Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah sesepuh pelaku seni tari mendapat penghargaan dalam pagelaran Panggung Maestro di Museum Nasional.
Guru besar tari ISI Yogyakarta Sumandiyo Hadi tampil istimewa dalam pergelaran itu.
Sumandiyo tetap mengajar tari dan menulis buku di usia 75 meski lututnya tak lagi sekuat dulu.
DENTINGAN suara saron, demung, bonang, dan gong menggema dengan serasi di pelataran arca Museum Nasional Indonesia, Rabu, 11 Desember 2024. Area pelataran beratap bolong yang dikelilingi tembok tinggi membuat orkestrasi alat musik gamelan malam itu sampai di telinga dengan keras namun pas. Seperti sedang menonton pertunjukan musik di sebuah ruangan auditorium yang mengepung suara dengan sempurna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musik gamelan itu terdengar seperti gending kebo giro yang lazim diperdengarkan dalam upacara pernikahan adat Jawa. Bedanya, orkestrasi gamelan malam itu dimainkan dengan tempo yang lebih cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musik gamelan itu menjadi pengiring masuknya lima penari pria ke tengah pelataran yang sudah dihias karpet hitam. Mereka berjalan perlahan, selangkah demi selangkah dengan gagah.
Kelima penari itu memakai pakaian unik. Mereka hanya mengenakan celana pendek selutut berkelir ungu menyala. Selembar kain selendang panjang yang juga berwarna ungu melilit di leher, menutupi sebagian dada, dan terikat di pinggang mereka. Tak lupa, kain sampur batik berwarna merah juga melingkar di pinggang.
Adapun pada bagian kepala, kelima laki-laki itu memakai topi unik yang bentuknya mirip donat: bulat dan melingkar. Uniknya, empat penari memakai topi bulat berkelir hitam. Satu lagi penari memakai topi berwarna merah menyala.
Perbedaan warna menjadi penanda. Semacam pangkat di dunia militer antara komandan dan prajurit. Wajar ada unsur kemiliteran dalam gerak tari berjudul Beksan Bugis itu. Berdasarkan riwayat dan cerita tari di Yogyakarta, Beksan Bugis menggambarkan kehidupan prajurit perang dari Bugis yang menjadi serdadu Keraton Yogyakarta pada abad ke-17.
Tokoh tari asal Yogyakarta, Yohanes Sumandiyo Hadi, menjadi komandan kelompok prajurit Keraton Yogyakarta itu. Sumandiyo tampil maksimal malam itu. Bayangkan, pria yang kini berusia 75 tahun tersebut masih bisa mementaskan tari yang punya titik berat gerakan pada kaki itu.
Tak cuma bergerak, Sumandiyo juga masih lihai memainkan ekspresi wajah saat menari. Mimik bengis khas tentara serta tawa keras ia luapkan dengan sempurna.
Penari Sumandiyo Hadi (tengah) menampilkan Tari Beksan Bugis dalam Panggung Maestro 2024 di Pelataran Arca Museum Nasional, Jakarta, 11 Desember 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Namun usia tak bisa bohong. Ada beberapa gerakan tangan dan kaki Sumandiyo yang kalah cepat oleh empat penari lain yang berusia 30-an tahun.
Paling kentara saat gerakan mengangkat lutut ke arah samping hingga melebihi pinggang. Sumandiyo hanya bisa mengangkat lututnya setinggi pinggang. Meski begitu, ia bisa menuntaskan tarian itu hingga kelar selama hampir 10 menit.
Pensiunan guru besar Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengakui gerakannya tak selincah penari pengiring yang lebih muda. Wajar ia sempat khawatir salah bergerak atau kurang cepat mengimbangi tempo tarian. "Mereka ini anak-anak mahasiswa saya dulu. Saya seperti menari dengan cucu-cucu saya," katanya kepada Tempo sambil tertawa.
Seusai tampil, Sumandiyo sempat mengangkat sedikit celana pendek yang ia pakai. Rupanya terdapat deker atau pelindung lutut yang tersemat di kaki kanannya. "Tadi saat menari enggak terasa (sakitnya). Setelah selesai, baru terasa," ujarnya terkekeh.
Tak butuh banyak waktu baginya menyiapkan pertunjukan Beksan Bugis. Sumandiyo mengatakan hanya tiga kali berlatih dengan keempat penari di Yogyakarta sebelum terbang ke Jakarta.
Ibarat mesin tua, Sumandiyo mengaku lutut kaki kanannya seperti kehilangan pelumas. Dokter pribadinya pernah menawarkan prosedur suntik lutut untuk mengurangi rasa sakit dan memperlancar pergerakan lutut. Namun Sumandiyo menolak. Tim dokter yang mengawal jalannya pentas malam itu juga pernah menyarankan pemberian obat pereda nyeri. Lagi-lagi dia menolak.
Sumandiyo memilih memakai krim penghangat otot serta membebat lututnya dengan deker alias knee support. Beruntung, cara ini ampuh membantunya tampil ciamik malam itu dan malam sebelumnya.
Sumandiyo dan empat penari Beksan Bugis tampil dalam acara "Panggung Maestro" yang digelar Kementerian Kebudayaan, bekerja sama dengan Yayasan Bali Purnati serta didukung Yayasan Taut Seni dan Bumi Purnati Indonesia, pada Selasa-Rabu, 10-11 Desember 2024.
Panggung Maestro bukan sekadar pertunjukan. Acara ini juga semacam apresiasi pemerintah dan kelompok pegiat seni kepada para tokoh senior yang telah mendedikasikan hidupnya untuk seni tradisi Indonesia. Panggung Maestro ini merupakan pergelaran yang ketujuh kalinya sejak 2023.
Sumandiyo mengatakan bangga mendapat penghargaan sebagai maestro tari tradisi Indonesia. Bagi dia, tari adalah bagian hidup. Karena itu ia tetap ngeyel terus menari di usianya saat ini. Padahal sejumlah dokter sudah menyarankannya untuk tak menari lagi sejak usia 60-an tahun. Alasannya, kembali lagi pada kondisi lututnya.
Kini Sumandiyo juga masih aktif mengajar tari. Sejak pensiun dari ISI Yogyakarta pada 2019, ia dipercaya mengelola Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya atau AKNSB Yogyakarta. Akademi ini dibentuk atas prakarsa Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 2013 untuk meningkatkan kompetensi seniman di Daerah Istimewa Yogyakarta. Akademi ini memberikan beasiswa penuh bagi mahasiswa dengan program studi diploma 1 atau D-1.
Di AKNSB Yogyakarta, Sumandiyo masih rutin mengajar dua kali sepekan. Ia membuka kelas yang ia beri nama Koreografi Kerakyatan. Kelas tersebut ia kembangkan sendiri dengan dasar tari tradisi kerakyatan.
Sumandiyo merasa beruntung anak muda Yogyakarta masih sangat antusias belajar dan melestarikan budaya tari lokal. Dalam hati, ia optimistis tari tradisi, khususnya Yogyakarta, masih aman untuk beberapa puluh tahun ke depan. "Kuncinya ada pada ketekunan dan semangat generasi muda."
Sumandiyo memulai karier akademiknya sebagai dosen dan pegawai negeri pada 1972 di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) yang kemudian berkembang menjadi Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Kariernya sebagai dosen berpuncak saat dia diangkat sebagai guru besar Seni Tari di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta pada 2002.
Ia juga aktif sebagai pelaku dan pengamat seni pertunjukan di dalam negeri hingga kancah internasional. Sebagai contoh, pada 2010 ia menjadi koreografer sekaligus pengarah artistik dalam pertunjukan tari kerja sama antara ISI Yogyakarta dan Osaka City University di Jepang.
Sumandiyo juga rajin menulis buku. Lebih dari 30 judul buku dan jurnal sudah ia tulis hingga saat ini. Di antaranya buku berjudul Koreografi: Bentuk – Teknik – Isi (2015), Seni Pertunjukan dan Masyarakat Penonton (2016), dan Koreografi Ruang Prosenium (2017). "Buku-buku saya kebanyakan jenis buku ajar karena saya memang pengajar," tuturnya.
Buku berjudul Mengapa Menari menjadi karya tulis terbaru. Dalam buku ini Sumandiyo menuliskan kegelisahannya tentang tari yang dilihat dari sisi estetika dan kualitas sang penari. Menurut dia, ada banyak tujuan menari, dari kesehatan, terapi mental, sampai berdoa.
Penari Sumandiyo Hadi (kiri), Seniman Mak Normah (kedua kiri), Penari Kartini Kisam (ketiga kanan), Seniman Gambang Kromong Fatimah (kedua kanan) bersama sejumlah penari foto bersama seusai tampil dalam Panggung Maestro 2024 di Pelataran Arca Museum Nasional, Jakarta, 11 Desember 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Selain Sumandiyo Hadi, pergelaran Panggung Maestro memberikan apresiasi kepada sejumlah seniman senior lain. Mereka adalah Theresia Suharti (77 tahun, seniman tari golek Lambangsari dari Yogyakarta), Kartini Kisam (63 tahun, seniman tari topeng Betawi), Fatimah (75 tahun, seniman gambang kromong Betawi), serta Normah (68 tahun, seniman tari makyong Riau).
Perwakilan Dewan Artistik Panggung Maestro, Sulistyo Tirtokysumo, mengatakan pentas ini merupakan bentuk apresiasi kepada pelaku seni tradisional Nusantara yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk jenis kesenian yang digeluti. Sulistyo mengatakan ia dan anggota dewan artistik lain tak bisa asal tunjuk dalam memberikan penghargaan Panggung Maestro.
Menurut Sulistyo, komunitas pelaku seni tradisional harus dilibatkan untuk memberikan saran siapa saja seniman senior yang layak diganjar sebagai maestro. "Sebab, maestro itu harus diakui dan diterima masyarakat. Kalau asal tunjuk, pasti nanti banyak masyarakat seni yang menolak," katanya kepada Tempo.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon berharap kehadiran para maestro seni dapat membina anak-anak muda sebagai tongkat estafet kesenian tradisional. Tanpa komitmen dan minat anak muda, kesenian tradisional Nusantara bisa saja musnah tergerus zaman.
Fadli juga menantang anak muda untuk cerdas memanfaatkan teknologi dalam mempromosikan seni tradisional. Menurut dia, pemanfaatan teknologi audio-visual dan narasi edukatif bisa memperluas apreasiasi masyarakat terhadap seni tradisi. "Kreasi, inovasi baru, dan sentuhan teknologi dapat membuat tari-tarian tradisional tetap melihat pakem, tapi juga menyesuaikan perkembangan zaman." ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo