Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sekelebatan Pedang Tom Cruise

Mengenakan kimono dan berkelebat dengan pedang samurai, Tom Cruise meloncat ke abad ke-19 di zaman Kekaisaran Meiji. Sebuah film romantik tentang cinta dan kehormatan.

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Last Samurai Sutradara: Edward Zwick Skenario: John Logan, Edward Zwick, Marshall Herskovitz Pemain: Tom Cruise, Ken Watanabe Produksi: Warner Brothers Dia bertanya, di suatu siang musim dingin yang kejam, untuk apa dia ditahan di tengah rerimbunan pohon itu. Katsumoto (Ken Watanabe) menjawab dengan sorot mata bak anak panah yang menghunjam, "Untuk mempelajari musuh saya." Musuh yang dia sandera dan dibiarkan hidup adalah Kapten Nathan Algren (Tom Cruise), seorang tentara penembak ulung veteran Perang Saudara yang gemar bercinta dengan botol alkohol dan hidup dalam sinisme terhadap bangsa dan negaranya yang ekspansif. Karena pengalamannya membantai suku Indian, sang Kapten disewa oleh Kaisar Jepang—yang tengah bergairah membuat negaranya menjadi modern—untuk mendidik tentara Jepang agar bisa mengalahkan kelompok pemberontak pimpinan Samurai Katsumoto. Sudah bisa diduga, Algren tertangkap setelah sebuah pertempuran di tengah rerimbunan hutan. Sudah bisa diduga pula, bukannya Katsumoto yang mempelajari musuhnya melalui Algren, malah Algren yang kemudian mempelajari kehidupan dan konsep samurai. Dan karena itu, tak aneh jika film The Last Samurai akan menjadi Dances with Wolves versi Tom Cruise dengan para samurai. Maafkanlah jika Tom Cruise—yang sudah mengenakan kimono dan berkelabatan bak samurai bule, toh tetap terlihat sebagai Tom Cruise—dengan mudah meludahi negaranya, yang semakin terlihat serakah dan keji, dan mulai jatuh cinta pada kedisiplinan, ketekunan, keteguhan Jepang. Dan ah... maafkan pula jika ia secara "tak sengaja" jatuh hati pada wanita (janda dari samurai yang dia bunuh dalam pertempuran) Jepang bermata sayu, Taka (Koyuki, seorang model Jepang yang menjadi aktris), yang memandangi Algren dengan kegairahan yang terpendam. Karena itu, kita harus memaafkan diri sendiri bila kita ikut terlena pada romantisisme rerimbunan daun hijau, bunga sakura, tetes embun di pagi hari, dan siluet para samurai yang berlatih ketika matahari belum lagi bangun. Sinematografi John Toll yang luar biasa. Seorang tentara bayaran Amerika yang bau masam dan pemabuk, dalam hitungan pekan dan bulan, kemudian berubah menjadi samurai yang dibalut kimono bersenjatakan pedang dan bersahabat dengan alam. Film ini memang bukan film laga meski adegan-adegan pertempuran menjadi klimaks penting. Kita semua tahu bahwa modernisme pada abad ke-19 selalu menjadi pemenang mutlak. Karena itu, pertempuran tentara Kaisar yang menggunakan peralatan modern dari Barat (bom dan senapan) sudah pasti akan mengalahkan para samurai yang bertahan dengan pedang, busur, anak panah, dan berbagai taktik gerilya tradisional. Tapi yang hendak ditampilkan di sini bagaimana sebuah harga diri dipertahankan hingga tetes darah terakhir. Kekalahan atau kemenangan bukan sesuatu yang penting, tapi proses pertempuran yang kemudian mengukuhkan sosok Katsumoto menjadi ksatria yang menjaga martabat dan kehormatan adalah sebuah adegan sunyi yang agung. Harakiri, sebuah konsep yang begitu asing dan ganjil bagi Algren, akhirnya menjadi sesuatu yang dia percaya agar Katsumoto, guru samurai yang dihormatinya, mencapai sebuah tahapan tertinggi bagi para samurai. Watanabe tampil dengan agung. Tom Cruise tampak ganteng di atas kuda dan begitu gagah mengenakan kimono sembari berkelebatan dengan pedang samurai. Tapi dia adalah Tom Cruise, aktor yang sama yang kita lihat di dalam film Born on the Fourth of July atau Jerry Maguire atau Vanilla Sky di abad kini. Dia tidak cukup "terendam basah" seperti seekor bunglon agar kita bisa menyaksikan Kapten Algren di abad ke-19. Plot film ini harus diartikan tentang sebuah rasa sunyi akan kehilangan dunia masa lalu yang penuh martabat. Karena itu, jika dilihat dari segi sejarah—apalagi mengingat Jepang setelah periode ini—yang kemudian membuat Jepang tumbuh menjadi negara yang ekspansif dan pemain yang sungguh berbahaya di panggung internasional, periode The Last Samurai hampir merupakan kenang-kenangan tentang "harta benda" dan nilai yang pernah dimiliki negara itu, yang begitu tradisional, tapi begitu mulia. Simbol kehilangan tradisi itu kemudian digambarkan dengan penyerahan pedang Katsumoto kepada Kaisar Meiji oleh Kapten Algren. Sebuah adegan yang sebetulnya agak heroik, tapi tetap menyentuh karena sang Kaisar—betapapun dia telah menepis Katsumoto dan memilih untuk mendengarkan para penasihatnya—segera menerima pedang itu. Betapapun film mengambil setting Jepang pada abad ke-19, di bawah Kekaisaran Meiji, dan banyak menggunakan dialog dalam bahasa Jepang (lengkap dengan subtitel bahasa Inggris dan Indonesia), Hollywood tak bisa meninggalkan sidik jarinya. Sang "Samurai Kulit Putih" toh tetap terlihat seperti koboi Texas yang ganteng ketika memasuki perkampungan untuk menyambangi Taka yang tengah menanti. Ah, Hollywood dan Tom Cruise tak sanggup menanggalkan kekenesannya.... Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus