SEKITAR 600 pengunjung yang memenuhi Teater Arena Taman Ismail
Marzuki, Jakarta, Kamis malam pekan lalu sebentar-sebentar
keplok. Suasana di dalam teater yang banyak dikunjungi anak muda
itu memang riuh dan panas. Ada apa? Rupanya Hendra sedang
membawakan beberapa syairnya yang baru, setelah lebih empat
tahun menghilang dari pentas TIM.
Tetap gagah, nampak muda, Rendra, 47 tahun, yang menyemir hitam
rambutnya itu paling mempesona, dan memikat hati penonton, dalam
acara penutupan Temu Sastra '82. Ia mengundang keplok melalui
puisi-puisinya yang mengkritik ketimpangan sosial.
Tapi sekali ini, Rendra tak hanya mengkritik, dan memberontak.
Ia juga bisa mengucapkan terima kasih ketika mendeklamasikan
sebuah sajak untuk Ken Zuraida, istri ketiganya:
Kalau aku belikan rumah untukmu/ engkau akan tersenyum/ Tetapi
kalau aku bacakan sajak/ engkau akan melonjak gembira. Lalu
Rendra memberi salam kecup kepada Ken yang berada di tengah
penonton. Dan berkata: "Bersamamu, Ma, aku melalui sampah-sampah
dan sekarang bersajak lagi." Malam itu ia membawa anaknya yang
dari Ken, Isaias Sadewa, yang akhirnya tergeletak tidur di
lantai.
Rendra, pencetus dan pemimpin Bengkel Teater Yogya, diluar
dugaan, menghadiahi dua puisi sanjungan buat Hariman Siregar,
tokoh mahasiswa yang lama di penjara gara-gara peristiwa 15
Januari. "Hariman, aku penyair. Tetapi engkau lebih tahu tentang
sastra daripadaku. Bacaanmu banyak, koleksi lukisanmu banyak dan
mengikuti zaman . . . '
Adalah Hariman yang memberikan Rendra novel terakhir Oriana
Fallaci, berjudul A Man, tentang wawancara panjang wartawati itu
dengan Aleikos, penyair Yunani pemberani yang harus menderita
dalam penjara. Maka Rendra yang kini kabarnya bekerja di sebuah
perusahaan di Jakarta, tak lupa mengkritik ke kanan dan ke kiri:
" . . . kini mahasiswa, wartawan dan cendekiawan tidak berdaya."
Tentu akan terasa lebih lengkap kalau Rendra juga menyebut
"seniman". Tapi itulah Rendra, si burung merak, yang banyak
diserbu para juru potret, sebelum Sutardji Cakoum Bachri
mengakhiri jeritan-jeritan sajaknya yang urakan .
Tardji, 41 tahun, yang belum lama menikah, tak nampak berubah.
Ia, seperti biasa, mengundang tawa penonton, dengan gayanya yang
khas, ketika membacakan sajak Shanghai. Sesekali dipeluknya
mimbar itu, sesekali dinaikkannya salah satu kakinya ke mimbar,
bak gerak orang bersanggama. Tapi penonton, yang rupanya lebih
terpesona pada Rendra, berkomentar: "Tardji masih kalah sama
Rendra." Si penyair bir pun menjawab lantang: "Penyair tidak
bersaing melawan penyair, tapi bersaing melawan dirinya sendiri.
Tahu."
Yang tak banyak tingkah tapi masih menarik adalah Taufik Ismail.
Ada 10 puisi dibacanya. Lucu-lucu dan kadang terasa menyindir
halus. Selain empat penyair favorit, malam itu diramaikan pula
oleh Putu Wijaya. Ia membacakan prosa, dari salah satu bukunya
berjudul Merdeka nama seorang anak buahnya.
Apa kata Darmanto Jt.? Penyair berambut kribo asal Yogya, yang
kini menjadi dosen di Undip, Semarang, mungkin karena gemasnya,
membawakan sajak yang mungkin baru terlontar malam itu.
Judulnya: Hai, Sapi - Ini seminar atau pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini