terakhir gerbang tradisi.

Sekitar 1983 atau 1984, L.K. Ara bersama Toet pulang kampung dan manggung di Gedung Olah Seni Takengon. Saya diminta menjadi penampil pembuka. Sejak saat itu saya makin mengenal L.K. Ara dan beberapa kali bertemu kembali dalam berbagai forum, seperti Pertemuan Sastrawan ASEAN di Jabal Ghafur Pidie pada 1986 serta sejumlah kesempatan lain di Banda Aceh, Takengon, dan sebagainya. Pertemuan kami kemudian begitu sering, sampai sekarang. 

L.K. Ara adalah seorang dokumentator sastra lisan Gayo. Ia mengumpulkan karya-karya puisi penyair didong dan menerbitkannya dalam bentuk stensilan, kemudian dicetak melalui program penerbitan sastra daerah di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Sastrawan senior ini menghasilkan berbagai karya penting yang tak hanya dikenal di Indonesia, tapi juga diakui secara internasional, termasuk oleh Library of Congress di Amerika Serikat. Pada 1971-1972, Library of Congress membeli 30 judul puisi didong hasil dokumentasi L.K. Ara. Salah satu perpustakaan terbesar dan terlengkap di dunia itu menjadikan karya L.K. Ara bagian dari koleksi global mereka.

Ia dikenal karena ketelitiannya dalam menghimpun karya-karya puisi didong dari berbagai maestro Gayo, seperti Ibrahim Kadir (Gentala), Sali Gobal, Lakiki, To'et, Mude Kala, A.R. Hakim, dan Abdur Rauf. Tulisannya tentang sosok Ceh Daman bisa dibaca dalam buku Seulawah Antologi Sastra Aceh (1995). 

Begitu juga wawancaranya dengan Ceh Sali Gobal saat ini ikut diterbitkan dalam Didong Ciptaan Sali Gobal. Banyak lagi karya-karya kreatif L.K. Ara dalam bidang pendokumentasian sastra lisan Gayo yang bernilai tinggi. Dia juga menerjemahkan karya-karya puisi didong itu sehingga pembaca non-Gayo mudah memahami maknanya. 

Sampul buku Seulawah Antologi Sastra Aceh karya L.K. Ara.

Awal mula L.K. Ara mendokumentasikan sastra lisan berakar dari kecintaannya pada budaya Gayo dan keprihatinannya terhadap potensi hilangnya tradisi lisan ini di tengah perubahan zaman. Keterlibatannya dimulai pada masa muda, ketika ia menyadari bahwa sastra lisan, terutama didong, merupakan kekayaan budaya yang unik dan penting untuk diwariskan kepada generasi mendatang. 

Sastra lisan, jika tidak didokumentasikan, hanya akan hidup selama ada pelaku atau penghafalnya. L.K. Ara ingin memastikan karya-karya ini tidak hanya diingat, tapi juga dapat diakses oleh semua pihak melalui bentuk tertulis.

Kerja keras L.K. Ara dalam melestarikan sastra lisan didong Gayo membuahkan penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi kategori Pelestari pada 2019. Ia menerima penghargaan itu bersama 59 orang lain dari seluruh Indonesia dalam suatu upacara pada 10 Oktober 2019 di Istora Senayan, Jakarta. Saya beruntung hadir menyaksikannya. 

Beberapa waktu kemudian, L.K. Ara memberitahukan bahwa ia akan mendirikan Rumah Didong. Modal awalnya adalah hadiah Rp 50 juta yang ia terima dari anugerah itu. Ia mengabarkan rencana ini ke banyak kalangan. Rumah Didong itu akhirnya berdiri di rumahnya sendiri di Kampung Kala Nareh, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah. Sebab, harapan mendapatkan tanah dan bangunan belum juga terealisasi. 

Ketika Fadli Zon dilantik menjadi Menteri Kebudayaan serta menyampaikan rencana pembangunan museum musik, sastra, dan peradaban Islam, L.K. Ara mengirim pesan WhatsApp yang menyatakan kegembiraannya. Ia mengaku akan membantu mengisi museum itu, terutama aspek musik dan sastra dari Aceh. Sebagai orang yang memahami budaya Gayo, ia bisa berperan menyusun pameran autentik serta mendukung keberlanjutan budaya melalui dokumentasi akurat.

L.K. Ara singkatan dari Lisik Kati Ara. Artinya kreatif, cekatan, baru ada (hasil). Tak hanya berkutat pada sastra lisan Gayo, ia juga memiliki kreativitas tinggi di bidang puisi. Ia sosok penyair produktif, tak pernah berhenti menulis. Melahirkan banyak buku puisi. 

Barangkali karya bukunya sudah lebih dari 150 judul, baik puisi, cerita anak, maupun dokumentasi puisi didong. Salah satu karya L.K. Ara adalah buku Kur Lak Lak, yang berangkat dari mantra. Dalam tradisi Gayo, “kur lak lak” adalah mantra yang digunakan saat menjemur padi pada sore hari, ketika matahari mulai meredup. Dengan ungkapan, “kur lak lak, makin yo, makin porak.” 

Kur lak lak adalah ungkapan dalam mantra Gayo untuk menunda hujan agar hari tetap panas supaya padi yang dijemur petani cepat kering,” demikian L.K. Ara menulis di catatan di bawah puisi itu. Berikut puisi Kur Lak Lak yang menjadi judul buku tersebut.

Kur Lak Lak

kur lak lak
hujan pun berhenti
dingin pun berhenti
gigil pun berhenti
nyeri pun berhenti

kur lak lak
marah pun berhenti
iri pun berhenti
pongah pun berhenti
dengki pun berhenti

kur lak lak
kur lak lak
tambah sore hari sore
tambah tua usia tua
kur lak lak
kur lak lak

 

Sampul buku Kur Lak Lak karya L.K. Ara.

 

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Takengon, L.K. Ara melanjutkan sekolah ke Taman Madya, Taman Siswa, di Medan. Ia sudah menaruh perhatian besar pada dunia sastra, dari menulis sajak hingga menjadi redaktur di berbagai media, seperti Mimbar Umum di Medan serta Pustaka dan Budaya di Jakarta. Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka sampai pensiun. 

Buku Seulawah, Antologi Sastra Aceh merupakan salah satu karya monumental L.K. Ara di bidang sastra. Ia bersama Taufiq Ismail dan Hasyim K.S. mengumpulkan serta menerbitkan karya-karya sastra Aceh sejak era Hamzah Fansyuri sampai era kini. Saya salah seorang yang diajak mengisi antologi setebal 727 halaman itu. Ini buku paling lengkap yang memuat karya sastrawan Aceh. Memang ada beberapa penulis tamu, tapi mereka semua membahas Aceh. 

Era terus berputar seperti gasing berputar. L.K. Ara ikut berputar, seperti juga gasing berputar. Ia menulis, membaca puisi, merekam peristiwa, lalu mem-posting di media sosial. Ia mengurus museum, menghadiri undangan, menerima tamu, dan sesekali menerima penghargaan. “Seperti insang membutuhkan air, bernapas. Seperti paru-paru membutuhkan oksigen, bernapas. Saya butuh puisi, bernapas,” jawab L.K. Ara tentang pertanyaan saya di awal tulisan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus