SEMBILAN puluh satu tahun setelah Anton Seidl memimpin Orkes Filharmoni New York pada pergelaran perdana Simfoni No. 9 karya Antonin Dvorak, Dan Dunia Baru, barulah karya itu bisa dinikmati publik Jakarta, oleh orkes yang sama. Tepuk riuh penonton di Balai Sidang, 6 September lalu, malam kedua suguhan Orkes besar itu, memaksa sang dirigen, Zubin Mehta, kembali ke panggung membalas sambutan. Zubin Mehta memang pantas mendapatkan keplokan itu. Percakapan antara instrumen tiup yang membentuk tema dan instrumen gesek yang melatarbelakangi dinialinnya denan rapi. Atau, suatu ketlka Zubin membiarkan klarinet mendendangkan ratapan kerinduan Dvorak terhadap tanah kelahirannya. Begitu halus, sementara biola dan cello terdengar lamat bagai desah pohon-pohon cemara. Zubin tidak cuma pandai mengendalikan emosi para anggota orkes. Dengan gerakan sederhana, ia menyuruh para pemain bersahut-sahutan lincah. Seluruh armada perkusi dikerahkannya ketika membawakan ciptaan Leonard Bernstein, Overture to "Candide". Begitu pula ketika membawakan karya tentang seorang musafir Amerika dl tengah riuhnya Kota Paris - lengkap dengan lengkingan tuter taksi melalui terompet. Atau sebuah percakapan memilukan antara terompet dan english horn di Kota yang Sepi, karya Copland. Haruslah diakui, orkes ini memang terasa pas mendendangkan karya bangsanya sendiri - karya yang biasanya terasa ringan dibawakan oleh orkes lain. Suguhan Filharmoni New York pada malam kedua mungkin memang cocok buat penonton: karya yang riang, lincah - tak terlalu berat sebagaimana karya Mahler di malam pertama. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini