Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBERHASILAN operasi pemisahan Yuliana-Yuliani yang ramai diberitakan media massa membuat kehidupan saya berubah drastis hampir sepanjang 1987. Sebagai ahli bedah saraf, yang saat itu jumlahnya tak lebih dari jari tangan di Indonesia, mana sempat saya berpikir bakal dikenal orang? Wong, pasien saja jarang.
Suatu hari, saya naik kereta api ke Surabaya untuk mengikuti seminar. Sampai di Stasiun Gubeng, seorang tukang becak mendekati saya. Dia bertanya, ”Maaf, apa benar Bapak yang memisahkan kembar dempet di Jakarta?” Saya terkejut, dan berpikir si tukang becak cuma iseng. Dengan malas saya mengiyakan.
”Cihui… Saya menang taruhan!” si tukang becak berteriak gembira. Rupanya para tukang becak di Surabaya sudah membaca berita operasi si kembar dari koran. Sebagian koran memuat pula foto saya yang berwajah ”miring” ini. Maka, begitu melihat saya, para tukang becak yang mangkal di muka stasiun bertaruh apa benar saya dokter yang mengoperasi si kembar. Seumur hidup, sekali itulah saya tahu rasanya jadi barang taruhan....
Di lain waktu, saya hendak pulang ke Jakarta, usai seminar di Bali. Sopir taksi yang mengantar saya ke Bandara Ngurah Rai bolak-balik mencuri pandang lewat kaca spion di dalam mobil. Saya diamkan saja tingkahnya itu. Akhirnya ia tak kuat menahan rasa penasaran. ”Apa benar Anda dokter Padmo dari Jakarta?” ia bertanya. Saya mengangguk.
Tak dinyana, sopir taksi itu langsung berubah wajahnya. ”Pak, tolong ikut saya setengah jam saja,” katanya. ”Nanti saya antar lagi ke bandara. Gratis dan tidak akan terlambat,” ujarnya dengan nada merengek. Di rumahnya, saya mendapati seorang ibu tua dengan kaki bengkak. Si sopir rupanya berpikir saya dokter hebat untuk apa saja, termasuk patah tulang.
Beragam reaksi orang terhadap saya, sebetulnya, lebih banyak karena rasa ingin tahu. Namun, saya akui, ada sebagian kecil yang punya atensi atas keberhasilan operasi pemisahan dempet kepala pertama di Indonesia itu. Tak hanya dari pemerhati di dalam negeri, tetapi juga para dokter dari luar negeri.
Ketika si kembar berumur empat bulan, para ahli bedah saraf anak (paediatric neuro surgeon) yang dipimpin oleh Profesor Mario Brock dari Berlin, Jerman, bersama Profesor Becks dari Universitas Groningen, Belanda, berkunjung ke Jakarta. Mereka didampingi oleh Menteri Pendidikan Belanda, Deeyman. Di sini mereka meminta saya memutar ulang rekaman operasi dan menjelaskan strategi dan prinsip yang dipegang dalam operasi tersebut.
Inti operasi pemisahan kembar siam adalah membelah selaput otak yang menempel di antara kedua otak bayi. Pembelahan selaput setipis kertas itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kedua sisinya tidak rusak. Sebab, pada sisi ke arah dalam otak bayi ada pembuluh balik induk, yang bila mengalami cacat atau rusak dapat menimbulkan kematian.
Pemisahan ini seperti membelah uang kertas, tanpa merusak gambar pada masing-masing sisi. Membelah selaput otak sudah menjadi pekerjaan rutin bagi dokter bedah saraf, karena tindakan semacam itu selalu diperlukan pada jenis cacat bawaan yang disebut craniostenosis.
Prinsip dasar operasi yang saya terapkan pada prinsipnya tidak berbeda dengan prinsip yang dianut secara umum di negara-negara Barat. Prinsip saya lebih mengandalkan ketelatenan, ketepatan waktu operasi, dan logika medis. Saya percaya, operasi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada pasien. Umur sehari pun boleh. Dan saya juga lebih suka membiarkan selaput otak luar membentuk lapisan tulang kepala sendiri ketimbang membuat tulang buatan.
Belakangan, cara ini diakui oleh para dokter bedah dunia dan disebut sebagai Prinsip Padmosantjojo. Begitu tinggi apresiasi yang diberikan oleh para ahli bedah terhadap ”temuan” saya itu, sehingga saya diberi kesempatan melakukan presentasi dalam pertemuan ahli bedah saraf dunia di Marrakesh, Maroko, pada 2005. Saat itu si kembar sudah berumur 18 tahun dan hidup sehat.
Kunjungan para ahli bedah Universitas Groningen ternyata menyisakan ”kejutan”. Setelah mendapat penjelasan proses operasi kembar siam, para ahli bedah internasional itu kembali ke negaranya. Tak berselang lama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan langsung memanggil anggota tim pembedahan yang jumlahnya mencapai seratusan orang itu.
Saya ikut dipanggil oleh Fuad Hassan. Sebelumnya, Menteri Kesehatan dan Presiden Soeharto tidak pernah memberikan tanggapan atas hasil operasi si kembar. Mereka menganggapnya biasa dan bukan prestasi besar dunia kedokteran Indonesia. Ketika saya menemui Fuad, ia segera memulai pembicaraan. ”Padmo, sewaktu saya bertemu kolega saya dari Belanda, saya malu,” katanya. Saya menduga, para ahli bedah itu menyampaikan informasi buruk saat berpamitan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Maka saya memilih diam.
”You diminta jadi profesor di Groningen, Holland,” ujar Fuad. ”Apa you pikir saya tidak bisa mengangkat you jadi profesor di sini?” Mendengar ucapan itu, seketika saya merasa lega. Tapi, dalam batin saya berkata, ”Kalau mau mengangkat jadi profesor, ya, enggak usah cerita macem-macem.”
Seolah membaca pikiran saya, Fuad Hassan langsung minta persetujuan Rektor Universitas Indonesia Prof Sujudi dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Prof Harsja W. Bachtiar. Mereka setuju, dan Fuad langsung menghubungi Biro Hukum Departemen untuk mengurus pengangkatan saya sebagai guru besar.
Saya kemudian diangkat sebagai profesor di Universitas Indonesia, meski masih berpangkat IIID atau asisten ahli. Padahal, saat itu seorang calon guru besar harus sudah mencapai pangkat IVC. Barangkali, karena menerabas jalur itu, surat keputusan pengangkatan sebagai mahaguru, yang tertanggal 1 April 1988, baru saya terima pada awal 1989. Begitu kontroversialnya keputusan itu bagi pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat itu. Padahal, surat keputusan mahaguru lain, yang ditandatangani bersamaan dengan keputusan saya, sudah turun lebih awal.
Beberapa tahun setelah itu, menjelang peringatan 17 Agustus 2003, saya mendapat undangan dari Sekretaris Militer Presiden. Saya diberi tahu mendapat kehormatan menjadi salah satu penerima penghargaan negara pada ulang tahun kemerdekaan ke-58. Bersama dua belas orang lainnya, saya dianugerahi penghargaan Bintang Jasa Utama. Penghargaan itu sekaligus menjadi obat kesedihan saya, karena per 1 Maret 2003, saya harus pensiun. Namun ternyata akhir tahun itu juga saya menerima surat keputusan Menteri Kesehatan, yang memperpanjang usia pensiun saya menjadi 70 tahun.
Pada 19 Desember 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan kepada sejumlah pihak, institusi dan pribadi, yang dianggap berjasa besar di bidang kesehatan. Saya dianugerahi Ksatria Bhakti Husada, penghargaan tertinggi di bidang kesehatan, bersama sejumlah kalangan.
Kendati sudah melewati masa pensiun, bukan berarti kesibukan saya berkurang. Saya masih mengajar para dokter muda dan memimpin bagian bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Belum lagi tanggung jawab sebagai anggota Konsorsium Ilmu Medis (Consortium of Medical Sciences) yang mengatur pendidikan para dokter spesialis.
Namun, waktu praktek yang saya lakukan di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, selama 40 tahun lebih, saya kurangi. Sekarang hanya dua kali seminggu. Praktek saya ini tidak komersial, malah lebih banyak gratisnya. Untungnya, kesehatan saya baik. Bahkan saya masih menyetir mobil sendiri dan mengoperasi pasien.
Barangkali ini berkat kebiasaan saya berolahraga. Bahkan di usia 69 tahun, saya masih bisa menjadi juara pertama lomba lari 10 kilometer untuk kategori usia 40 tahun ke atas yang diadakan Universitas Indonesia. Kesibukan itu membuat saya kerap dikritik istri dan anak semata wayang di rumah. ”Kerja terus, memangnya mau cari bintang penghargaan?” kata mereka berdua. Saya diam saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo