DI Balai Sidang, Jakarta, 5 September lalu, Zubin Mehta tampil di pentas disambut hangat oleh tepuk tangan penonton. Waktu menunjukkan 20.20 terlambat 20 menit dari saat yang sudah dijadwalkan. Dirigen Orkes Filharmoni New York ini lalu mengajak hadirin berdiri, mengheningkan cipta buat H. Adam Malik, bekas wakil presiden RI, yang wafat di pagi hari itu. Suasana hening yang cukup lama terasa seolah menjadi bagian dari awal konsernya: konser untuk dua biola dalam D minor, ciptaan Johann Sebastian Bach. Komposisi terdiri dari tiga baian itu Vivace, Largo Ma Non Troppo, dan Allegro - memang bersuasana suram. Dua biola yang dimainkan sangat kompak oleh Kenneth Gordon dan Charles Rex, memegang peranan vital dalam keseluruhan suguhan, sebagaimana karya ini diciptakan. Untuk menginterpretasikan karya yang terkenal dari Zaman Barok ini dibutuhkan suatu penguasaan teknik biola yang sangat tinggi. Dan tampaknya kedua penggesek biola memiliki keterampilan seimbang - hanya terdengar sedikit perbedaan timbre. Sungguh interpretasi terhadap karya ini, secara teknis, terdengar sempurna. Memang, ada sedikit kecenderungan pada Zubin Mehta untuk membawakan karya Bach yang syahdu ini dengan sedikit romantis. Tapi secara keseluruhan karya Bach tetap terdengar indah dan melankolis selama sekitar 20 menit. Mehta, dengan aba-abanya yang sederhana tapi tepat, membawa musik )erbicara tentang esedihan. Sebuah nomor yang sungguh tak mudah dilupakan. Sayang, akustik Balai Sidang, meski sudah diusahakan diubah, tetap kurang menguntungkan bagi penonton yang duduk di bagian samping pentas. Seusai istirahat, Mehta memimpin Simfoni ke-5, C-sharp minor karya Gustav Mahler komponis yang pernah jadi dirigen Filharmoni New York, 1909 - 1911. Ini sebuah karya besar dalam lima bagian: Trauermarch, Sturmisch Bewegt, Scherzo, Adagietto, dan Rondo Fimale. Dan kemampuan serta keterampilan Mehta memimpin orkes terbukti secara utuh dari pembukaan hingga penutup simfoni ini. Denan gayanya yang khas, Mehta seolah menjema jadi musik itu sendiri. Ia menyuguhkan segala nuansa: dari yang paling lembut sampai yang paling keras. Tak diragukan lagi, inilah seorang dirigen yang sangat berwibawa dan memesonakan, menunjukkan kebolehannya selama sekitar satu seperempat jam membawakan Mahler yang berat. Kekuatan dan keindahan muncul bukan dari gerak fisik Mehta, melainkan dari "tenaga dalam"-nya. Ini merupakan kelebihan Mehta. Kunjungan Filharmoni New York merupakan peristiwa penting, yang masih langka dalam dunia musik di Indonesia. Kedatangan orkes ini dengan biaya mahal diharapkan menjadi inspirasi bagi kita semua. Kita, yang belum memiliki sebuah orkes simfoni yang bisa jadi kebanggaan, yang belum memlllki sebuah gedung onser yang memenuhi syarat. Trisutji Kamal *)Ketua Ikatan Komponis Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini