Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENI GRAFIS ETSA | ||||||||
Karya | : | RembrandtTempat | : | Erasmus Huis, Jakarta | Waktu | : | 4 November - 6 Desember 1998 | |
Pelukis Rembrandt pernah bangkrut karena terbelit utang. Inilah yang terjadi ketika anak seorang penggiling gandum itu tak mampu mengembalikan utang yang digunakannya untuk membeli sebuah rumah yang luas. Rumah itu dibelinya demi istri tercinta, Saskia van Uylenborch, yang berasal dari keluarga aristokrat. Perkawinan ini mengantarkan Rembrandt ke pergaulan sosial dan gaya hidup kelas atas. Tapi, kemudian, justru karya grafislah yang menolong dia bangkit dari kebangkrutan ekonomi itu.
Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669) memang tak cuma dianggap sebagai pelukis besar dengan karya lukisnya yang sangat terkenal, Penjaga Malam (1642), tapi ia juga seorang seniman yang bekerja dengan medium grafis dan gambar di atas kertas. Karya grafisnya yang menggunakan teknik etsa itu mencapai tingkat eksplorasi teknis yang luar biasa pada masanya (abad ke-15) dan masih menjadi patokan kualifikasi teknis seniman grafis pada abad ke-20. Karya grafisnya inilah yang bisa kita nikmati selama sebulan di Erasmus Huis mulai awal pekan ini.
Keterlibatan Rembrandt dalam seni grafis sebenarnya berangkat dari sebuah keterpaksaan. Rembrandt memulai karirnya sebagai pelukis independen. Namun, sejak ia pindah ke Amsterdam pada 1631, namanya sebagai pelukis muda mulai melejit hingga ia mulai populer di kalangan keluarga Istana Oranje di Den Haag. Tahun 1630 hingga 1640 adalah masa produktivitasnya yang tinggi. Ia banyak menerima pesanan karya bergengsi. Tapi gaya hidup kelas atas itu tak diimbangi dengan kemampuannya mengelola uang yang mengalir dari penjualan lukisan. Belitan utang pun tak terhindarkan. Celakanya, pada saat itu juga terjadi perubahan selera berkesenian di kalangan masyarakat kelas atas yang merupakan pasarnya. Terlebih lagi, Rembrandt terlibat dalam persaingan tajam dengan pelukis muda yang, ironisnya, sebagian besar adalah anak didiknya. Akibatnya, Rembrandt jatuh bangkrut pada 1656.
Kebangkrutan ekonomi ini mendorong Rembrandt menekuni teknik etsa. Dalam waktu singkat, ia berhasil menguasai teknik etsa dan menghasilkan karya etsa yang sama kedudukannya dengan karya lukis. Rembrandt mengawinkan teknik konvensional etsa dengan menggunakan teknik yang dikembangkannya sendiri. Ia menggunakan jarum kering yang langsung ditorehkan ke atas lempengan tembaga tanpa lapisan lilin. Hasilnya, meski torehannya berupa garis-garis kasar pada lempengan tembaga, ketika dicetak menghasilkan citra sekumpulan garis lembut bak beledu. Efek istimewa ini masih tampak meski sudah dicetak hingga 40 edisi.
Karyanya yang berjudul Penampakan Kristus--satu dari 30 karya etsa yang diboyong Museum Boijmans van Beuningen ke Indonesia--menggambarkan wujud Kristus dalam citra rupa yang lembut. Tampak permainan pencahayaan gelap dan terang yang menghasilkan kedalaman ruang. Rembrandt sangat berhasil mencapai karakter hitam putih yang memang sangat khas teknik grafis etsa. Figur-figur yang ramai digarap dengan sangat teliti dengan permainan gradasi yang sangat khas teknik realis Rembrandt. Begitu juga halnya dalam karyanya yang bertajuk Santo Hironimus di Sebuah Ruangan Gelap. Tampak sekali karya yang dibuat pada 1642 itu merupakan sebuah pameran aksi kemampuan teknik etsa. Sosok figur sang santo hanya tampak samar-samar dalam sergapan kegelapan yang kelam.
Dari segi tematis, karya Rembrandt lebih merupakan terjemahan teks daripada sebuah medium ekspresi. Sebagian besar karya Rembrandt memang merupakan narasi kitab Injil, tetapi ia tak sungkan juga menggarap figur perempuan telanjang, potret diri, atau sekadar karya studi. Kegemarannya menggambar tertuang lewat karya etsa yang umumnya berukuran kecil, bahkan ada yang hanya seukuran kartu nama. Tak mengherankan kalau Rembrandt cukup banyak membuat karya etsa--290 karya etsa--selama karir kesenimanannya.
Nasib Rembrandt memang sangat tertolong oleh sikap kolektor seni di Belanda, yang tidak diskriminatif terhadap karya grafis. Jejak-jejak penghargaan terhadap karya grafis di Belanda hingga saat ini masih tampak jelas. Hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Karya grafis dianggap sebagai karya seni kelas dua.
R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo