PENYAIR Rendra, 50, cerai. Kali ini dengan Taman Ismail Marzuki, Jakarta. "Saya sudah tidak percaya lagi kepada TIM. Lembaga itu manajemennya lemah, kecuali pada saat dipimpin Umar Kayam," ujarnya Jumat malam setelah melatih drama di markas Bengkel Teater di Depok, Bogor. Perang itu berawal dari batalnya pembacaan puisi Rendra di TIM yang rencananya berlangsung 16 sampai 18 Februari lalu. TIM dan DKJ menuduh Rendra lebih mementingkan hubungannya dengan impresarionya, PT Mitra Adisankha. Sponsor Rendra ini membatalkan acara, karena izin pentas baru diberikan TIM seminggu sebelumnya sehingga sponsor kesulitan mengumpulkan dana. Sementara itu, menurut Rendra, TIM tidak dirugikan dengan pembatalan ini. "Biaya pembuatan sebuah banner dan enam spanduk oleh TIM itu 'kan merupakan biaya rutin mereka," kata Rendra. Gayung bersambut. Pelukis Hardi, mewakili pihak TIM membeberkan jasa TIM sejak tahun 1969. "Rendra membaca sajak sebelas kali, pentas drama 18 kali, ceramah lima kali. Kalau dia jantan, harus diakui TIM banyak membantu dia," kata Hardi. Dengan tindakan Rendra ini, menurut Hardi, "Rendra bukan lagi resi, dia balik jadi seniman murahan." Murahan tentu tidak. Rendra tetap dibayar mahal. PT Artha Saphala sponsor Rendra yang lain membayar Rp 3 juta untuk membaca sajak di Yogya, Kamis pekan ini, dan menyediakan anggaran Rp 125 juta untuk persiapan dramanya yang pentas awal Juni. Tapi Rendra membantah dia sudah 100% komersial. "Untuk kegiatan sosial tanpa impresario, misalnya di UKI dulu, saya dibayar dua ekor domba," ujar Rendra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini