Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMI sehelai kain batik, aktris Ayu Dyah Pasha rela menunggu lima tahun. Ada tiga alasan mengapa ia rela menunggu selama itu. Pertama, batik yang dipesannya buatan generasi ketiga Oey Soe Tjoen di Pekalongan, yang terkenal dengan motif Cina Peranakan. "Untuk sesuatu yang bagus, saya rela menunggu," kata Ayu, 52 tahun, yang ditemui Tempo di Pacific Place, Jakarta, Senin dua pekan lalu.
Menurut Ayu, karena banyak pemesan sedangkan karyawan pembuat batik itu sedikit, pesanan dia baru dikerjakan pada 2018 dan selesai pada 2021. Ia sudah lama ingin memesan, tapi baru sempat menitipkannya lewat Putra Putri Batik 2016, yang mengunjungi rumah Widi—generasi ketiga Oey Soe Tjoen—beberapa waktu lalu. "Kepinginnya motif burung phoenix, karena cantik dan unik. Mudah-mudahan bisa karena motif naga dan burung garuda sudah pernah ada yang pesan," tutur Ayu, yang juga Ketua Ikatan Pencinta Batik Nusantara 2013-2016, lembaga yang menggelar Putra Putri Batik, bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif.
Alasan kedua, kata dia, motif dan pewarnaan batik Oey Soe Tjoen sangat detail karena menggunakan canting titik nol. Pembuatan batik dikerjakan beberapa orang secara berbeda, mengerjakan motif dan pewarnaan selama satu-tiga tahun. "Susah juga nyontek-nya," ucap Ayu, yang akan membayar Rp 25 juta untuk sehelai kain batik ukuran 250 x 115 sentimeter itu. Nantinya batik tersebut akan dipajang di rumahnya, bukan untuk dipakai.
Alasan terakhir, ia khawatir batik Oey Soe Tjoen punah. Sebab, setahu dia, Widi tak memiliki penerus untuk melanjutkan industri batiknya. Widi juga hanya memiliki 15 pekerja, yang usianya sudah menua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo