Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu 1 Agustus 1987. Pimpinan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengadakan rapat dengan Bagian Kesehatan Anak. Saya, sebagai Kepala Bagian Bedah Saraf, hadir bersama Prof Dr Iskandar Wahidijat, Kepala Bagian Kesehatan Anak.
Rapat membicarakan kondisi pasien kembar siam yang baru berumur satu hari. Kembar ini dempet di bagian kepala (craniopagus).
Kedua bayi itu, masing-masing bernama Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, lahir di Rumah Sakit Tanjung Pinang, kini Kepulauan Riau, pada 31 Juli 1987.
Ayah mereka Tularji, tukang batu, ibunya Hartini. Mereka dirujuk ke RSCM karena rumah sakit di daerah tak mampu menangani. Bayi kembar siam itu harus segera dipisahkan untuk menyelamatkan hidupnya.
Kasus kembar siam yang berasal dari satu telur dan satu ketuban kemungkinannya hanya satu dari dua ratus ribu kelahiran. Lantaran mengalami pelekatan fisik, harapan hidupnya hanya 40 persen. Mereka yang lahir hidup, 75 persen meninggal pada hari-hari pertama. Dalam kasus bayi dempet di bagian kepala—hanya 2 persen dari kasus kelahiran kembar siam—harapan hidupnya lebih tipis. Hanya 15 persen yang bisa hidup sampai umur lima tahun. Dan hanya satu yang mencapai usia dewasa.
Jelas kasus ini sangat langka dan kompleks. Literaturnya juga minim. Sebagai ahli bedah saraf, semula saya ditunjuk mengetuai tim operasi. Saya menolak. Alasannya sepele. Ibarat sedang bertempur, mata saya tidak bisa ke mana-mana, hanya tertuju ke meja operasi.
Saya lalu menganjurkan membentuk kelompok kerja dengan anggota selengkap mungkin. Seperti dari bagian anak, yang melibatkan ahli neontologi, hematologi, kardiologi anak, radiologi anak, hingga saraf anak. Bagian bedah pun diminta ikut terlibat, dari bedah anak, bedah plastik, radiologi, anestesi, hingga bagian bedah saraf.
Sarana penunjang melibatkan peralatan laboratorium, unit transfusi darah, hingga teknisi listrik dan pengawas alat-alat pemantau operasi. Secara keseluruhan, anggota tim berjumlah 96 orang, meliputi tenaga dokter dan nondokter. Saya menyarankan kepada pimpinan RSCM agar menunjuk ketua tim yang bukan spesialis bedah saraf.
Ketua tim dapat disamakan dengan panglima di markas besar yang bertugas memimpin peperangan. Sedangkan ahli bedah bagaikan jenderal di medan pertempuran. Kenyataannya, dalam hampir semua operasi bedah kembar siam, baik sebelum maupun sesudah kasus Yuliana-Yuliani, ketua tim selalu dipegang ahli bedah. Menurut saya, arogansi ahli bedah sering dominan, sehingga mereka tidak mau mengalah dan selalu ingin tampil. Akibatnya bisa buruk terhadap pasien.
Pada pembedahan kembar siam dempet kepala ini, masalah yang akan dihadapi adalah bedah saraf dan bedah plastik untuk menutup tulang dan kulit kepala yang menempel. Setelah melakukan pembicaraan berkali-kali, termasuk simulasi operasi, diputuskan untuk melakukan operasi ketika bayi berusia 2 bulan 21 hari.
OPERASI dilakukan pada 21 Oktober 1987. Secara keseluruhan, operasi berlangsung 13 jam, dengan delapan jam sendiri untuk proses pemisahan. Dana operasi dan perawatan praktis tidak bisa diharapkan dari pihak orang tua pasien. Saya berhasil menggalang dana dari berbagai kalangan, senilai Rp 42 juta, untuk mengongkosi operasi tersebut.
Keberhasilan operasi mendapat pemberitaan luas. Yuliana-Yuliani adalah bayi kembar dempet kepala termuda di dunia yang dapat dipisahkan. Semua koran Indonesia memberitakan, bahkan sampai koran di Cina.
Stasiun televisi BBC menyiarkan berita operasi itu dari berita TVRI. Inilah pertama kalinya dokter Indonesia bisa memisahkan kembar dempet pada tengkorak kepala. Ada yang menyebut operasi ini lompatan besar dunia kesehatan, mengingat minimnya peralatan rumah sakit di Indonesia.
Banyak orang menghubungkan sukses operasi itu dengan bakat lain dalam diri saya. Menurut saya, kemampuan itu memang sangat menolong. Malah ada yang menyebut, meskipun sama-sama dokter bedah saraf, bisa jadi operasi akan gagal bila si dokter tidak setelaten saya.
Dalam operasi Yuliana-Yuliani, saya bekerja berdasarkan cara yang saya pahami. Bisa saja dokter di Singapura atau di Amerika, bahkan sesama dokter di Indonesia, melakukan dengan cara lain, meski tujuannya sama. Umumnya, dokter Barat tidak tahan melakukan operasi berjam-jam, sehingga mereka selalu mencoba cara yang singkat. Kemampuan mengoperasi itu sangat bergantung pada bakat seseorang. Dalam hal ini, saya merasa beruntung sebagai orang Jawa, karena terbiasa sabar dan telaten.
Saya merasa ada hal yang unik dalam hidup. Dulu, semasa sekolah, nilai saya selalu jelek dalam pelajaran menulis halus. Namun, saya bisa melukis. Malah sewaktu saya bekerja di Groningen, Negeri Belanda, saya pernah membuat irisan pada kulit pasien sekecil-kecilnya, lebih kecil dari irisan para dokter Belanda. Maka banyak pasien meminta dioperasi oleh ”dokter Jawa”, begitu mereka menyebut saya.
SAYA lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 26 Februari 1938. Ayah saya ketika itu Kepala Stasiun Kereta Api Kediri, posisi yang hanya bisa dijabat para priayi. Saya sendiri mendapat warisan gelar raden mas. Kami keluarga besar. Orang tua saya memiliki 17 anak, 11 di antaranya laki-laki.
Semasa kecil, saya beberapa kali berpindah tempat tinggal. Pada masa perang kemerdekaan, keluarga kami pindah ke Solo, lalu ke Yogyakarta. Seiring dengan perkembangan karier Ayah di Djawatan Kereta Api, kami kemudian pindah ke Jakarta, dan terakhir ke Bandung, tempat saya melanjutkan pendidikan sampai sekolah menengah atas.
Setamat SMA, pada 1957, saya meneruskan kuliah ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ketika pertama kali kuliah, fakultas kedokteran ini diasuh oleh sebagian dokter Amerika dari University of California, Los Angeles (UCLA).
Ketika masa kuliah itulah saya memutuskan mengambil program ikatan dinas, dengan pertimbangan bisa mendapat dana bantuan kuliah. Semata untuk meringankan beban orang tua. Dengan program ikatan dinas, selama 15 tahun setelah lulus kuliah saya harus bekerja membantu pemerintah. Kelak pilihan ini menimbulkan beberapa implikasi dalam karier dokter saya.
Kuliah di fakultas kedokteran bisa saya selesaikan dalam waktu enam tahun. Teman yang sama-sama lulus pada tahun itu—disebut angkatan 1963—ada 131 orang. Tetapi hanya 43 orang yang lulus dalam waktu enam tahun. Kebetulan, sebelum saya lulus, setiap bagian di fakultas kedokteran mencari dokter muda sebagai kader jurusan. Saya kemudian memilih mengabdi ke almamater dengan menjadi ahli bedah saraf.
Dorongan menjadi ahli bedah sedikit-banyak ditentukan oleh cacat di wajah saya. Otot wajah sebelah kanan mengalami kelumpuhan berat, yang membuat wajah saya miring. Mata kanan saya tidak bisa dipejamkan.
Tanpa bermaksud meledek siapa pun, kalau meringis mulut saya akan miring ke kiri. Sudah pasti saya tidak bisa bersiul. Lantaran itu, sewaktu kecil saya dipanggil Perot, ungkapan Jawa yang artinya miring. Setelah dewasa, berdasarkan keterangan dokter yang dulu merawat keluarga, saya simpulkan hal itu terjadi karena kelumpuhan saraf otak VII, tipe perifere, akibat infeksi di daerah telinga.
Paralel dengan pengalaman keilmuan saya, hasrat untuk menolong pasien cacat saraf ternyata hanya bisa dilalui dengan satu hal: pembedahan. Hanya dengan cara itulah penyakit saraf bisa disembuhkan tuntas.
Ketika saya melamar menjadi asisten ilmu bedah, bedah saraf belum dikenal, bahkan belum diajarkan di kampus. Bukan karena ilmu ini belum berkembang, melainkan karena bagian ini tidak berhubungan dengan fakultas. Saat itu khusus untuk bedah saraf hanya ada satu rumah sakit, yakni Princes Margriet Hospital, Klieniek voor Neurochierurgie, di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat.
Rumah sakit Princes Margriet bisa disebut cikal-bakal bedah saraf di Indonesia. Didirikan pada 1948 oleh Palang Merah Belanda, saat itu semua ahli bedahnya masih berkebangsaan asing. Dokter bedah saraf yang pertama bertugas di rumah sakit itu adalah Hanraet.
Setiap enam bulan ada mutasi dokter. Menyusul bertugas di antaranya Noordenbos, Wiersma, De Groot, dan Lenshoek. Pedro Albert, seorang dokter Spanyol, juga pernah bertugas di rumah sakit tersebut. Baru pada 1952 ada seorang dokter Indonesia yang berdinas di rumah sakit tersebut, yakni S.K. Handoyo, yang baru lulus dari Belanda.
Ketika saya meniti karier di bedah saraf, hanya ada tiga ahli bedah saraf di Indonesia. Dua di antaranya berpraktek di rumah sakit tersebut, yakni S.K. Handoyo dan Soewadji. Seorang lagi, yakni Basoeki, memilih membuka klinik sendiri di Surabaya. Ketika memilih menjadi asisten bagian bedah saraf, saya sudah mendapat gambaran betapa suramnya jurusan ini. Dokter Soewadji menguji saya begitu rumit dan lama dengan berbagai pertanyaan.
Rupanya dia ingin mengetes kesungguhan saya. Saat itu, bahkan hingga sekarang, dokter bedah saraf tidak seberuntung dokter lain, bahkan dibanding dokter umum. Padahal sekolahnya terbilang paling lama dibanding spesialisasi lain. Ditambah umumnya pasien saraf memerlukan perawatan panjang, dan akibatnya memerlukan biaya besar. Operasinya lama, dan tingkat kematian pasien juga tinggi.
Pada 1964 terjadi peristiwa dramatis. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), Djaka Sutadiwirja, memerintahkan menutup klinik saraf di Raden Saleh. Lokasi itu, menurut dia, akan digunakan untuk klinik kebidanan. Dua orang senior saya, Handoyo dan Soewadji, merasa tersinggung karena perintah itu tidak pernah dibicarakan sebelumnya dengan mereka.
Mereka berdua kemudian mogok dan memilih pensiun. ”San, kau saja yang mengambil alih urusan,” kata Soewadji. ”Kami berdua akan segera pensiun. Masa depan bedah saraf, kamu sendirilah yang harus menghadapinya.”
Dengan bekal uang Rp 16 juta dari RSUP, saya kemudian membangun ruang baru untuk klinik bedah saraf di rumah sakit tersebut. Peralatan medis dari klinik Raden Saleh dilarang dibawa dan dialihkan. Dengan kata lain, saya harus membangun klinik saraf dari nol.
Pada 1965, saya tugas belajar di Universitas Groningen, Belanda. Di situ saya bertemu dengan senior saya, seorang perintis bedah saraf di Indonesia: Prof Lenshoek. Sambil belajar, saya mendapat pengalaman praktek di RS Groningen sebagai dokter bedah saraf.
Ketika itu Belanda hanya memiliki 18 ahli bedah saraf untuk melayani sekitar 1.300 operasi setahun. Di situ saya belajar menjadi ahli bedah saraf modern. Hal ini berbeda dengan keadaan yang saya hadapi di Indonesia, sepulang dari Belanda pada 1970. Selain sempat setahun tak bergaji, saya harus bekerja dengan kondisi kelangkaan tenaga dan minimnya alat pendukung operasi.
Kini kondisi memang sudah membaik. Jumlah ahli bedah saraf di Indonesia cukup meningkat, meskipun masih belum memadai. Tapi nasib mereka tak berbeda jauh dengan seniornya. Setelah 47 tahun berkarya, di usia 71 tahun ini saya serba punya satu. Satu rumah, satu mobil Mercedes tua, satu istri, dan satu anak. Tapi saya bersyukur masih sehat, dan bisa berkarya.
KEBERHASILAN operasi Yuliana-Yuliani tentu saja mengangkat nama banyak pihak, dari rumah sakit hingga penguasa. Ketika itu ada seorang petinggi mengaku di koran bahwa dia ikut menyumbang untuk operasi tersebut. Padahal sepeser pun saya tidak menerima bantuan dari dia.
Ketika ucapan saya muncul di koran, yang menyatakan bahwa dana operasi Rp 40 juta itu didapat dari hasil mencari sumbangan ke sana-kemari, ada pejabat yang teramat tinggi posisinya dan sangat berkuasa marah karena dia sudah telanjur mengklaim. Saya bahkan ditelepon agar mencabut pengakuan itu. Tentu saja saya menolak. Kalau mau dibunuh, saya siap saja. Saya berpikir, mungkin bakal enggak naik pangkat. Saya pikir biar saja, toh saya mengatakan yang sebenarnya.
Lantaran khawatir hasil operasi yang bagus itu gagal, saya memantau kehidupan si kembar selesai operasi. Bahkan pemantauan itu ternyata sampai hari ini, selama 21 tahun. Itu suatu ketidaksengajaan, tapi saya anggap ibadah saja.
Sebelum kasus pembedahan Yulia-na-Yuliani, ada kasus operasi bayi kembar siam dari Nias, Sumatera Utara. Kedua bayi yang mengalami perlekatan di perut itu sukses dioperasi di Jakarta. Setelah kondisinya membaik, keduanya dipulangkan ke Nias. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Keduanya meninggal karena mencret. Saya tidak mau kasus serupa menimpa si kembar. Jika Tuhan memberi kesempatan membuat masterpiece, mestinya harus mau menjaganya juga.
Saya memantau Yuliana-Yuliani karena khawatir mengingat ayah mereka cuma tukang batu. Jika salah perawatan atau memberi makan, mereka terancam mati kapan saja. Dua bulan setelah operasi, kedua bayi tersebut saya openi. Kemudian, di masa balita kedua anak itu pun saya jaga. Selama lima tahun, mereka dengan kedua orang tuanya berada di Jakarta. Mula-mula mereka satu rumah dengan saya, tetapi kemudian mengontrak sendiri.
Setelah lewat usia lima tahun, saya pulangkan mereka ke Tanjung Pinang. Tapi saya tetap tut wuri handayani, mendorong dan mencoba memajukan kehidupan mereka. Ketika saya ada rezeki, saya belikan rumah yang layak, meskipun hanya Perumnas. Orang tuanya juga saya carikan modal untuk membuka usaha. Sekarang kedua anak itu sudah dewasa. Selama duduk di bangku SMA, mereka bahkan menempati peringkat satu di sekolahnya. Sekarang mereka masuk fakultas kedokteran. Kata mereka, ”Karena ingin mencontoh Pakde.” Begitulah keduanya memanggil saya.
Setelah kasus Yuliana-Yuliani, saya tidak pernah mendapat pasien serupa. Mungkin memang Tuhan memberi saya kesempatan satu kali saja. Meski hal itu sebenarnya misteri bagi saya. Banyak operasi yang lebih sulit dari pemisahan si kembar kerap saya lakukan, seperti operasi tumor otak, tapi tak ada yang memberitakan.
Saya tidak paham atau ikut-ikutan berpolitik. Bagi saya, sumpah dokter itu di atas segalanya. Maka, sebagai anggota tim dokter kepresidenan, saya tidak mau minta fasilitas dan bayaran. Itu sebabnya, meski akhirnya seorang diri, saya menolak membuat surat sakit untuk mantan presiden Soeharto. Bagi saya, kalau sehat haruslah dikatakan sehat, begitu pun jika sakit. Seorang dokter tidak boleh berbohong.
Karena sikap tidak tegas dan tidak jujur, kredibilitas dokter kini sering diragukan. Apalagi bila berurusan dengan kekuasaan. Maka tak mengherankan jika bisa muncul satu bahkan lebih tim dokter dalam urusan kesehatan mantan presiden Soeharto. Masing-masing dengan kesimpulan berbeda. Mungkin saja, kelak, akan ada kasus serupa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo