Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Diam dan Mengancam

Sakit jiwa merebak di kalangan para calon anggota legislatif yang gagal. Namun, psikosomatis juga berbahaya, karena gejalanya sering diabaikan.

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS Muslim tiba-tiba mengamuk, melempar batu ke arah orang yang lewat di sekitar Perumahan Bojong Depok Baru, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor langsung meringkus, memborgol, dan membawanya ke Rumah Sakit Dr. Marzoeki Mahdi, Bogor, Selasa pekan lalu.

Saat mengamuk, Agus meracau memaki-maki ketua partainya, bahkan nama presiden dalam logat Betawi bercampur Sunda. ”Kenapa suara lo enggak dikasih ke gua. Masak gua cuma dapat dua suara. Aing jadi eleh (saya jadi kalah),” ujar pria berusia 30 tahun itu.

Di rumah sakit, Agus langsung dibius agar tenang. Lalu dia dipindahkan ke ruang khusus untuk penanganan maksimal. ”Sampai sekarang masih di ruang isolasi. Belum bisa diajak bicara. Karena sudah kehilangan nilai sosialnya. Orang seperti Agus harus dirawat. Dia menderita penyakit jiwa, psiko akut,” kata juru bicara Rumah Sakit Jiwa Bogor, dokter Abdul Farid Patuti, Kamis pekan lalu.

Menurut alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar itu, selama musim Pemilihan Umum 2009 ini, Rumah Sakit Jiwa Bogor sudah didatangi calon anggota legislatif, simpatisan, tim sukses, atau keluarganya. Sebelum hari pencontrengan, ada lima pasien calon anggota legislatif berkonsultasi. ”Mereka mengaku menderita insomnia dan kekhawatiran. Tapi mereka belum kembali lagi, mungkin sudah menang,” kata Abdul Farid.

Setelah hari pemilihan, lima orang berobat ke rumah sakit itu. Mereka terdiri atas keluarga calon anggota legislatif, simpatisan, dan tim sukses. Tiga orang berobat jalan, dua dirawat. ”Seorang simpatisan dirawat empat hari, karena sudah lebih tenang dan diambil keluarganya untuk diobati di tempat lain. Kini tinggal Agus, belum ada keluarga yang menghubungi rumah sakit,” ujar Farid.

Menurut Farid, selama perawatan, Agus yang mengaku calon anggota legislatif dari sebuah partai yang termasuk dalam daftar lima besar perolehan sementara selalu ngomong politik dan kekalahannya dalam pemilihan umum. ”Kami belum tahu jelas Agus calon anggota legislatif atau bukan, karena pengurus partai yang ditanyai membantah,” katanya.

Selain Rumah Sakit Jiwa Bogor, berbagai tempat rumah sakit jiwa di daerah juga sudah menyediakan tempat bagi calon wakil rakyat kalah yang mau dirawat. Rumah Sakit Jiwa Medan, Sumatera Utara, 30 tempat khusus disediakan bagi pasien calon wakil rakyat. Tapi sampai pekan lalu masih kosong belum terisi. ”Mungkin mereka atau keluarga malu, karena stigma rumah sakit jiwa,” kata Kepala Bidang Pelayanan Medik Rumah Sakit Jiwa Sumatera Utara, Dapot Parulian Gultom, kepada Soetana Monang Hasibuan dari Tempo.

Secara pribadi, dua orang calon anggota legislatif datang ke tempat praktek dokter Gultom. ”Mereka menanyakan soal kejiwaannya kepada saya. Calon pertama mengeluh susah tidur dan khawatir. Pasien kedua datang setelah pencontrengan, mengaku plong meski kalah,” katanya.

Guru besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta, Profesor A. Prayitno juga kedatangan beberapa calon wakil rakyat yang meminta pendapat mengenai gangguan kejiwaan. ”Mereka umumnya malu datang ke rumah sakit dan memilih langsung ke tempat praktek pribadi,” kata psikiater yang praktek di Rumah Sakit Husada, Jakarta, ini.

Sakit jiwa yang menjadi ”efek samping” dari pemilihan anggota legislatif memang sudah ramai dibicarakan sejak masa kampanye lalu. Banyaknya calon anggota legislatif yang berlomba di ajang pemilu, tapi sedikitnya kesempatan mendapat kursi, memunculkan persaingan superketat. Semua cara pun bisa dihalalkan, termasuk utang sana-sini untuk modal. Bayangkan, lebih dari 1,6 juta orang calon anggota legislatif—dari pusat hingga kota—dan Dewan Perwakilan Daerah hanya sekitar 18.500 kursi yang tersedia. Sisanya bisa jadi stres hingga sakit jiwa.

Menurut data Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Jakarta, yang dikumpulkan dari 33 provinsi di Indonesia, ada 186 ribu calon anggota legislatif terganggu jiwanya. ”Kebanyakan gangguan psikosomatis. Sedangkan yang berpotensi mengalami gangguan jiwa berat hanya 0,3 persen, 10 persen dari yang gangguan berat itu harus dirawat,” kata ahli kesehatan jiwa dari Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, Hervita Diatri. Jadi yang perlu perawatan rumah sakit jiwa sekitar 480 orang.

Calon anggota legislatif yang gagal lalu gila memang seru diberitakan. Media massa cetak, audio, dan visual gencar mempublikasikan berita seputar topik ”gila” tersebut. Tapi, dari sisi kesehatan jiwa, ancaman yang lebih besar adalah penderita psikosomatis. Sebab, penyakit inilah yang membayang-bayangi lebih banyak calon anggota legislatif, baik yang gagal maupun yang berhasil.

Psikosomatis, menurut dokter Prayitno, adalah penyakit badan yang terjadi karena gejala psikologi, dan sudah termasuk gangguan jiwa. Menurut mantan Direktur Kesehatan TNI Angkatan Laut ini, ada tujuh gangguan psikosomatis klasik, antara lain diabetes, sakit maag, rematik, neurodermatitis (sakit kulit tidak sembuh-sembuh), dan sakit kepala.

Sedangkan menurut ahli psikosomatis dari Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Rudi Putranto, stres pada dasarnya merupakan reaksi tubuh dan pikiran terhadap perubahan, ancaman, atau kejadian yang mengancam. Ancaman, kejadian, atau perubahan itu disebut stresor. Sumbernya bisa berasal dari dalam diri, misalnya pikiran, kepercayaan, dan sikap atau dari luar, seperti kekalahan, kerugian, kehilangan, tragedi, dan perubahan. Jadi, meski belum kronis, psikosomatis yang menimpa para anggota legislatif baik yang berhasil maupun gagal perlu dicermati. ”Calon anggota legislatif yang menang juga punya potensi psikosomatis, karena mereka tidak siap menang,” kata Hervita.

Psikosomatis sendiri terjadi akibat gangguan keseimbangan saraf otonom, sistem hormonal tubuh, gangguan organ-organ tubuh, serta sistem pertahanan tubuh. Tapi, karena gejala-gejalanya tidak terlampau ekstrem—tidak seperti gejala orang gila—menurut dokter Hervita, orang pun mengabaikannya. Yang lebih mengkhawatirkan, karena gejala yang muncul adalah keluhan fisik, seperti sakit kepala dan sakit maag, kemungkinan besar penanganan penyakit menjadi tidak tepat sasaran, yaitu tidak ke sumber gangguan kejiwaan, atau menemukan stresornya. Dokter mungkin menganggap itu semua merupakan penyakit fisik semata.

Menurut Prayitno, para calon anggota legislatif harus mawas diri dengan kondisi mereka, dan menerima keadaan. Jika merasa butuh bantuan, mestinya harus berobat ke psikiater, rumah sakit jiwa, atau pusat kesehatan masyarakat. ”Saat ini obat sudah bagus, obat anti-depresan dan anti-kegilaan sudah sangat maju,” ujarnya.

Di samping itu juga perlu psikoterapi seperti dengan mengungkapkan isi hatinya. Misalnya, cerita uang yang dihabiskan, melepaskan kejengkelan pa-da partainya, agar merasa lebih lega. ”Psikiater bisa memberi solusi dan konseling, selain obat-obatan,” kata Prayitno.

Ancaman psikosomatis sebenarnya melekat di mana-mana, termasuk pada pejabat di lembaga-lembaga tinggi negara. Untuk itulah Prayitno, dokter yang berpangkat Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut, mengusulkan adanya tim dokter jiwa dalam lembaga-lembaga terhormat, seperti Mahkamah Agung dan lembaga kepresidenan, termasuk anggota legislatif.

Ahmad Taufik, Nunuy Nurhayati, Agung Sedayu

Akibat Stres pada Organ

  • Pergeseran neurotransmitter kimia di otak, termasuk dopamin dan serotonin, dapat menyebabkan depresi, cemas, gangguan perilaku, dan sebagainya.
  • Penurunan sintesa neurotransmitter otak menyebabkan penurunan daya ingat dan konsentrasi .
  • Berkerutnya sel-sel otak (mengisut), dapat menyebabkan kepikunan berat.
  • Penekanan aktivitas sel imun dapat menyebabkan timbulnya penyakit flu, demam, dan penyakit infeksi lain secara berulang.
  • Tekanan darah, kolesterol, dan trigliserida yang meningkat menyebabkan penyakit jantung koroner.
  • Penyerapan tulang jadi lebih cepat, muncul penyakit sendi dan osteoporosis.
  • Resistensi insulin dan peningkatan gula darah menyebabkan diabetes melitus alias kencing manis.
  • Kadar hormon testosteron dan estrogen (perempuan) menurun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus