Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gita

Gandhi adalah seorang yang menentang kekerasan, tapi ia justru membaca Bhagavad Gita yang mengakui kekerasan. Kesetiaannya kepada gita memberinya hak untuk mengubah. ahimsa adalah suatu tindak keberanian.

1 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GANDHI membaca Bhagavad Gita. "Bila keraguan menghantuiku", tulis Sang Mahatma di tahun 1925, "bila kekecewaan menatap wajahku . . . aku berpaling ke Bhagavad Gita." Dan Gandhi adalah seorang yang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk menentang kekerasan. Sesuatu yang ganjil, memang. Sebab kita tahu: Gita itu justru sebuah dialog yang memberi semangat di ambang perang dan pembantaian. Arjuna di atas kereta tempur. Krishna sebagai sais. Arjuna bimbang ia suara yang bertanya kenapa ia harus membunuh sanak-saudara. Krishna, yang bijak berkata-kata itu, adalah suara yang menjawab. Ia bicara tentang jiwa yang kekal dan tak akan binasa. Ia mengingatkan tugas seorang kesatria yang harus dijalankan. Dan akhirnya Arjuna pun mengerti, "Aku berdiri tegak, tak lagi ragu/Oh, Acuta, aku 'kan bertindak, seperti Sabda-Mu". Lalu kereta itu menderu maju. Arjuna akhirnya membunuh Karna, saudaranya seibu -- dan perang antarkeluarga Bharata itu pun berlanjut terus dengan pertumpahan darah yang mengerikan. Gandhi membaca Gita dan menafsirkannya dalam kerangka pikiran seorang yang menentang kekerasan. Mungkin karena itu pula ia dihormati tanpa sepenuhnya dipahami. Bagi orang lain, Gita justru mengakui kekerasan sebagai sesuatu yang kadang-kadang tak terelakkan, sesuatu yang keji tapi niscaya. Bahkan pembunuhan bukan sesuatu yang teramat perlu disesali. Bukankah, seperti tercantum dalam seloka ke-30, Percakapan Kedua, jiwa, yang menghuni badan setiap orang "tak akan dapat dibunuh?" Dan karena itu, kita "jangan duka/atas kemtian makhluk mana pun?" Barang siapa yang membaca Gita dengan pandangan yang berbeda dari Gandhi memang akan heran, bagaimana ia, tokoh gerakan tanpa kekerasan, dapat ilham dari kitab ini. Kecuali bila Gandhi justru bersikap sebagai Arjuna dalam Percakapan Pertama: aku tak hendak membunuh mereka sekalipun mereka bunuh aku, o, Krishna Tapi tidak. Sebagai pembaca Gita yang baik, Gandhi tak mengambil sikap Arjuna. Ia mengikuti Krishna, yang baginya merupakan "Sang Penghuni dalam batin, yang selalu berbisik kepada sebuah hati yang murni ... " Dengan kata lain, ia mengikuti Krishna, yang mendorong manusia dari keadaan ragu dan tak berbuat. Hanya, dalam tafsir Gandhi, Gita bukanlah cerita tentang perang yang sebenarnya. Gita adalah sebuah alegori: Bharatayudha itu cuma lambang "perang tanding yang terus-menerus berlangsung dalam hati manusia", tulis Sang Mahatma. Saya tidak tahu adakah dengan demikian Gandhi penafsir yang benar. Louis Fischer, yang membuat riwayat hidup Gahdhi di awal 1950-an, hanya menyebut bahwa bagi Gandhi, "kesetiaannya kepada Gita memberinya hak untuk mengubah." Yang menakjubkan ialah bahwa dengan amendemen seperti itu, Gandhi berbicara dengan gema yang lebih menggetarkan ke mana saja mungkin juga sampai ke Pilipina, di hari-hari ini. Barangkali karena ia bisa membuktikan bahwa tindak tanpa kekerasan, ahimsa, adalah tindak keberanian. Ia tak gentar menyongsong kemungkinan dibunuh, ketika, dengan ahimsa, ia mencoba mendamaikan permusuhan antara umat Hindu dan Muslim. Kita tahu ia akhirnya tewas, menyebut nama Tuhan lalu dunia sadar sejenak: ternyata seseorang dapat secara teguh dan berani mengatasi kebencian. Ia dengan demikian membuktikan potensi manusia untuk memuliakan manusia. Dan memuliakan manusia -- ciptaan Tuhan yang ternyata tak amat jelek itu berarti memberikan harapan yang berarti untuk menerima hidup dan memeliharanya. Tapi apakah itu juga pesan Bhagavad Gita bagi orang lain? Seseorang pernah mencatat, selama 3.421 tahun terakhir yang tercatat dalam sejarah, hanya masa 268 tahun yang tanpa peperangan. Begitu banyak yang binasa, tapi orang bisa juga mengatakan bahwa hidup akhirnya toh harus meninggalkan bumi dan badan. Dalam kancah yang dahsyat itu kita bisa yakin bahwa ada mereka yang merasa menjalankan kewajiban seperti yang difatwakan Krishna: bertempur, untuk apa yang dianggap "menegakkan kebenaran" -- mungkin tanpa mempedulikan suka dan duka, laba dan rugi, kalah dan menang. Barangkali orang-orang itu telah menarik picu bedil dan merobohkan sejumlah orang yang bahkan tak mereka kenal. Tanpa perasaan. Jangan heran bila esok ada yang menekan sebuah tombol di ruang yang sejuk, dan sebuah rudal nuklir meluncur, lalu sebuah negeri hancur karam. "Setelah membunuhi putra Destarasta, kebahagiaan apakah yang kita nikmati, o, Janardana?", tanya Arjuna kepada Sang Guru. Untuk perang Bharatayudha, Krishna telah menjawab. Untuk sengketa hari ini dan esok, siapa yang tahu? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus