Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAGINGNYA sama lembut dengan melon biasa. Segarnya boleh diadu, demikian pula manisnya. Tapi melon ini lebih eksotis: berbentuk kotak, berwarna hijau kekuningan, urat-uratnya membuatnya tampak lebih mirip buah tiruan dari bahan lilin. Itulah buah melon hasil utak-atik para peneliti tanaman di Taman Wisata Mekarsari, Cileungsi, Bogor.
Kini melon itu menjadi salah satu maskot Mekarsari. Berada di Wahana Melon, pengunjung kerap tertipu. ”Mereka mengira, bila bibit melon tersebut ditanam, akan menghasilkan buah berbentuk kotak pula. Padahal buah menjadi kotak karena perlakuan khusus,” ujar Mohamad Reza Tirtawinata, Kepala Divisi Pengembangan Proyek-proyek Khusus di Mekarsari. ”Sebenarnya enggak harus kotak. Kita mau bikin peang, lonjong, persegi panjang, piramida, atau seperti botol juga bisa.”
Kuncinya: beri melon itu ”baju” dengan bentuk sesuai yang diinginkan. Baju itu diperlukan karena, kata Reza, melon kotak bukan hasil rekayasa genetika. ”Sama sekali tidak ada perlakuan istimewa saat buah masih dalam kondisi benih untuk membikinnya berubah bentuk,” ujarnya. ”Melon kotak mulai mendapat perlakuan khusus saat memasuki usia pertengahan. Di sini kami menyebut itu rekayasa budi daya tanaman.”
Karena bentuknya unik, harga melon kotak jauh lebih mahal dibandingkan dengan melon biasa. ”Bisa 10 kali lipat dari yang biasa dijual Rp 11 ribu per kilo,” katanya.
Ide membuat melon kotak itu, kata Reza, menyontek petani buah di Jepang. Alkisah, dua tahun lalu, tim ahli buah dan tanaman dari Mekarsari melawat ke Negeri Matahari Terbit. Di sana mereka tertegun melihat semangka berbentuk kotak. Unik dan belum ada di mana-mana. Sejawat mereka di Jepang membikin semangka kotak itu sederhana: agar penyimpanannya lebih efisien, tak banyak ruang yang terbuang.
Kembali ke Tanah Air, mereka ditantang direksi Mekarsari. ”Orang Jepang bisa bikin semangka kotak seperti ini, masak kita enggak bisa?” ujar Reza, yang juga Kepala Tim Ahli Riset dan Pengembangan Mekarsari, menirukan ucapan bosnya.
Toh, membuat buah berbentuk kotak tak mudah. Untuk menggarapnya secara serius, dibentuklah tim khusus yang dipimpin Riris Margiana Sari, Kepala Bagian Kebun Produksi dan Penelitian Mekarsari. Sementara di Jepang orang membuat semangka berbentuk kubus, di Mekarsari pilihannya jatuh pada melon. Alasannya, melon lebih mudah dibentuk karena berukuran lebih kecil.
Melon juga menjadi pilihan tim Riris karena pertumbuhannya cepat. Dalam 70 hari, buahnya sudah dapat dipanen. Membudidayakannya juga mudah karena tanaman ini dapat ditumbuhkan di rumah kaca sehingga lingkungannya terkendali. Menanamnya pun bisa secara massal. ”Kalau pepaya, misalnya, kan harus ditanam di kebun terbuka sehingga sulit dipantau,” ujar Reza.
Ada alasan lain: Taman Wisata Mekarsari terkenal memiliki aneka ragam buah melon. ”Di sini ada Wahana Melon. Jadi adanya melon kotak bisa menambah jenis melon lain yang sudah ada, seperti jade flower, honey glob, dan glamour,” ujar juru bicara Taman Wisata Mekarsari, Catherina Day.
Tapi ada sejumlah masalah yang bisa muncul gara-gara melon itu diberi ”baju”. Misalnya, melon itu jadi kurang manis. Ini terjadi pada semangka kotak buatan Jepang. Rasa semangka itu tak enak. Hambar.
Setelah serangkaian riset, tim Riris sampai pada hipotesis bahwa rahasia hambarnya semangka kotak terdapat pada kulit semangka. ”Cuma masalah fotosintesis,” kata Reza. Semangka membuat gula di kulitnya. Itulah mengapa kulitnya hijau dan licin. Nah, karena semangka itu dibungkus kotak, sekalipun kotaknya transparan, fotosintesisnya terganggu. Jadi, gula yang dihasilkan kulitnya tak banyak. Bagaimana jika ini terjadi juga pada melon?
Reza, yang menjadi penasihat tim, menduga melon tidak melakukan fotosintesis sehebat semangka di kulitnya. ”Kulit buah melon tidak hijau, tapi ada yang kuning, hijau kekuningan, berjaring putih, hijau keputihan, dan kulitnya lebih tebal,” ujar Reza. ”Jadi, buah melon tak perlu berfotosintesis dan proses itu hanya berlangsung pada bagian daunnya.”
Ternyata hipotesis itu belakangan terbukti. ”Kami benar soal fotosintesis itu. Terbukti rasa melonnya tetap manis,” kata Reza.
Toh, itu baru masalah kecil. Faktanya, para peneliti Mekarsari bahkan belum tahu kotaknya harus terbuat dari bahan apa. Mereka cuma punya patokan: kotak itu harus tembus cahaya dan cukup fleksibel sehingga tidak pecah ketika mendapat tekanan saat buah tumbuh. Setelah mencoba kotak dari bahan papan, kaca, hingga plastik, mereka sampai pada pilihan terbaik: akrilik. ”Tingkat kegagalannya hanya 30 persen,” ucap Riris.
Beres dengan material untuk membikin kotak, mereka harus mencari tahu berapa volume kotak yang pas untuk menumbuhkan melon tersebut. Ini pula alasan mereka memilih melon hibrida. ”Melon hibrida memiliki ukuran yang relatif seragam sehingga kami bisa membikin kotak dengan volume yang pasti. Bila ukurannya tidak seragam, semisal ada yang 1 liter, 1,2 liter, atau 0,8 liter, cetakan tidak akan terpakai dengan sempurna,” kata Reza.
Volume melon hibrida berkisar 1 liter. Jadi, kotak dibikin seliteran juga. Dengan cara ini, volume buah tidak berkurang. ”Menentukan besaran volume buah dengan tepat itu tahapan yang paling sulit,” ujar Reza.
Percobaan kini beralih ke rumah kaca. Para peneliti harus bisa menentukan saat yang tepat untuk membungkus melon dengan kotak itu. ”Setelah melalui pengamatan panjang, kami mulai mengerti bahwa kotak tersebut paling ideal dipasang pada hari ke-40. Kalau dipasang pada hari ke-12 atau 23, buah jadi rontok sebelum waktunya,” kata Reza.
Biasanya, satu tanaman melon menghasilkan lebih dari satu buah. Ini bisa membikin ukuran buahnya berbeda-beda. Untuk itu, tim Riris hanya membesarkan satu buah per tanaman.
Buah yang bagus untuk dibesarkan biasanya terdapat di antara ketiak daun ke-15 dan ke-23. Jika buah itu tumbuh di ketiak daun yang lebih rendah, pemasangan kotak sulit dilakukan. Sedangkan jika buah tumbuh di ketiak yang lebih tinggi, ukuran buahnya akan lebih kecil.
Jadi, dua-tiga bunga melon—yang nantinya akan menjadi buah—di antara ketiak daun itu dibiarkan tumbuh hingga menjadi buah. Nah, buah yang paling sehat yang dipertahankan. Ketika umur buah menginjak 40 hari, cetakan dipakaikan. Pada usia ini, kulit melon biasanya mulai menyentuh cetakan. ”Prinsipnya, ketika buah mulai masuk ke dalam kotak dan kulitnya menyentuh dinding, itulah saat yang paling baik untuk memasang kotak. Pada sisa 30 hari berikutnya, buah tinggal menempel ke dinding dan menjadi kotak,” kata Riris.
Sembari menunggu melon tumbuh, banyak yang harus diutak-atik. Ini terkait dengan pemangkasan, pemupukan, dan pola siram tanaman. Untuk pupuk, misalnya, perlu formula baru agar rasa manis melon itu nendang. Pemangkasan juga mesti menjadi rutinitas, ”Karena pola pertumbuhan buah melon sangat cepat, dua setengah hingga tiga bulan,” ujar Riris.
Agar melon kotak memiliki kandungan air yang tidak kalah dengan melon biasa, jangan melupakan pola siram. ”Suatu saat volume air yang diberikan harus tinggi, ada pula saatnya harus rendah, dan ini tergantung kondisi tanaman itu,” kata Riris. ”Perhatian khusus ini terutama dilakukan pada enam pekan terakhir sebelum melon dipanen,” ujarnya.
Firman Atmakusuma, Diki Sudrajat (Bogor)
Kotak tapi Buah
Spesifikasi:
Jenis: Melon hibrida
Volume: rata-rata 1 liter
Berat: 1.200 gram.
Tingkat kemanisan: 12,5 brix
Daging: kuning oranye, beraroma khas
Usia panen: 70 hari
Penyiraman:
2 liter air per tanaman per sekali penyiraman, sehari dua kali penyiraman, pada pagi dan sore.
Kotak cetakan:
akrilik, ukuran 10 x 10 x 10 sentimeter (1 liter), dipasang saat usia buah 40-45 hari.
Buah yang dipelihara terdapat pada ketiak daun ke-15 hingga ke-23 dengan ketinggian 1,25-1,6 meter dari tanah.
Tekstur kulit:
rata dan halus dengan sedikit pori-pori akibat terdesak pada dinding cetakan.
Batang melon ditumbuhkan vertikal. Diikat dengan tali.
Pupuk:
NPK dengan perbandingan 16 : 16 : 16 ditambah kalium yang dilarutkan dalam 1 liter air.
Tanah: tingkat keasaman tanah (pH) 6-7.
Suhu udara ideal: 20-30 derajat Celsius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo