PERISTIWA 27 Juli 1996 seolah terasa semakin kelam begitu hakim mengayunkan palu. Terbayanglah jilatan api yang membakar sejumlah gedung di Jakarta dan jeritan para korban. Hanya, tiada kesedihan, apalagi penyesalan, yang hadir di ruang sidang Pengadilan Jakarta Pusat, Selasa pekan silam. Yang ada justru sorak kegembiraan para pengunjung dan letupan rasa bungah Rahimi Ilyas, seorang warga sipil yang menjadi terdakwa. "Terima kasih sekali Ibu Hakim yang berhati mulia," ujar Rahimi, yang diputus bebas, sambil tersenyum. Dia lalu menyalami Nyonya Rukmini (ketua majelis hakim) dan para anggota majelis.
Tiga terdakwa lainnya tak kalah gembira. Kolonel CZI Purn. Budi Purnama (bekas Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya), Kapten Inf. Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya), dan Mohammad Tanjung (warga sipil) juga divonis bebas. Dengan riang mereka pun bergantian menyalami anggota majelis hakim.
Dengan jeratan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (tentang kekerasan), jaksa sebelumnya menuntut keempat terdakwa dengan hukuman 6 bulan penjara. Namun majelis hakim menyatakan keempat terdakwa tidak terbukti melakukan kekerasan terhadap barang ataupun orang seperti didakwakan jaksa. Saat kejadian, mereka tidak terbukti menyerbu atau merusak kantor Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.
Peristiwa 27 Juli yang kerap disebut "Sabtu Kelabu" itu merupakan buntut dari pertarungan antara kubu Megawati Soekarnoputri dan kubu Soerjadi di PDI. Sekelompok massa pendukung PDI Soerjadi menyerbu kantor tersebut, yang dikuasai oleh penyokong Megawati. Ke- jadian ini menyulut kerusuhan yang meluas di Jakarta. Sejumlah gedung ter- bakar, lima orang tewas, dan ratusan orang terluka.
Menurut majelis hakim, terdakwa dari kalangan TNI— Budi Purnama dan Suharto— memang berada di tengah ke- jadian saat pengambilalihan kantor PDI. Tapi keduanya hanya menjalankan tugas yang diperintahkan atasan untuk memonitor situasi. Jadi, "Tidak ada unsur kekerasan terhadap barang ataupun fisik yang mereka lakukan terjadi," kata Rukmini. Selain itu, hakim menyatakan tuntutan jaksa kurang didukung dengan keterangan saksi.
Hanya satu terdakwa yang kurang beruntung, yakni Jonathan Marpaung Panahatan, seorang pendukung PDI Soerjadi. Diadili dengan berkas terpisah, ia akhirnya dijatuhi hukuman penjara dua bulan sepuluh hari. Terdakwa dinyatakan terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke dalam kantor PDI yang penuh pendukung Megawati. Dia juga dinilai berbohong. Semula sejumlah orang diajaknya menonton pertunjukan dangdut dan mendengarkan ceramah di Cibubur, Jakarta Timur, tapi kemudian mereka diman- faatkannya untuk mengambil alih kantor PDI. Namun dia dihukum ringan dengan alasan telah menyesali perbuatannya.
Kegembiraan di ruang sidang tersebut tidak bisa dinikmati oleh Jaksa Bastian Hutabarat sebagai penuntut. Sebelumnya, tim kejaksaan menilai semua terdakwa terlibat dalam tindak kekerasan. "Sampai sekarang, saya masih tetap yakin akan hal ini," ujarnya kepada TEMPO. Itu sebabnya ia berencana mengajukan kasasi.
Sejauh ini, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Salman Maryadi, belum mengambil keputusan ihwal pengajuan kasasi. "Kami masih akan mempelajari kembali apa yang membebaskan mereka," katanya. Dia juga mengungkapkan, sebetulnya semua bukti dan saksi yang diajukan penuntut dalam persidangan sudah maksimal.
Bagi kalangan keluarga korban, putusan hakim sungguh menyesakkan dada. Diungkapan oleh Agus Edi Setiawan, koordinator Forum Komunikasi Kerukunan (FKK) 124, sidang tersebut hanya sandiwara. Tidak mungkin ada saksi yang melihat para terdakwa menyerbu kantor PDI karena para terdakwa bukan figur terkenal. Apalagi saat itu aparat ke- polisian dan pasukan Kodam Jaya berbaur dengan massa. "Kalau Pangdam Jaya Sutiyoso, orang hafal wajahnya. Tapi orang kan tidak memperhatikan yang sersan, bintara, seperti terdakwa itu," ujarnya.
Disesalkan juga oleh Agus kenapa justru para penggembira diadili lebih dulu, sementara berkas para pejabat militer yang lebih tinggi tidak segera disorongkan ke meja hijau. Menurut keyakinan banyak orang, peristiwa 27 Juli memang melibatkan banyak petinggi TNI. Pengambilalihan kantor PDI diduga didukung sepenuhnya oleh kalangan militer. Tapi hal ini tidak terbongkar di persidangan. Menurut pengakuan Budi Purnama dan Suharto, keberadaan aparat militer di tempat kejadian hanya untuk memantau keadaan.
Erick S. Paath dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sudah melihat kejanggalan persidangan kasus ini sejak awal. Seharusnya jaksa tidak membiarkan berkas yang diajukannya penuh dengan kelemahan sehingga mudah diobrak-abrik oleh hakim. "Mestinya jaksa bisa memerintah penyidik untuk me-lengkapi berkasnya," ujar Erick.
Yang pasti, putusan bebas terhadap empat terdakwa merupakan pertanda buruk. Petrus Selestinus, yang juga anggota TPDI, memperkirakan tokoh PDI seperti Soerjadi dan Buttu Hutapea serta sejumlah pejabat militer kelak juga akan divonis bebas atau ringan jika diadili. "Bahkan mungkin saja berkas mereka tidak akan pernah sampai ke pengadilan," ujarnya. Dan bagi para korban, peristiwa "Sabtu Kelabu" itu semakin terasa kelabu.
Endri Kurniawati, Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini