Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Surealisme permukaan

Karya dan gaya dali banyak berpengaruh pada karya-karya surealisme di Indonesia. tapi surealisme pada mereka lebih merupakan jargon, yaitu baju atau permukaannya saja, sepanjang teknisnya mendukung.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN kara Salvador Dali pada Desember 1983 pernah dipamerkan di Oet'S Gallery Blok M, Jakarta. Ada 25 karya litografinya yang dikumpulkan oleh Gumilang, pemilik galeri itu, dari pelbagai galeri di Eropa. Yang ditampilkan waktu itu memang bukan karya-karya puncak dari Dali, tapi ada The Great Masturbator, yang aslinya bertarikh 1929, hasil ketika Dali makin menegaskan dirinya dalam gerakan surealisme. Pada 1929 itu, para pelukis surealis -- seperti Miro, Masson, Magritte. Tanguy dan Dali mencapai puncak heroisme mereka. Makin memantapkan diri sebagai sebuah gerakan yang berbeda dengan Dada, gerakan kesenian (seni rupa, sastra, dan teater) di tahun-tahun suram Perang Dunia I yang sengaja merontokkan rasionalisme abad ke-19. Dalam semangat, Dada relatif ada samanya dengan Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia yang menolak segala isme itu. Sedangkan manifesto surealisme sendiri pertama tampil pada 1974. Dan pada 1929, ketika gerakan ini mengalami perubahan arah, Dali seperti mengambil kendali yang dimulai dengan manifesto oleh Andre Breton pada edisi terakhir berkala La Revolution Surrealiste, Desember tahun itu. Otomatisme (kebebasan gerak dari pertimbangan) dan penggalian mimpi, dalam manifesto Breton, ditekankan lagi dengan dasar eksperimental ilmiah. Tujuannya, agar manusia "terbebaskan". Dengan latar belakang keyakinannya akan kekuatan realitas alam bawah sadar, dan hasil penggaliannya terhadap teori Sigmund Freud tentang erotisme bawah sadar. Dali berhasil memberi warna baru surealisme. Dan pada 1930-an, karya-karya mereka menggoyang seni rupa dunia. Karya dan gaya Dali pulalah -- bukan March Chagall umpamanya -- yang paling banyak berpengaruh pada karya-karya surealisme di Indonesia. Ini tampak misalnya pada Iwan Sagita yang belum lama ini pameran di Duta Fine Art, Jakarta. Bahkan pada pelukis batik sebangsa Tulus Warsito, dulu, jauh sebelum ia bereksperimen dalam batik plastik. Lalu sebagian pada Suatmadji, lulusan STSRI "Asri" (kini bagian dari Institut Seni Indonesia atau ISI) yang kini mengajar di UNS. Tapi pada mereka -- atau beberapa pada yang lain -- surealisme lebih merupakan jargon. Baju atau permukaannya saja bolehlah -- sepanjang teknisnya memang mendukung.M.C.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum