Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah Prosa dari Lola Amaria

Sebuah film tentang tenaga kerja wanita yang disajikan dengan sikap yang realistis dan tak dijejali sedu-sedan.

14 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK
Sutradara: Lola Amaria
Skenario: Titien Wattimena
Pemain: Lola Amaria, Titi Sjuman, Donny Alamsyah, Donny Damara
Produksi: Pic[K]Lock Productions

VICTORIA Park tidak menjanjikan banyak hal. Para pengunjungnya tak dijamin pasti bahagia hanya dengan mengunjungi taman itu; mereka mungkin tak bisa segera pulang ke tanah air; mereka mungkin dibelit utang tak berkesudahan. Tetapi Victoria Park selalu menjanjikan matahari dan kebersamaan. Para tenaga kerja wanita Indonesia bergerombol pada hari Minggu di taman yang luas di Hong Kong ini, karena itulah satu-satunya hari mereka bisa menjadi manusia biasa yang bergurau, bercinta, atau sama sekali tidak mengerjakan apa-apa selain duduk-duduk tanpa persoalan.

Tetapi sesungguhnya persoalan adalah bagian dari hidup mereka. Mereka merantau ke Hong Kong menjadi pembantu rumah tangga dari pagi hingga malam, diselingi berbagai problem: utang besar, tagihan kiriman dari rumah, visa yang sudah habis, dan yang paling parah terlunta-lunta di negeri orang tanpa paspor.

Syahdan, Mayang (Lola Amaria) diutus ayahnya, Sukardi (Joko Kamto), untuk mencari sang adik, Sekar (Titi Sjuman), yang mendadak hilang dari peta Hong Kong. Dua tahun lalu, Sekar pergi ke Hong Kong dengan harapan bisa membiayai keluarganya di kampung. Nyatanya, setelah beberapa saat, dia menghilang tanpa bekas.

Tetapi, setelah empat bulan Mayang mulai beradaptasi di sebuah keluarga Hong Kong yang baik, dia mulai melihat jejak adiknya ada di mana-mana. Dia mulai mengalami sebuah deja vu, bahwa semua lelaki akan selalu lebih tertarik pada adiknya yang cantik dan semua orang akan selalu lebih mencintai Mayang. Kisah keluarganya di kampung akan terulang di Hong Kong: Sekar adalah bintang; Mayang adalah bayang-bayang.

Problem adik-kakak ini adalah plot utama; tetapi yang menarik justru latar belakang kehidupan TKW di Hong Kong yang digambarkan Lola dengan sikap yang sangat santai, realistis, dan tidak menghakimi. Lola Amaria, dalam film keduanya ini, bukan hanya berkisah tentang adik-kakak Sekar-Mayang yang dilanda persaingan kasih sayang ayah, melainkan juga tentang Sari (Imelda Soyara), yang memiliki kekasih yang hidup seperti parasit; atau pasangan Yati dan Agus yang kerjanya bertengkar lalu bermesraan kembali; dan belum lagi Mayang yang dilanda kebimbangan untuk bertemu dengan adiknya. Sekar, sosok yang dicari oleh seluruh rombongan TKW di Hong Kong itu, terbelit utang besar dan akhirnya merasa tak punya pilihan lain dari menjual diri.

Yang sungguh menyegarkan dari film ini adalah sikap Lola Amaria dalam menggarap tema yang sangat sensitif ini. Pertama, Lola tidak menjejali tokoh-tokohnya dengan keluh-kesah dan air mata yang berurai-urai secara berlebihan. Topik TKW sebetulnya sangat berpotensi untuk dieksploitasi. Tetapi Lola sangat menjaga agar tetap pada penyajian yang realistis. Hampir seperti sebuah dokumenter yang sederhana, tetapi tetap menampilkan persoalan yang penting: apakah mereka sudah diperhatikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia; apakah sistem yang berlangsung sudah beroperasi dengan wajar dan lancar? Itu pekerjaan rumah pemerintah Indonesia.

Lebih menarik lagi, Lola juga bersikap sangat santai dan tidak menghakimi kehidupan para TKW. Dia menyajikannya dengan gamblang tanpa ceramah moral. Memang ada beberapa dialog di beberapa tempat yang agak verbal, yang akan lebih efektif jika diperpendek atau sekalian dihapus saja (dialog panjang banget sewaktu Mayang akhirnya menemui adiknya di kamar mandi). Ekspresi Lola sebagai Mayang sudah banyak bicara bahwa dia sesungguhnya mencintai adiknya.

Hal lain yang perlu dicatat, ketika film masuk pada suasana yang kelam akibat sebuah kematian, Lola juga tidak mengoyak layar dengan mengharu biru. Kita tahu, adegan ini sangat potensial untuk dibuat seperti sinetron. Tetapi Lola malah menampilkannya dengan rangkaian adegan yang efektif: saling telepon dan ekspresi yang kosong. Lalu tanpa suara dan tanpa bunyi, kita melihat pelabuhan di Hong Kong yang tampak riuh, tetapi menyajikan sunyi dan perih. Lola memberikan sebuah prosa liris.

Para lelaki dalam film ini adalah tokoh pendukung. Vincent (dimainkan dengan sangat baik oleh Donny Alamsyah) sebagai pengusaha yang menaruh hati pada Mayang, dan Gandhi (Donny Damara) diperlukan dalam cerita untuk penopang. Tetapi bintang sesungguhnya dalam film ini adalah para TKW dan sebentang tanah bernama Victoria Park.

Kini Lola Amaria sudah menunjukkan dirinya sebagai sutradara yang berbicara (dengan fasih). Melihat film ini—sekaligus penampilan Titi Sjuman dan Donny Alamsyah—kita harus optimistis, film Indonesia masih bernapas dengan baik. Lola, kami akan menanti karya berikutnya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus