"ITU sih becanda sadis," ujar Anindito, 23 tahun, tentang
berita ngawur mengenai kematian bapaknya, Sri Sultan Hamengku
Buowno IX. Mahasiswa ITB itu ditemui TEMPO ketika kebetulan lagi
libur di Jakarta -- di sekitar hari ketika RRI menyiarkan berita
yang segera dibetulkan itu, akhir pekan lalu.
Memang, sudah banyak yang sempat terkecoh -- oleh si penelepon
'iseng' yang mengaku bernama Dr. Sukartono MPCH dari rumah sakit
Pertamina itu. Di beberapa tempat bendera setengah tiang sempat
berkibar. Dan kartu serta bunga dan ucapan belasungkawa
dikirimkan orang pula ke Jalan Mendut -- menurut orang rumah
itu.
Sultan sendiri, yang segar bugar, mendengar berita tersebut
hanya tertawa. "Karena kaget, saya tertawa," katanya kepada
TEMPO. "Saya tak tahu siapa yang melakukan dan apa maksudnya."
Tapi tak kurang dari 3 orang menteri senewen dibuatnya. Menteri
PPLH Emil Salim, dari tempatnya mengajar, Fakultas Ekonomi UI,
Salemba, buru-buru datang ke rumah Sultan.
Menhankam M. Jusuf pun datang ke RS Pertamina. Yang lebih
'dramatis' yang dialami Menteri Kesehatan Suwardjono
Surjaningrat. Pagi ia hendak berapat kerja dengan Komisi VIII
DPR. Kabar tentang kecelakaan kendaraan Sultan yang
mengakibatkan kematiannya itu di gedung parlemen sudah beredar.
Sidang ditunda -- dan mereka mengheningkan cipta.
Menteri PAN Sumarlin, yang juga muncul di DPR pun nyaris
terkecoh. Untung Sabam Sirait yang akan memimpin rapat kerja
Komisi II dengan Menteri PAN, sebelum memasuki ruangan bertemu
dengan Dirjen Pers & Grafika Sukarno. "Dari dia saya mendapat
kepastian berita itu tidak benar," katanya. Dan ia semakin yakin
setelah Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara AE
Manihuruk datang. Manihuruk bertetangga dengan Sultan.
"Untung Komisi III tidak mengheningkan cipta juga," kata
Sulaeman Tjakrawiguna, Wakil Ketua komisi tersebut yang pagi itu
pun akan mengadakan raker. Kalau sampai terjadi, "saya kira
harus ada pembetulan mengheningkan cipta."
Dalam pada itu di Yogya, GBPH Hadisuryo, putera Sultan, kaget
juga. Berita itu sampai ke padanya ketika Makowilhan II
menelepon keraton. Kontan ia menelepon Jakarta -- dan diterima
sang ayah. Tapi, "kami repot juga menjawab pertanyaan warga kota
yang tak putus-putusnya datang ke mari," katanya. Untunglah,
siangnya RRI Yogya dan beberapa radio swasta menenangkan rakyat
Sultan dengan menyiarkan pembetulan berulang-ulang.
RRI Jakarta sendiri sudah lebih dulu melakukan pembetulan itu.
Penyiar Maryono membacakannya -- atas berita yang disiarkan
Sigit Kamseno pukul 8 pagi tersebut -- satu jam kemudian. Bahkan
M. Sani, Direktur Radio, seperti dituturkannya kepada TEMPO
merasa perlu datang kekanlor Sultan di Jalan Prapatan -- untuk
menemani wartawan RRI mewawancarai bekas Wakil Presiden itu.
Dirjen Radio-Televisi-Film Drs. Sumadi pun atas nama Menteri
Penerangan dan Deppen meminta maaf kepada Sultan dan seluruh
keluarganya -- secara tertulis, dan lewat RRI/TVRI.
Sementara itu Syarifuddin, petugas senior di Subdit Pemberitaan
RRI, yang meloloskan berita itu tanpa sempat mengeceknya lagi --
dan sempat pingsan setelah tahu duduk perkaranya -- mengakui
kesalahannya. Ia bersedia mempertanggungjawabkannya dan mau
menerima hukuman macam apa pun. Bahkan serentak mengundurkan
diri dari jabatan. Mengharukan, memang, walaupun ia jelas salah.
Entah siapa yang punya udang di balik batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini