Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FENOMENA pengamen yang melakukan siaran langsung di platform TikTok menjadi isu menarik, terutama dalam kajian musik dan ekonomi digital. Pengamen jalanan, yang dulu bergantung pada interaksi langsung dengan audiens, kini memanfaatkan media sosial untuk menampilkan bakat mereka. TikTok, dengan fitur siaran langsung, memungkinkan pengamen tidak hanya menjangkau publik lebih luas, tapi juga mendapat penghasilan melalui "gift" yang dikirim oleh penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendapatan ini sering kali lebih besar dari hasil mengamen secara langsung. Tapi hal itu tidak datang tanpa tantangan. Platform digital memaksa para pengamen untuk terus berinovasi dan beradaptasi dengan dinamika algoritma yang tidak selalu berpihak. Adanya risiko fluktuasi pendapatan dan perhatian audiens yang mudah beralih menuntut pengamen terus menciptakan konten baru dan menarik agar bisa bertahan di ekosistem virtual yang kompetitif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu Cover
Meng-cover lagu orang lain melalui TikTok memberikan keuntungan strategis bagi musikus pengamen, terutama karena format siaran langsung yang dapat menarik perhatian audiens dengan segera. Dalam konteks ini, pengamen dapat menyajikan interpretasi ala mereka terhadap lagu-lagu yang sudah populer, menciptakan ruang partisipatif, dan melibatkan audiens secara real-time. Interaksi ini memungkinkan pengamen berkomunikasi dengan penonton, menerima feedback langsung, dan membangun ikatan emosional, yang pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah "gift" yang diterima.
Berbeda dengan TikTok, platform seperti YouTube, misalnya, menuntut pengguna mematuhi kebijakan lebih ketat soal hak cipta. Banyak musikus yang mencoba mengunggah video cover lagu di YouTube menghadapi risiko banned atau pemblokiran dan penghapusan video oleh pemilik lagu asli. Proses ini tidak hanya merugikan musikus dari segi visibilitas karya, tapi juga menghambat potensi pendapatan yang dapat diperoleh dari iklan dan sponsorship.
TikTok, dengan pendekatan lebih fleksibel terhadap hak cipta, memberikan ruang lebih bebas bagi musikus jalanan untuk berekspresi dan mengeksplorasi kreativitas mereka tanpa perlu khawatir terkena sanksi. Dalam konteks ini, platform TikTok menawarkan peluang lebih besar bagi musikus untuk tampil secara spontan dan berinteraksi langsung dengan audiens global, membentuk pengalaman yang jauh lebih personal.
Namun penting bagi musikus untuk tidak hanya bergantung sepenuhnya pada cover lagu, tapi juga berfokus pada penciptaan karya orisinal. Dengan menciptakan lagu-lagu sendiri, musikus tidak hanya menghindari risiko hukum soal hak cipta, tapi juga membangun identitas dan merek pribadi. Karya asli memungkinkan mereka memiliki kontrol penuh atas distribusi serta memperoleh manfaat ekonomi melalui monetisasi yang lebih terjamin.
Lebih jauh lagi, karya-karya ini menjadi bagian dari portofolio kreatif yang dapat menarik perhatian produser, label rekaman, serta pihak-pihak lain yang tertarik dengan talenta baru. Karya orisinal menjadi alat penting untuk membangun reputasi dalam industri musik dan membuka peluang kolaborasi serta pengembangan karier jangka panjang.
Proses penciptaan karya sendiri juga memberikan kesempatan kepada musikus untuk mengeksplorasi tema dan genre yang selaras dengan pengalaman pribadi mereka. Dalam hal ini, musikus jalanan dapat membedakan diri dari rekan-rekan mereka yang hanya berfokus pada cover lagu. Penciptaan karya orisinal memungkinkan musikus menyuarakan ide-ide mereka sendiri, mengekspresikan visi artistik personal, dan memberikan kontribusi lebih substansial terhadap ekosistem musik secara keseluruhan.
Selain itu, proses kreatif dalam menulis dan menciptakan lagu sendiri dapat menjadi arena inovasi. Dalam ekosistem musik yang didominasi oleh tren sementara, musikus yang mampu memperkenalkan elemen-elemen segar dan inovatif dalam karya mereka memiliki peluang besar untuk menjadi viral.
TikTok, dengan algoritmanya yang cenderung mempromosikan konten baru dan orisinal, menyediakan platform ideal bagi karya-karya ini untuk mencapai pendengar yang lebih banyak. Hal ini menegaskan bahwa, meskipun meng-cover lagu di TikTok memiliki manfaat dalam hal visibilitas dan interaksi langsung, nilai penting dari penciptaan karya orisinal tidak dapat diabaikan.
Dengan menghindari konflik hak cipta, musikus dapat membangun karier yang lebih berkelanjutan. Karya orisinal tidak hanya menjadi jembatan menuju peluang lebih besar di dunia musik, tapi juga mencerminkan kemampuan dan kreativitas setiap individu, yang pada akhirnya dapat diapresiasi secara terbuka. Penciptaan karya asli adalah langkah strategis yang tidak hanya memperkaya identitas artistik, tapi juga memberikan fondasi kokoh bagi kesuksesan jangka panjang di industri musik.
Pesinden
Fenomena serupa terlihat dalam ranah musik karawitan, khususnya di kalangan pesinden—vokalis perempuan Jawa yang membawakan lagu-lagu dalam format gamelan. Dalam konteks ini, pesinden tidak hanya berperan sebagai penyanyi, tapi juga bagian integral dari pertunjukan lebih besar, seperti pertunjukan wayang kulit. Saat mereka menyanyi—dikenal dengan istilah nyindheni—banyak pesinden memilih melakukan siaran langsung di TikTok. Pendapatan yang mereka peroleh dari platform ini sering kali lebih besar dibanding pendapatan dari pertunjukan langsung, terutama karena mereka biasanya sudah memiliki basis penggemar digital serta didukung oleh penggemar dari dalang yang diikutinya.
Pesinden Sruti Respati berkolaborasi dengan Sujiwo Tejo pada konser wayang musikal Maha Cinta Rahwana di TIM, Jakarta (30/8/2013). TEMPO/Nurdiansah
TikTok memungkinkan pesinden menjangkau penonton seluas mungkin, tidak terbatas pada lokasi geografis tertentu atau tempat pertunjukan wayang itu digelar. Dengan memanfaatkan fitur interaktif di TikTok, pesinden membangun hubungan lebih dekat dengan penggemar mereka demi meningkatkan potensi pendapatan melalui "gift" dan donasi langsung dari penonton.
Namun, menarik dicatat, pesinden sering kali lebih berfokus pada penampilan digital mereka dibanding konteks sosial dari pertunjukan gamelan yang mereka ikuti. Dalam upaya menarik perhatian audiens secara online, mereka lebih memprioritaskan estetika visual dari presentasi layar, yang berpotensi mengalihkan perhatian dari esensi pertunjukan tradisi itu sendiri. Banyak pesinden terlihat lebih asyik dengan telepon seluler mereka, memeriksa komentar atau berinteraksi dengan penggemar, alih-alih sepenuhnya terlibat dalam konteks sosial dari pertunjukan yang sedang berlangsung.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampak digitalisasi. Di satu sisi, penggunaan media sosial memungkinkan pesinden mendemonstrasikan bakat mereka dan memperkenalkan gamelan kepada penonton, terutama anak-anak muda. Di sisi lain, ada risiko bahwa fokus lebih besar pada penampilan digital dapat mengurangi nilai estetika dan makna musik yang mereka bawakan.
Berkaitan dengan hal ini, banyak pesinden terjebak dalam siklus untuk terus beradaptasi dengan tuntutan audiens digital. Mereka merasa perlu untuk selalu menghadirkan konten menarik, yang berpusat pada menornya riasan wajah dan kecentilan dalam bersuara. Hal ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap aspek-aspek penting dari pertunjukan gamelan yang seharusnya kontemplatif.
Selain itu, fenomena ini mengarah pada pergeseran dalam cara pesinden berinteraksi dengan komunitas mereka. Dengan mengedepankan kehadiran digital, mereka kehilangan momen untuk berinteraksi secara langsung dengan penonton yang hadir dalam pertunjukan. Keterhubungan yang terjadi di dunia maya tidak selalu dapat menggantikan pengalaman sosial yang terjadi dalam pertunjukan nyata, yang di dalamnya apresiasi terhadap seni dapat terjadi secara lebih tuntas. Artinya, meski TikTok memberikan peluang baru bagi pesinden untuk menghasilkan pendapatan dan menjangkau penonton lintas batas, tantangan yang muncul dari pergeseran yang hanya berfokus ke dunia digital harus dihadapi dengan bijaksana.
Muncul pertanyaan menarik, apakah kehadiran platform digital benar-benar memberdayakan mereka atau justru memaksa mereka masuk ke lingkaran tren, dengan konten "instan" lebih dihargai daripada kedalaman karya? Dalam mengejar popularitas, pengamen dan pesinden tergoda untuk lebih berfokus pada elemen visual atau viralitas ketimbang nilai karya yang mereka bawa. Hal ini berpotensi merusak keseimbangan antara kualitas artistik dan tuntutan kapitalisasi konten.
Selain itu, sejauh mana peran platform seperti TikTok dalam membentuk ulang cara kita memandang musik? Meski memberikan akses luas dan memungkinkan interaksi langsung, ada risiko bahwa algoritma dan metrik platform lebih berkuasa daripada bakat atau kreativitas itu sendiri. Akankah kita menyaksikan era ketika karya seni yang dikurasi oleh kecerdasan buatan lebih dihargai daripada karya yang dikurasi oleh pengalaman manusia?
Di tengah euforia monetisasi digital, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan merenung, apakah pengamen dan pesinden telah menemukan kebebasan baru atau malah terperangkap dalam jeratan digital yang mengaburkan batas antara karya seni dan hiburan sesaat?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo