Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kamar pribadinya di Palacio de la Revolución—sebuah ruang besar yang tak berhias—Fidel Castro bekerja di antara puluhan buku yang tersusun di lemari dan beberapa raut patung.
Tampak wajah mendiang José Marti, tentu. Penyair, esais, dan aktivis penggerak revolusi kemerdekaan Kuba di akhir abad ke-19 ini sering disejajarkan dengan dirinya, tokoh revolusi abad ke-20. Kini mausoleumnya di Santiago de Cuba akan didampingi makam Castro. Marti tewas 18 Mei 1895, dalam pertempuran melawan tentara Spanyol. Tapi bersama sajak yang kemudian jadi lagu nasional yang termasyhur, Guantanamera, ia menanamkan dendam pembebasan seperti api dalam sekam.
Sajakku adalah kijang luka
yang mencari tempat berlindung di tinggi gunung
Mi verso es un ciervo herido,
que busca en el monte amparo
Ada sikap gagah dalam perumpamaan yang puitis itu—sebuah tekad justru ketika harapan nyaris mustahil; Marti gugur hanya sebulan setelah pertempuran dimulai. Tapi ia bukan lambang kekalahan. Pada 1953, ketika Castro gagal dalam pemberontakan pertama menentang rezim Batista, dan ia dihadapkan ke depan mahkamah yang akan menghukumnya, kata-kata Marti tercantum dalam pleidoinya yang lantang: "Bahkan dari dalam gua, kehendak keadilan lebih kuat ketimbang tentara."
Tapi meja Castro tak hanya dihiasi patung penyair dan pejuang kemerdekaan yang legendaris itu. Ada sebuah karya seni rupa yang lain: rautan kawat yang menggambarkan Don Quixote dengan kudanya yang kerempeng, Rocinante. Tokoh fiktif karya Cervantes ini sosok yang sering diolok-olok—pengelamun tua yang ingin menegakkan nilai-nilai kesatria yang kuno di zaman yang serba praktis.
Tapi Don Quixote de La Mancha memikat imajinasi banyak orang justru karena ia menggapai yang tak mungkin. Kemajenunannya, atau tekadnya, seakan-akan yang menggerakkan perubahan sejarah. Menjelang pergi meninggalkan orang tuanya di Argentina, Che Guevara menulis kata-kata pamitan yang kocak, sadar akan tekad dan impiannya yang mungkin konyol seperti lamunan laki-laki aneh dari La Mancha. "...Aku rasakan tulang rusuk Rocinante di bawah tungkai kakiku"—dan ia pun berangkat untuk memerdekakan rakyat di mana-mana.
Seorang revolusioner yang baik perlu punya kemampuan melihat diri sendiri di atas seekor kuda kurus. Revolusi adalah transformasi besar-besaran, dengan harapan yang gigantis, dan sebab itu kaum revolusioner mudah terjebak dalam waham tentang kekuatan dan kekuasaan yang nyaris tanpa batas. Marx mengingatkan salahnya waham itu: "Manusia membuat sejarahnya sendiri, tapi mereka tak membuatnya dengan sekehendak hatinya."
Dengan kata lain, "membuat sejarah" perlu semangat besar tapi pada saat yang sama juga kesadaran akan ironi. Cerita perjuangan Castro bisa dikatakan berhasil ketika ia mengakui bahwa sampai hari ini Kuba belum selesai.
Dari sel penjaranya, ketika ia dihukum setelah gagal memimpin pemberontakan tahun 1953, Fidel menulis sepucuk surat kepada temannya: "Kita masih punya kekuatan buat mati dan tinju buat berkelahi."
Ia kemudian bebas. Menyusun kembali perlawanan. Klimaksnya adalah 25 November 1956: penyeberangan di atas kapal Granma, dari pantai timur Meksiko ke daratan Kuba. Kapal kayu itu seharusnya hanya memuat selusin orang tapi, dengan tekad Castro yang keras, diisi dengan 90 pejuang. Menempuh laut yang diguyur hujan dalam ombak yang keras, setelah tujuh hari di laut mereka sampai di pantai Kuba. Tapi sedikit meleset dan terlambat. Lelah dan lapar, mereka disambut tembakan musuh yang sudah menunggu. Separuh dari mereka tewas. Tapi Revolusi Kuba mulai.
Dan Castro maju terus, dengan susah payah, tapi dengan pengalaman dan tekad yang makin bertambah, setelah kemenangan pertama atas pasukan Rezim Batista di pertengahan Januari 1956. Kurang dari dua tahun, kaum revolusioner menang.
Yang mengagumkan, di hari-hari itu Castro tak menunjukkan sikap jemawa. Ia tak merasa Revolusi Kuba lebih unggul ketimbang revolusi lain. Ia juga tak hendak melambungkan diri. Ia bahkan tak ingin jadi presiden setelah menang. Ia memandang dirinya sebagai seorang revolusioner yang tak akan tenang di kursi, atau pensiun—karena, seperti diakuinya, masih banyak yang timpang di Kuba, masih banyak kerja revolusi yang, untuk memakai kata-kata Chairil Anwar, "belum selesai, belum apa-apa".
Tapi sejarah punya tikungan yang tak terduga. Castro wafat ketika dunia sedang bergerak ke arah balik: ke pelukan kaum "reaksioner", mereka yang mau mengubah dunia ke bentuk yang dulu pernah ada, mereka yang menentang demokrasi, kesetaraan sosial, solidaritas bangsa-bangsa. Masa depan, bagi kaum Islamis di Timur Tengah dan Indonesia, sebagaimana bagi kaum Fasis di Eropa dan Amerika, adalah masa lalu.
Castro meninggalkan kita ketika Donald Trump naik takhta.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo