Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Film

Sukses Perankan Soeraja dalam "Gadis Kretek", Ario Bayu Ternyata Pernah Jadi Sultan Agung

Dalam Film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta" Ario Bayu menjadi pemeran utama.

27 November 2023 | 16.00 WIB

Dian Sastrowardoyo dan Ario Bayu dalam serial Gadis Kretek. Dok. Netflix
Perbesar
Dian Sastrowardoyo dan Ario Bayu dalam serial Gadis Kretek. Dok. Netflix

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Berhasil memerankan tokoh Soeraja dalam serial "Gadis Kretek," Ario Bayu memukau penonton dengan penampilannya. Dengan kepiawaian aktingnya, Ario Bayu mampu membawa karakter tersebut. Namun perlu diketahui bahwa Ario juga pernah memerankan tokoh Sultan Agung dalam film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta".

Dalam film tersebut, ia dipercaya memerankan tokoh utama. Ia pun mampu menggambarkan perjalanan Sultan Agung dari seorang pemimpin muda yang tidak berpengalaman menjadi sosok yang tangguh dan penuh tekad.

Ario berhasil menangkap esensi perjuangan Sultan Agung dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dalam menyatukan adipati-adipati di tanah Jawa maupun dalam melawan VOC.

Sinopsis Film "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta"

Dilansir dari FestivalFilm.id, "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta" mengangkat kisah penuh tantangan Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang harus menggantikan ayahnya, Panembahan Hanyokrowati dan memimpin Kesultanan Mataram dalam situasi yang sulit.

Setelah kematian ayahnya, Raden Mas Rangsang, yang kemudian diberi gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, harus memimpin Mataram. Tanggung jawabnya tidak hanya terbatas pada penyatuan adipati-adipati di Jawa yang terpecah oleh politik VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, tetapi juga melibatkan pengorbanan cinta sejatinya kepada Lembayung. Sultan Agung harus menikahi perempuan ningrat yang bukan pilihannya.

Kemarahan Sultan Agung mencapai puncaknya ketika VOC tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram, yang memicu Perang Batavia. Sultan Agung memimpin perlawanan hingga meninggalnya JP Coen dan runtuhnya benteng VOC. Di tengah perjuangannya, Sultan Agung juga harus menghadapi berbagai pengkhianatan.

Perlawanan Terhadap VOC

Film ini mencerminkan perjuangan Sultan Agung melawan VOC, khususnya ketika mengetahui bahwa VOC tidak memenuhi perjanjian dagang dengan Mataram. Perang Batavia menjadi tonggak penting, di mana Sultan Agung memimpin Mataram untuk menghadapi kekuatan VOC. Peristiwa ini menjadi momentum penting dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan dan hegemoni asing di tanah Jawa.

Para Pemeran

Selain Ario Bayu sebagai tokoh utama, film ini diperkuat oleh para pemain berbakat yang menghidupkan karakter-karakter sejarah tersebut. Dikutip dari Viu, berikut ini adalah para pemain beserta karakternya.

  • Ario Bayu sebagai Sultan Agung
  • Adinia Wirasti sebagai Lembayung
  • Marthino Lio sebagai Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Muda
  • Putri Marino sebagai Lembayung Muda
  • Anindya Putri sebagai Ratu Batang atau Permaisuri Sultan Agung
  • Christine Hakim sebagai Gusti Ratu Bonawati
  • Meriam Bellina sebagai Gusti Ratu Tulung Ayu
  • Deddy Sutomo sebagai Ki Jejer
  • Lukman Sardi sebagai Tumenggung Notoprojo / paman Sultan Agung
  • Rifanu Wikana sebagai Kelana
  • Asmara Abigail sebagai Roro Untari
  • Rukman Rosadi sebagai Seto
  • Kgph Pa Tedjowulan sebagai Sunan Kalijaga
  • Hans de Kraker sebagai Jan Pieterzoon Coen
  • Herman Bennink sebagai penasihat militer khusus

Profil Sultan Agung

Sultan Agung adalah raja Kesultanan Mataram pada abad ke-17. Ia mencatat namanya sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.

Bernama lengkap Sultan Agung Hanyokrokusumo, pahlawan ini juga dikenal sebagai Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang. Ia merupakan raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada 1613 hingga 1645.

Lahir pada 1593 dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati, Sultan Agung naik tahta pada usia 20 tahun pada tahun 1613. Ia pun dikenal sebagai salah satu raja yang membawa kejayaan Mataram Islam.

Dalam kepemimpinannya, Sultan Agung tidak hanya berfokus pada aspek politik dan militer, tetapi juga memberikan perhatian besar pada sektor ekonomi dan kebudayaan. Salah satu inisiatifnya adalah memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Karawang, Jawa Barat, yang terkenal dengan sawah dan ladang yang luas serta subur.

Selain itu, Sultan Agung melanjutkan upaya pendahulunya dalam membentuk dasar perkembangan Mataram Islam dengan memberikan pendidikan dan pengajaran kepada rakyat, menghormati ulama dengan posisi terhormat dalam Dewan Parampara, serta membentuk Lembaga Mahkamah Agama Islam.

Di samping menjadi pelindung perkembangan seni, Sultan Agung juga aktif dalam menciptakan karya seni seperti Serat Sastra Gendhing. Menurut artikel dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), keadaan sastra pada masa itu mengalami kemajuan signifikan ketika Sultan Agung menerapkan penggunaan tingkatan bahasa di wilayah luar Yogyakarta hingga Jawa Timur.

Struktur pemerintahan kerajaan Mataram Islam mencakup peran ganda sebagai penguasa dan kepala agama, menegaskan perannya dalam memajukan aspek keagamaan dan sosial di kerajaan tersebut.

Perjuangan Melawan VOC

Sultan Agung menjadi tokoh yang berperan besar dalam perlawanan terhadap Vereenigde Ooos Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Belanda pada 1628 dan 1629 di Batavia. Motivasi perlawanan ini muncul karena Sultan Agung menyadari ancaman kehadiran VOC terhadap kekuasaan Mataram Islam di Pulau Jawa.

Pada saat itu, menurut Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, kekuasaan Mataram Islam meliputi hampir seluruh Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon. Di sisi lain, VOC telah menguasai beberapa wilayah di Batavia, yang dapat menghambat penyebaran agama Islam.

Meskipun upaya Mataram menyerang VOC pada waktu itu tidak berhasil karena lumbung persediaan makanan pasukan Mataram dibakar oleh tentara VOC.

Wafatnya Sultan Agung

Sultan Agung juga dikenal sebagai pemimpin yang cakap dalam bidang politik, militer, ekonomi, sosial, dan budaya. Ia menciptakan kebijakan agraris yang membuat Mataram menjadi pengekspor beras terbesar.

Sultan Agung meninggal pada 1645 dan membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram. Sebelum wafat, ia menuliskan serat Sastra Gending sebagai panduan hidup trah Mataram. Putranya, Raden Mas Sayidin, menggantikannya sebagai raja Mataram.

Sultan Agung juga berperan penting dalam pengembangan kebudayaan Mataram. Ia menciptakan kebijakan pemakaian bahasa Bagongan di lingkungan keraton untuk menciptakan rasa persatuan. Sultan Agung juga mencoba menggabungkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dengan Hindu dan Islam. Keberhasilannya dalam memajukan agama dan kebudayaan Islam membuatnya memperoleh gelar Susuhunan (Sunan).

Pilihan Editor: Sultan Agung Diusulkan jadi Nama Bandara New Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus