Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dali tiga kali mati

Almarhum salvador dali, seorang pelukis surealisme yang meriah dengan mempublikasikan dirinya. ia adalah seorang yang paranoid kritis yang "anti seni". kritikus menyebut dali menempuh kehidupan politik baru.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMATIAN memang selalu tampil dengan cara konvensional. Juga buat Salvador Dali. Semasa hidupnya ia serjng bertingkah polah di luar aturan-aturan umum, dengan segala ekstravagansa seorang yang flamboyan. Ia meninggal Senin pekan lalu akibat penyakit jantung dan peradangan paru-paru, dalam usia 84 tahun. Jenazah Dali dimakamkan setelah melalui upacara sebagaimana lazimnya seorang penganut Katolik Roma. Rabu pekan lalu itu, upacara itu diselenggarakan di Gereja San Pere, tempat dahulu Salvador Dali dibaptis. "Sekarang engkau mendapatkan keindahan yang otentik, Engkau boleh menikmati selamanya," kata Pendeta Narcis Costabella. Sebelum itu, jasad Dali perlu balutan balsam supaya bisa dilihat publik. Setelah upacara, jasadnya digotong ke ruang bawah tanah yang terletak di bawah kubah baja dan kaca gaya Barok buatan abad ke-20, di tengah bangunan museum yang menyimpan karya-karyanya. Kumisnya yang melintang tampak mencuat ke arah langit. Mayat yang tersimpan dimarmer putih itu berada di kaki lukisan besar bergambar punggung Gala, mendiang istrinya, yang telanjang. Tapi ia sudah berpesan untuk tidak dibuatkan nisan. Tempat ini -- yang menjadi markas besar Dali-Gala Foundation -- jaraknya sekitar 300 meter dari rumah sakit tempat ia dirawat. Bagi warga Spanyol, Dali memang istimewa. Di antara sejumlah perjalanannya ke Paris dan New York sebagai seniman kondang, ia masih menancapkan hari-harinya yang lebih lama di kediamannya di Port Lligat dan Pubol, dekat Figueras yang mengantuk, tapi menerima limpahan cahaya dari Mediterania. Museum seni rupa Dali di kota kecil di Spanyol itu mendapat kunjungan terbanyak setelah Pardo, di Madrid. Tahun lalu, misalnya, lebih dari 400 ribu pengunjung yang datang ke sana. Raja Juan Carlos termasuk yang paling awal mengirim telegram dukacita ke Figueras, kota tempat asal Dali itu. Tulis Juan Carlos dalam telegramnya, "Karyanya yang tak bisa ditiru akan selalu menjadi rujukan khas dalam sejarah seni lukis." Pada 1982 Raja menganugerahkan Marquis, gelar kebangsawanan bagi Dali atas jasanya yang istimewa kepada kebudayaan Spanyol. Berikutnya, 1983, Raja Juan Carlos membuka pameran restropektif Dali. Dan, sebagai imbalannya, Dali akan mewariskan seluruh karyanya kepada negaranya. Salvador Dali mengaku seorang monarkis. Tapi menariknya, ketika upacara pemakaman jasadnya Pemerintah Spanyol menugasi Menteri Kebudayaan Jorge Semprun untuk hadir. Padahal, Semprun adalah pemimpin partai komunis dalam pengasingan di masa sesudah Perang Saudara 1936-1939. Saat itu Dali justru mudik dan ia dituduh mendukung diktator Francisco Franco. Pada dasarnya, Dali memang sudah milik dunia. Kematiannya itu menjadi perhatian pelbagai kolektor, pengurus balai lelang, para seniman, dan kritikus dari banyak negei. Pada upacara pemakaman tersebut, sebagian di antara mereka, misalnya dari Akademi Seni Rupa Prancis. "Dali seorang surealis. Ia meninggal tiga kali, bukan sekali," demikian kata Udo Pueschel. Pemilik sebuah galeri ini seorang penggemar Dali -- yang rela menyuruki perjalanan malam dari tempat tinggalnya di Munich menuju Figueras. Konon, ada yang menyebutkan bahwa Dali sudah meninggal sejak 1982, yakni sepeninggal Gala. Istrinya yang kelahiran Rusia itu adalah sumber ilhamnya. Dali praktis sudah tak berdaya, sakit-sakitan, lebih sering mengurung diri. Sejak itu pula ia praktis berhenti melukis. Dali mengatakan bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi tanpa Gala. Pada 1984 pernah terjadi kebakaran karena korsluiting listrik yang hampir menghanguskan dipan tempat ia sedang tidur. Perawatan di rumah sakit karena luka bakar di tuhuhnya hampir sia-sia, lantaran lelaki tua ini merajuk. Ia tak mau makan dan ingin mati saja. Ada pengamat yang mengatakan, Dali sebenarnya sudah tak banyak perannya lagi seusai masa jaya urealisme yang menggucangkan dunia seni rupa 1930-an. Dia selesai sampai di situ saja. "Ia memang sangat penting sebagai tokoh surealis pada 1930-an. Tapi setelah itu tak ada lagi gebrakan artistiknya yang menonjol," kata Hilton Kramer, seorang kritikus di New York. Dalam pada itu, John Colding, seorang pemegang otoritas dalam soal surealis di Inggris, menyebutkan, "Taktik-taktik kejutan dari Dali makin bisa ditebak. Ia mengomersialkan citra dirinya. Dan, laku. Dia menjadi kenes." Dengan mempublikasikan dirinya, Dali sering sengaja menjungkirbalikkan kebiasaan umum. Suatu hari di pertengahan 1970-an ia mengajak seorang wartawan yang mewawancarainya ke sebuah pantai yang padat pengunjung. Di antara hiruk-pikuk manusia dan deru mobil di jalan itu, Dali menyilakan si wartawan bertanya apa saja. Jauh sebelumnya, pada 1950-an, dalam sebuah restoran ia justru memilih sebuah kursi yang pernya patah. Kepada teman-temannya yang ikut makan, Dali bilang, "Dengan per yang patah mengancam di punggungku, aku akan selalu menyadari kenyataan luar biasa dari peristiwa dudukku ini." Segala peristiwa yang menyangkut Dali akhirnya menjadi suatu hal yang tidak harus dlpercaya sepenuhnya sebagai peristiwa wajar. Bahkan ketika terjadi pemogokan karyawan Pompidou Center, persis saat pembukaan pameran retrospektif Dali terbesar pertama di Paris, Januari 1980, di gedung itu, banyak yang menyebutkan semua itu tak lebih dari ulah Dali belaka. Ketika pameran dibuka dua hari kemudian, pengunjung memang melimpah. Sampai saat penutupan, 14 April tahun itu, jumlah pengunjung diperkirakan 800.000 orang. Yang mencibir segala polah eksentrik Dali untuk keperluan publisitas belaka, agaknya, mereka lupa pada akar kreativitas pelukis yang juga membuat seting panggung, menulis fiksi, dan film ini (untuk ketiga yang disebut terakhir ini ia memang tak menonjol). Sudah sejak awalnya karya Dali adalah manifestasi -- seperti katanya sendiri -- "kesadaran plastis" yang dianggapnya sebagai "anti-seni". Dali melukis dengan "metode seorang paranoid kritis". Dan itu ia terjemahkan sebagai asimilasi spontan dari pengetahuan irasional yang berdasar pada obyektivikasi kritis dan sistematis atas fenomena lupa diri. "Saya percaya, prosedur pemikiran paranoid aktif akan mungkin melahirkan kebingungan sistematis dan menjungkirbalikkan dunia realitas," kata Dali. Segala polahnya, kemudian, memang seperti sengaja melecehkan hal yang baku dan konvensional. Ia, tanpa rasa sesal kemudian menikmati kehidupan tenang sebagai pemeluk Katolik, di bawah kediktatoran Franco, di Spanyol. Lantas kritikus menyebut Dali meninggalkan surealisme, lalu menempuh kehidupan politik baru. Padahal, ketika bersekolah di Madrid, ia terhambat setahun karena masuk penjara. Ia dituduh subversi, setelah menggerakkan sebuah kegiatan bawah tanah. Dali tak mau menggubris segala anggapan tentang dirinya. Pada hari-hari terakhir hayatnya, ia menikmati kesendirian bersama penyakitnya termasuk parkinson yang membuat lengannya tak lagi mampu mengangkat kuas -- sambil mengenang Gala. Dalam wawancara terakhir, Dali mengatakan, "Hadiah terbaik buatku adalah biarkan diriku sendiri." Kini ia memang sendiri, di ruang bawah tanah museumnya.Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum