Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO itu hampir pudar warnanya. Hanya tersisa kuning yang memutih di siku-sikunya. Pria di foto tersebut duduk dengan berwibawa: sorot matanya tajam, rambutnya tebal bergelombang dengan kumis melintang di atas bibirnya. Dialah sang pengarang legendaris itu, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Foto lapuk tersebut dipajang di kaca depan sebuah bangunan kecil berlantai tiga di Jalan Korjespoorsteeg Nomor 20, tak jauh dari Stasiun Amsterdam Central, Belanda. Di sanalah tempat Dekker dilahirkan.
Bangunan sempit yang menjulang itu kini menjadi Museum Multatuli. Lokasinya agak menyudut, masuk ke sebuah gang kecil di tengah-tengah permukiman. Seperti berusaha menjauh dari keramaian kanal di Jalan Singel yang tenar dengan kios-kios bunga tulipnya. Ketika Tempo berkunjung ke sana, awal Mei lalu, seorang perempuan muda membuka pintu, ”Silakan masuk,” katanya. Beruntung, karena museum itu hanya buka pada Selasa, Sabtu, dan Minggu.
Gadis itu adalah Ria Grimbergin, sukarelawan paruh waktu untuk Yayasan Multatuli—pengelola museum tersebut. Dengan cekatan, dia menjelaskan isi kamar demi kamar di rumah masa kecil Dekker itu. Ada barang-barang pribadi sang mantan Asisten Residen Lebak, seperti tas kulit yang biasa dia bawa ke mana-mana, foto-foto pribadi, dan satu lukisan cat air karya Dekker pribadi. Lukisan itu menggambarkan sebuah kapal layar di laut lepas.
”Ini buku edisi pertama Max Havelaar yang terbit pada 1860,” kata Ria. Dia menunjuk sebuah buku bersampul hitam lusuh. Kertasnya mulai menguning dengan sampul mengelupas. Sepintas saja sudah tampak bahwa buku itu kini telah berusia satu setengah abad. Tergeletak di samping buku itu, setumpuk buku Max Havelaar dalam berbagai bahasa.
Menyambut perayaan 150 tahun terbitnya Max Havelaar, buku bersejarah itu diterbitkan ulang dalam format yang lebih luks. Berbagai seminar, diskusi, dan pergelaran kesenian juga diadakan di sejumlah kota di Belanda. Di Amsterdam sendiri, sebuah ekshibisi khusus tentang relevansi novel Havelaar untuk kesadaran sosial masyarakat Belanda diadakan di Universiteit van Amsterdam, selama sebulan lebih.
”Bahasanya sulit saya mengerti,” kata Ria tersipu, saat ditanya pendapatnya sendiri soal buku yang mengkritik praktek tanam paksa di Lebak, Banten, itu. ”Bahkan untuk orang Belanda sendiri, terutama anak-anak muda, sastra novel ini tergolong tinggi,” katanya, seperti membela diri.
Meski begitu, edisi cetak ulang buku ini tetap diserbu publik Belanda. Di toko buku Athenaum, dekat Dam Square, Amsterdam, buku ini ditumpuk di dekat meja kasir agar mudah dicari pembeli. Harganya 13,5 euro sebuah. Bagi yang malas membaca, tersedia edisi audio yang bisa dimiliki dengan harga 20 euro saja. Toko buku ini sering disebut-sebut sebagai rujukan penjualan buku di seantero Amsterdam karena koleksinya yang lengkap. ”Banyak sekali yang mencari Max Havelaar sekarang,” kata pelayan toko buku itu dengan wajah sumringah.
EDUARD Douwes Dekker atau Multatuli (1820-1887) menyelesaikan buku ini di sebuah losmen di Belgia dalam waktu sebulan, pada 1859. Diterbitkan pada tahun berikutnya, Max Havelaar lantas menawarkan dua hal baru kepada khalayak abad ke-19: estetika baru dalam gaya menulis dan kritik tajam terhadap kolonialisme Belanda.
Max Havelaar memang memukau banyak orang. Sastrawan Hermann Hesse dalam Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar di antara buku bacaan yang sangat dikaguminya. Ada bagian tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh. Di Indonesia sendiri, Max Havelaar mendapat tempat istimewa karena ia mengungkapkan sebuah realitas sosial secara apa adanya. Roman ini bercerita tentang akibat buruk sistem tanam paksa di Lebak, Banten. Juga represi yang dilakukan seorang bangsawan setempat—inilah bagian yang kini mengundang reaksi keras dari keturunan sang bengsawan (lihat ”Jejak Dekker di Tanah Lebak”).
Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Buku ini sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda. Sastrawan H.B. Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa aslinya, bahasa Belanda, ke dalam bahasa Indonesia pada 1972. Pada 1973 buku tersebut dicetak ulang.
Ekshibisi 150 tahun Max Havelaar digelar di Bijzondere Collecties, Universiteit van Amsterdam, sejak awal Februari lalu. Sebuah patung replika kerbau dalam ukuran sebenarnya langsung menyergap siapa pun yang memasuki ruangan pameran itu. Kerbau memang menjadi salah satu ikon yang menggambarkan kesengsaraan kaum petani dalam novel Havelaar.
Di sekeliling kerbau itu dipajang berbagai pakaian tradisional khas Lebak pada abad ke-18, masa-masa yang menjadi latar kisah dalam novel Multatuli tersebut. Yang menarik, satu dinding dari ruang pameran itu penuh diisi rentetan kronologi kolonialisme Belanda di Indonesia, yang kemudian dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang diangkat Multatuli dalam karya sastranya.
Misalnya saja, dijelaskan bahwa pada 1860 ada 42.800 orang Eropa yang tinggal di Indonesia, menguasai 12,5 juta penduduk pribumi. Sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial juga dijelaskan secara terperinci, termasuk jenis sanksi yang dikenakan kepada penduduk yang tanahnya kurang subur.
Sedikitnya ada 860 ribu petani yang dipaksa bekerja tanpa mendapat imbalan apa pun sebagai hukuman atas kurangnya panen kopi mereka. Di bagian paling bawah tertera bahwa semua keuntungan dari sistem tanam paksa ini dibawa ke Belanda untuk memperbaiki infrastruktur. Jembatan, jalan, kanal, sampai rel kereta api dibangun dari keringat buruh-buruh tanam paksa di Indonesia. Pemaksaan model inilah yang dikritik oleh Multatuli.
Di ruang ekshibisi kedua dipaparkan bagaimana semangat Multatuli kini diterjemahkan dalam kehidupan modern di Belanda. Sebuah layar televisi menayangkan sebuah film dokumenter berjudul China Blue. Film yang dibuat secara klandestin ini mengikuti proses pembuatan celana blue jeans dari sebuah pabrik di Cina hingga celana itu sampai di tangan konsumennya di Amerika Serikat.
Digambarkan dalam film itu bagaimana buruh-buruh perempuan di pabrik blue jeans tersebut harus bekerja di luar batas kemanusiaan. Mereka tidur di antara tumpukan celana jins setelah tak kuat lagi menahan kantuk di depan mesin jahit. Film produksi Teddy Bear dan disutradari oleh Micha Peled ini memenangi sejumlah penghargaan internasional pada 2005.
Danielle de Jong, aktivis fairtrade di Wereldwinkel Belanda—sebuah jejaring toko khusus produk perdagangan adil—mengaku amat tersentuh oleh film itu. ”Sejak itu, saya benar-benar memastikan semua yang saya pakai tidak dihasilkan dari proses kerja semacam itu,” katanya sambil bergidik.
Danielle mengaku baru selesai membaca Max Havelaar. ”Ibu saya yang memberi tahu saya untuk membacanya,” katanya sambil tertawa. Dia bisa menangkap kesamaan semangat novel itu dengan film China Blue yang muncul puluhan tahun kemudian.
Saat berbicara dalam peringatan 150 tahun Max Havelaar di Erasmus Huis, Jakarta, akhir April lalu, Marita Mathijsen—profesor sastra Belanda di Universiteit van Amsterdam—menyebut novel Max Havelaar sukses menembus seleksi alam. ”Ada kepedulian sosial yang membara dalam buku itu, yang akan selalu relevan,” katanya.
Di ruang ketiga dan terakhir dari ekshibisi ini, hanya ada empat dinding putih kosong. Setiap pengunjung diminta menuliskan sendiri kesannya dan bagaimana nilai Havelaar bisa diterjemahkan dalam kehidupan pribadi mereka masing-masing. Saat Tempo berkunjung ke sana, sebagian dinding sudah penuh coretan. Ada yang sekadar membubuhkan tanda tangan, ada juga yang menulis panjang laiknya puisi. ”Kafetaria kita harus menggunakan bahan-bahan fairtrade,” tulis seorang pengunjung yang tampaknya mahasiswa di kampus itu.
Di ruangan itu juga, empat mahasiswa Universiteit van Amsterdam tengah sibuk mendesain hasil karya instalasi mereka. Sepanjang pameran, mereka diberi kebebasan menuangkan ide-ide mereka soal relevansi Havelaar untuk anak muda seperti mereka. Satu mahasiswa sibuk mengutak-atik petisi audio yang bebas diisi oleh pengunjung pameran. Sementara itu, koleganya menggunting kertas-kertas putih dalam berbagai bentuk siluet, menggambarkan penindasan kolonial Belanda di Karesidenan Lebak.
Semangat anak muda Belanda untuk mengenal dan mengenang Max Havelaar tampak jelas dari catatan peminjaman novel ini di berbagai perpustakaan lokal di negeri itu. Tempo sempat mengunjungi satu perpustakaan lokal di Bussum, satu jam perjalanan dengan kereta api dari Amsterdam. Di sana, ada empat buku Max Havelaar terbitan 2006 yang setiap tahun dipinjam rata-rata 40 kali. Untuk sebuah kota kecil di pinggiran Amsterdam yang penduduknya tak sampai 31 ribu orang, angka itu cukup impresif.
”Kebanyakan yang meminjam anak-anak sekolah menengah,” kata pustakawan di sana. Menurut dia, Max Havelaar memang masih menjadi salah satu karya sastra yang wajib dibaca murid sekolah di Belanda. Film Max Havelaar yang juga merupakan koleksi perpustakaan itu bahkan lebih sering lagi dipinjam orang. ”Tahun ini saja sudah 61 kali keluar,” katanya.
Di rak perpustakaan yang asri itu, buku Multatuli ini disandingkan dengan karya-karya sastra berpengaruh dari berbagai negara. Ada buku karya Charles Dickens, Leo Tolstoy, dan Ryunosuke Akutagawa. Dia satu-satunya pengarang Belanda di deretan karya klasik itu.
PATUNG setengah badan Multatuli dari batu kehitaman itu tegak kukuh di perempatan Singel, Amsterdam, tak jauh dari rumah kelahirannya yang kini jadi museum. Dengan rambut lebat berkibar, patung itu begitu mencolok mata. Apalagi posisinya yang persis di atas persimpangan kanal yang ramai membuatnya menjadi titik persinggahan yang nyaman untuk banyak orang.
Di pojok kanan patung itu, Kafe Van Zuyven menggelar meja bulat dan kursi, mengundang siapa pun bercengkerama di sana. Silih berganti, orang-orang berfoto di bawah patung tersebut. Tak ada habis-habisnya. Tak semua tahu siapa tokoh yang diabadikan di sana. Seorang pria dengan aksen Amerika dengan mantap menunjuk Multatuli dan berujar lantang, ”That’s Albert Einstein!”
Sesekali ada rombongan turis bersepeda mampir dan disambut seorang pemandu wisata. Mereka akan bergerombol di bawah patung, manggut-manggut mendengarkan kisah Max Havelaar dan pergi dengan tatapan kagum. Di perempatan Singel itu, Multatuli tampaknya akan selalu jadi legenda.
Wahyu Dhyatmika, Dian Yuliastuti (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo