Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Tak Surut Hingga Akhir

Ismail Suny berpulang. Tokoh dengan beragam wajah: ahli tata negara, politikus, pendidik, dan diplomat.

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI yakin, pantanglah bersurut. Profesor Dr Ismail Suny SH MCL menunjukkan prinsip hidupnya ini sepanjang 80 tahun usianya. Ia dikenal tak pernah takut melontarkan kritik. Tak peduli siapa pun yang dia hadapi. ”Ia memang meledak-ledak,” kata Elzamy Suny, adik bungsu Ismail Suny.

Suatu kali, misalnya, rekan-rekan sesama dosen di Universitas Indonesia mengingatkan Ismail Suny agar tak bicara terlalu keras tentang pembatasan masa jabatan presiden. Pemerintahan Soeharto masih terlalu kuat untuk dia kritik. Tapi Suny, begitu ia akrab dipanggil, tak ambil pusing. Ahli tata negara itu nekat berkeliling kampus mengusulkan amendemen untuk mencegah orang menjadi presiden selama-lamanya. ”Jabatan presiden cukup dua periode saja,” ucapnya.

Maka, sepulang berceramah pada awal April 1978, Suny pun digelandang ke penjara. Ia dituduh melawan pemerintah yang sah dengan pasal subversi. Ia ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur, tanpa pengadilan, selama satu tahun. ”Ia penyuara paling keras tentang pentingnya penyempurnaan undang-undang dasar. Padahal ketika itu undang-undang dasar disakralkan,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, yang pernah menjadi asisten dosen Suny.

Penyempurnaan UUD 45 baru ia saksikan 20 tahun kemudian. Tubuh Suny sudah jauh lebih lemah. Dan Senin dinihari pekan lalu profesor yang kritis dan keras kepala itu tak berpantang pada sang penguasa raya. Ismail Suny meninggal di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan, karena mengidap kelainan darah. Sejak setahun lalu, ia bolak-balik masuk rumah sakit gara-gara jumlah trombosit darahnya turun drastis.

Semula keluarga Suny hendak membawanya ke Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura. Tapi, karena kondisinya memburuk, niat itu diurungkan. ”Mungkin Ayah ingin meninggal di Tanah Air,” kata Lili Suny, putri ketiga dari lima anak Suny, buah perkawinannya dengan Rosma Daud. Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Suny lahir di Labuhanhaji, Tapaktuan, Aceh Selatan, pada 7 Agustus 1929. Ia sulung dari 15 bersaudara, putra pasangan Haji Cut Nyak Sawani dan Haji Mohammad Suny, seorang saudagar kaya dan ternama di kawasan Aceh Selatan. Sejak kecil, Suny dikenal cerdas. Dua kali dia lompat kelas. Padahal kegiatannya amat banyak. Ketika di sekolah menengah dia menjadi wartawan muda dan menjabat pemimpin redaksi majalah bulanan Angkatan Muda.

Pada 1957, ia melanjutkan studi ke Fakultas Hukum dan Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Karena takut gagal, dia amat rajin kuliah. ”Karena mengerjakan catatan kuliah demikian baik, buku catatan saya diperbanyak untuk kepentingan mahasiswa lain oleh senat mahasiswa,” kata Suny, seperti tertuang dalam otobiografi Mencari Keadilan.

Gelar master hukum ia peroleh dari Universitas McGill, Montreal, Kanada, pada 1960. Pulang dari Kanada, Suny bersama Profesor Sugarda Purbacaraka mendirikan Universitas Cenderawasih di Papua. Ia lalu kembali ke Jakarta mengambil program doktor di Universitas Indonesia.

Suny menjadi doktor ilmu hukum tata negara termuda pada masa itu: 34 tahun. Disertasinya berjudul Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Suatu Penyelidikan Dalam Hukum Tata Negara dibukukan. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 2006, Suny diangkat sebagai guru besar emeritus bidang hukum tata negara Universitas Indonesia pertama.

Suny masuk gelanggang politik dan menjadi anggota DPRGR-MPRS (1967-1969). Ia termasuk salah satu tokoh yang ikut menjatuhkan Soekarno tatkala MPRS menolak pidato pertanggungjawaban presiden dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Ia dicopot dari MPRS pada 1969 karena mengkritik proses pembuatan Undang-Undang Pemilu.

Sikap kritisnya berlanjut ketika kekuasaan beralih ke Soeharto. Selama satu tahun dalam penjara tanpa diadili itulah dia menulis otobiografinya. Sikapnya terhadap rezim Soeharto tak melunak sampai ia menerima tawaran menjadi Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi (1992-1997). ”Saya melihat izin Pak Harto kepada Habibie untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, pada 1991, menandakan adanya suatu perubahan perlakuan terhadap Islam,” kata Suny dalam wawancara dengan Tempo pada 1992.

Sepanjang hidupnya Suny telah menulis belasan buku, antara lain Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tata Negara; Pembagian Kekuasaan Negara; dan Mencari Keadilan.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus