Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Dari politik ke kebatinan

Surastri karma trimurti (bu tri) mengisahkan hidupnya sebagai tokoh pergerakan nasional. mengaku sebagai murid bung karno. salah satu pendiri gerwani. akrab dengan kebatinan. menerbitkan "mawas diri".

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI HARI, 17 Agustus 1945. kawan-kawan saya datang beramai -ramai menjemput. "Yu Tri, ayo ke Pegangsaan Timur 56, ke rumah Bung Karno untuk mendengarkan proklamasi," kata salah seorang. "Mengapa tidak ke lapangan Ikada seperti rencana semula?" "Ah, diam sajalah dulu. Di lapangan Ikada sudah banyak serdadu Jepang dengan senjata lengkap. Nanti kita ditembaki kalau ke sana." Segera saya berangkat ke Pegangsaan Timur. Jam 10 pagi, saya lihat sudah banyak orang berkumpul. Saya tak sempat lagi bertanya-tanya mengapa tempat proklamasi beralih sebab keterangan kawan-kawan agaknya masuk di akal. Apalagi saya lihat masih banyak kawan-kawan yang membawa kelewang dan senjata tajam lainnya. Mereka terutama dari Klender. Segalanya berjalan spontan, tanpa persiapan. Ketika kami berbaris, sempat juga saya lihat orang. orang Belanda di kiri -kanan rumah Bung Karno mereka mengintip dari pagar. Mereka menyaksikan tingkah laku kami dengan sikap melecehkan. Barangkali mereka menyangka kami sedang bermain-main. Mereka melempar senyum ngenyek, mengejek. Tapi saya tak peduli. Tak lama kemudian Bung Karno, Zus Fatmawati dan Bung Hatta datang. Pakaian dan wajah mereka sama lusuhnya karena semalam suntuk tidak tidur. Tiba-tiba, tanpa komando apa-apa, suasana jadi hening. Dan tibalah saatnya sang Dwiwarna dikerek. Kami saling memandang. Tak ada persiapan siapa yang harus mengerek bendera itu. "Yu Tri kerek bendera itu," kawan-kawan mendorong "Ndak mau. Lebih baik Saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia kan dari Peta," tampik saya. Saya kira, pejuang seperti Latief lebih layak untuk maju karena dialah yang bertempur di medan juang. Maka, Latief pun maju mengerek bendera Merah Putih, didampingi Soehoed Sastrokoesoemo. Saya berjejer dengan Zus Fatmawati, berdiri di depan bendera, berhadap-hadapan dengan Bung Karno dan Bung Hatta -- yang berdiri di beranda yang letaknya lebih tinggi dari kami. Hati saya berdebar-debar ketika melihat sepotong Merah Putih jahitan Zus Fat itu berkibar. Teks Proklamasi yang diketik oleh suami saya itu akhirnya dibaca oleh Bung Karno dengan suara rendah, perlahan-lahan, dan khidmat. * * * Perempuan, mau tak mau, pada akhirnya akan menjadi seorang istri. Dan sebagai istri, ia harus setia, apa pun yang dilakukan oleh suaminya. Demikian salah satu ajaran ayah saya, R. Ng. Salim Banjaransari Mangunsuromo, dan ibu saya R.A Saparinten Mangunbisomo. Ini adalah pola pendidikan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Dan ajaran tersebut harus saya terjemahkan bahwa perempuan bukan hanya ditakdirkan menjadi istri dan ibu, tapi juga makhluk yang pandai memasak, memilih bahan makanan yang bergizi, serta berbelanja ke pasar. Marak, macak, masak, dan manak. Itulah pelajaran utama saya sejak saya lahir 78 tahun silam di Kotagede, Yogyakarta, 11 Mei 1912. Marak, artinya menghadap, mengabdi kepada suami. Macak, berarti menghias diri masak, mengolah dan menyediakan makanan dengan baik, sedang manak adalah melahirkan anak. Ketika petuah-petuah semacam itu meluncur dengan derasnya ke telinga saya, saya masih terlalu kecil untuk membantah. Sebelum masuk sekolah saya ingat betapa nikmatnya berlari-lari di bibir sungai tanpa beban apa-apa. Saya ingat pengalaman saya bertemu dengan makhluk halus di tengah kegemaran saya mengintip orang. Suatu sore, saya melihat ada seorang perempuan berkebaya menyelinap masuk ke dalam kamar kecil yang terbuat dari bambu. Saya berjongkok di muka sebuah ruas bambu untuk beberapa lama. Tiba-tiba, saya melihat benda seperti lidah, yang warnanya merah, menjulur keluar dari ruas-ruas batang bambu itu. Aneh sekali. Terengah -engah saya berlari pulang. Untuk beberapa lama saya tak berani menceritakan pengalaman itu kepada siapa pun. Kemudian, suatu sore karena asyiknya bermain petak umpet, matahari telanjur tenggelam. Saya pulang sendirian melalui lorong-lorong kecil dengan pohon-pohon besar di kiri-kanan jalan. Tiba-tiba terdengar ada sesuatu yang jatuh berdebam. Saya kira itu buah nangka. Ternyata, sosok hitam kecil yang makin lama makin besar hingga ukurannya mencapai setinggi pohon nangka. Saya lari sekuat-kuatnya. Akhirnya, tak tahan menyimpan pengalaman-pengalamam aneh ini, sambil membatik, saya ceritakan semua pengalaman aneh itu. "Itu memang suatu kemampuan yang hanya dimiliki almarhum kakekmu. Ternyata, kemampuan melihat badan halus itu diturunkan kepadamu," kata Ibu menyimpulkan. Menurut beliau, salah seorang nenek moyang saya yang pernah bertapa di tepi Segoro Kidul (Samudera Selatan) didatangi putri jin. "Mereka kawin dan putri itu mengandung," cerita Ibu. "Anak mereka berupa manusia biasa, tapi lengkap dengan kemampuan-kemampuan yang tak dimiliki orang normal. Anak inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal yang menurunkan kita...." Mungkin karena saya percaya bahwa kami semua keturunan "indo" (campuran antara bangsa manusia dan bangsa lelembut alias makhluk halus), maka saya percaya pula akan kekuatan makhluk halus. Keyakinan saya tentang makhluk halus itulah yang membuat minat saya berkembang pada soal-soal kebatinan. Bagi saya kebatinan bukanlah sesuatu yang "dimulai", tetapi satu "pemberian" yang menyatu dalam diri seseorang. Kenang-kenangan saya bertemu dengan "mereka" terbawa terus hingga saya masuk Tweede Inlandsche School yang biasa disebut Sekolah Ongko Loro. Ayah mengharuskan saya masuk Meisjes Normaal School, Sekolah Guru Wanita di Jebres, Solo. Ia menganggap guru adalah jabatan yang sesuai untuk perempuan. Saya sendiri melihat segi baiknya menjadi guru. Pada 1930, saya langsung diangkat jadi guru di tempat saya belajar. Karena saya merasa agak risi mengajar di sekolah itu, saya dipindahkan di Sekolah ongko Loro di Alun -Alun Kidul. Tak lama kemudian dipindahkan lagi ke Banyumas, mengajar di sekolah khusus untuk anak-anak perempuan yang biasa disebut Meisjesschool. Selama mengajar, saya semakin akrab dengan buku-buku. Tapi saat itu saya lebih memusatkan perhatian pada buku-buku politik. Saya sangat prihatin terhadap situasi kolonialisme di negara kita. orang-orang Indonesia bukan saja sudah kehilangan kekayaan, tapi juga kehilangan kemerdekaan berpikir dan berpolitik. Mulai tahun 1930-an itu saya menyaksikan sendiri bagaimana Belanda memperlakukan rakyat Indonesia. Betapa sombongnya gaya mereka memanggil kami. Inlanders -- ini adalah terminologi yang sangat diskriminatif. Saya tak tahan, di Banyumas saya mulai tergugah untuk belajar berorganisasi. Sementara menjadi anggota Rukun Wanita, saya juga sering hadir dalam rapat-rapat Budi Utomo cabang Banyumas. Bertemu dengan Bung Karno Perkenalan awal saya dengan Bung Karno melalui pidato -pidatonya yang menggelegar di radio dan koran-koran. Waktu itu, ia baru saja keluar dari penjara Sukamiskin, di Bandung. Begitu keluar, Bung Karno menghadiri Kongres Indonesia Raya yang pertama di Surabaya. Ia menyatakan kekecewaannya bahwa, selama ia dalam penjara, Partai Nasional Indonesia (PNI) terpecah jadi dua. Meski Bung Karno berjanji akan menyatukan kedua golongan tersebut, akhirnya ia memilih menjadi anggota Partindo (Partai Indonesia). Hanya dalam waktu singkat Partindo berkembang menjadi partai besar. Dari Suprapti, tamatan Sekolah Normal Perempuan di Yogya, saya mendengar Bung Karno akan mengadakan rapat umum di Purwokerto. Maka, dari Banyumas, kami berdua naik dokar menuju Purwokerto. Ketika kami sampai, gedung pertemuan itu sudah penuh sesak. Kami hanya kebagian tempat duduk di belakang. Meski Bung Karno berpidato tanpa alat pengeras suara, kami masih bisa mendengar suaranya yang membahana. Bukan main pidato itu. Ia tahu betul di luar ada polisi rahasia Belanda, PID (Politieke Inlichtingen Dienst), dan antek-antek Belanda lainnya. Tapi dengan beraninya ia bicara soal kolonialisme dan imperialisme, serta akibat-akibatnya bagi Indonesia. Ia juga menekankan bahwa hanya kita, sebagai bangsa terjajah, yang mampu membebaskan diri dari kekangan penjajah. Berkali-kali kalimat Bung Karno diguyur tepukan riuh. Sepulang dari rapat umum itu, saya merenung. Saat itulah saya tergugah ikut bergabung dengan Partindo. Berarti saya harus melepas jabatan saya sebagai guru. Suprapti pun menyatakan keinginannya yang sama. Tak lama kemudian, saya mendapat kabar bahwa Partindo akan menyelenggarakan rapat besar para wanita, dan saya diminta jadi pembicara. Makin bulatlah tekad saya. Apalagi ada anggota polisi PID menyatakan, ia bersedia berjuang bersama saya asal saya menerima cintanya. Waduh, kaget juga ada polisi Belanda jatuh cinta pada saya yang begitu anti pada penjajah. Saya menolaknya secara baik-baik. Di Bandung saya memulai perjalanan politik dengan sungguh -sungguh. Untuk api tungku saya mengajar di Perguruan Rakyat, sekolah swasta yang dipimpin oleh pujangga Sanusi Pane. Mulailah pertemuan saya dengan Bung Karno. Saya ditempatkan di sebuah rumah yang disediakan bagi para kader Partindo. Selain Suprapti, saya juga berbagi pengalaman dan rasa perjuangan dengan Sukaptinah, Subiyono, dan Nyonya Maskoen. Tempat kediaman kami di Jalan Astana Anyar no. 66/21 itu lebih mirip asrama daripada rumah. Kami semua ikut kader kursus politik yang digembleng antara lain oleh Bung Karno dan Mr. Sartono. Selain itu, murid-murid Bung Karno adalah Asmara Hadi, Wikana, Soepeno, Sukarni, dan Goenadi. Kami memang sengaja tak ingin banyak anggota karena Belanda selalu mencurigai rapat-rapat gelap. Kursus diadakan pada malam hari selama beberapa kali dalam seminggu karena siang hari kami mencari nafkah. Kursus itu bisa berjalan, antara lain karena kami semua mengumpulkan iuran. Entah setalen atau sepicis, yang penting semangat belajar dan juang kami. Salah satu ajaran Bung Karno yang selalu saya ingat ialah tentang machtsvorming atau penyusunan kekuatan. Menurut Bung Karno, salah satu sebab kemiskinan dan penderitaan bangsa Indonesia ialah karena eksploitasi penjajah. Hanya dengan machtsvorming kita akan mampu bersatu dan mengusir penjajah. Saya semakin mengagumi tokoh satu ini karena dia sangat nonkooperatif. Karena itu, kami semua juga emoh duduk dalam dewan-dewan bikinan Belanda, misalnya Volksraad, Dewan Rakyat. Selain sebagai murid, saya juga bertetangga dengan Bung Karno. Saat itu Bung Karno sudah menikah dengan Bu Inggit, dan saya selalu dianggap seperti adik. Saya kira perjalanan jurnalistik saya pun dimulai oleh kepercayaan Bung Karno. Saya ingat ketika ia meminta saya mengisi mingguan Fikiran Ra'jat yang dipimpinnya. "Tri, ayolah nulis," katanya. Saya terdiam. Menulis di majalah politik populer Fikiran Ra'jat tidak mudah. Penulis di majalah itu orang-orang terkenal. Saya pun menampik, "Saya ndak bisa." Tapi Bung Karno selalu keras, "Harus bisa," katanya. Saya jadi ikut bersikeras belajar membentuk kalimat. Betapa bahagianya ketika karangan saya yang pertama dimuat. Di Rapat Umum Wanita saya berbicara dengan penuh kobaran api. Saya berbicara soal antipenjajahan. Mungkin karena masih muda, cara saya sangat menggebu-gebu. Saat itu juga polisi PID menyuruh saya berhenti. Suasana jadi tegang. Saya turun dari podium. Keesokan harinya saya diinterogasi. Tapi polisi yang bertubuh besar dan bertampang bengis itu ternyata baik. Dia menyuguhi saya kue dan minum dan memperlakukan saya seperti anaknya. "Sudahlah, jangan ikut-ikut Soekarno. Jadi pegawai negeri saja," katanya sambil menyodorkan piring kue. Saya memakannya, tapi tidak mendengarkan ucapannya dengan sungguh-sungguh. "Pidatomu itu dibikinkan oleh Soekarno, ya?" Saya menggelengkan kepala sambil mengunyah kue. Seandainya dari Bung Karno, ia tak akan segegabah saya. Beliau akan lebih berhati-hati. Rupanya, polisi itu tak tega memasukkan saya ke penjara. Ia hanya memberi peringatan keras. Tiga bulan setelah itu, sepucuk surat keputusan melayang dari pemerintah Hindia Belanda, ditandatangani oleh Asisten Residen Bandung. Isinya melarang saya mengajar untuk waktu yang tidak ditentukan karena saya dianggap bisa mengganggu ketertiban umum. Saat itu, bulan Agustus 1933, Bung Karno ditangkap lagi dan ditahan di penjara Sukamiskin, dan Fikiran Ra'jat tak boleh terbit. Selain itu, Partinda dilarang mengadakan rapat. Orang -orang Partinda dikenai larangan untuk berkumpul lebih dari tiga orang, kegiatan partai dilumpuhkan. Namun, semangat kami tidak lumpuh. Kami tetap berusaha bertemu dengan cara apa pun, dan saling mengirim informasi. Saya kehilangan mata pencarian. Untuk sementara, saya tinggal di rumah Bu Inggit. Pada 1934 saya memutuskan kembali ke rumah orangtua saya di Klaten. Hanya beberapa saat, saya sudah merasa seperti orang asing di tengah keluarga sendiri. Pembicaraan antara orangtua dan saya tak pernah mencapai titik temu. Ayah sering bercerita tentang kebesaran raja-raja Jawa dan tak bisa menghindarkan diri dari rasa bangga karena beliau memang keturunan raja. Suatu siang, di tahun 1935, ketika semua orang rumah sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing saya berpamitan kepada Ibu. Tujuan pertama saya Solo. Di sana saya menginap di rumah seorang wanita, teman seperjuangan. Tetapi, sanak keluarga saya yang tinggal di Solo mencium gerak-gerik saya. Salah seorang paman saya adalah pamong praja. Bersama Ayah, yang datang dari Klaten, paman saya datang membujuk pulang dan tinggal di rumah baik-baik. Karena saya menghormati orangtua, saya kabulkan keinginan mereka. Penjara Tapi tahun 1936, dengan uang 50 sen di kocek saya "minggat" lagi. Saya tinggalkan saja sebuah surat dan saya pergi dengan buntelan kecil berisi pakaian secukupnya. Kali ini, saya merasa lebih aman untuk menyalurkan kegiatan politik saya di Yogyakarta. Saya menginap di rumah Ibu Sri Panggihan, seorang aktivis Partindo yang sangat terkenal. Sri Panggihan sangat berperan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah seorang keluarga Pakualaman dan bersuamikan seorang pangeran yang memberinya putra R.M. Slamet Kusumoyudho. Hidupnya sebagai selir tidak membahagiakannya. Ia minta cerai. Suasana Yogya sebenarnya lebih ketat daripada Solo. Polisi PID tak pernah absen berjalan melalu rumah Sri Panggihan. Selain mereka harus mengecek jangan sampai ada rapat gelap Partindo, para polisi PID tahu bahwa Sri Panggihan adalah ketua organisasiMardi Wanita yang sudah dilarang. Sri Panggihan dan kawan-kawannya pernah tertangkap basah ketika mengadakan pertemuan di tengah sawah. Mereka masuk penjara selama 50 hari. Sri dan saya mendirikan Pengurus Besar Marhaeni Indonesia (PMI) yang merupakan onderbouw Partindo. Anggota Mardi Wanita pun banyak yang masuk ke dalam PMI. Sri menjadi ketua dan saya diangkat menjadi wakil. Kegiatan utama PMI adalah mendidik anggota-anggotanya tentang pemikiran politik. Kami tak semata -mata mengurus "urusan wanita". Titik berat perkumpulan ini adalah: mencapai kemerdekaan. Selain giat berpolitik, kami juga merasa perlu mendirikan sebuah majalah untuk menyuarakan perjuangan kami. Kawan-kawan menganggap saya sudah berpengalaman maka saya menjadi pemimpin redaksi majalah yang kami namakan Soeara Marhaeni itu. Meskipun kami menyatakan bahwa majalah ini untuk kepentingan kaum perempuan, tapi sebenarnya sebagai perjuangan nasional dalam merebut kemerdekaan. Pada waktu menangani majalah inilah, ide nama Trimurti muncul ke permukaan. Jika nama asli saya, Surastri, yang dicantumkan sebagai pemimpin redaksi, tentu akan menyulitkan orangtua saya karena majalah itu adalah majalah perjuangan. Saya juga ingat pernah menggunakan nama Karma sebagai nama samaran ketika saya menulis kecil-kecilan semasa di Solo. Karena itulah saya memutuskan untuk menuliskan nama saya sebagai S.K. Trimurti yang kepanjangannya adalah Surastri Karma Trimurti. Entah dari mana saya memetik nama akhir itu. Akhirnya, saya memang lebih dikenal dengan nama Trimurti, dan lama-kelamaan orangtua saya toh mengetahui siapa di balik nama samaran tersebut. PMI harus berkongres di tahun 1935. Karena situasi politik masih tak memungkinkan kami berkumpul ramai-ramai, kami memutuskan untuk mengganti pengurus. Saya terpilih sebagai ketua pengurus besar baru dan kantornya dipindahkan ke Semarang. Sebelum pindah saya memilih Sutarni sebagai sekretaris. Setahun kemudian kami pindah ke Semarang, tinggal pada keluarga Dullah Sayuti. Kami, sengaja tak memilih anggota pengurus secara lengkap karena akan lebih aman. Tekanan Belanda makin bertubi-tubi sehingga kami berdua merasa harus beraksi. "Bagaimana caranya menyebarluaskan cita-cita perjuangan kemerdekaan pada rakyat banyak?" tanya saya kepada Sutarni dengan hati gundah. "Itu gampang," jawab Sutarni, "kita bikin pamflet gelap. Lalu disebarkan malam hari." Saya setuju. Kami mengetik atau mencetak pamflet dengan menggunakan agar-agar. Tempat pembuatannya di tengah kuburan Cina, malam hari ketika bulan purnama. Kami memilih kuburan Cina Wonodri karena kuburan itu selalu ada sela tanah yang bisa dimasuki. Ketika terang tanah, matahari menyundul-nyundul, kami sudah didatangi dua orang polisi PID. Aduh, buru-buru saya lemparkan bungkusan pamflet itu, tapi tak berhasil. Bungkusan-bungkusan itu hanya mendarat di atas almari dan kedua polisi PID sudah telanjur berada di muka pintu rumah. Kami segera tahu, ada orang yang melapor. Dan yang menyakitkan, pelapornya adalah orang Indonesia. Kami berdua ditangkap dan barang bukti disita. Untung, saya masih sempat berbicara empat mata dengan Sutarni. "Ni, biar saja saya yang tanggung sendiri dan katakan saja kau tak tahu -menahu soal pamflet itu." Maksud saya biar Sutarni bisa meneruskan kegiatan itu selama saya dipenjara. Sutarni menurut. Ia dibebaskan dari tahanan dan saya anjurkan agar ia kembali ke Yogyakarta. Saya mendapat hukuman sembilan bulan penjara. Karena dianggap tahanan politik, saya ditahan di sel yang agak terpisah di penjara wanita Bulu di Semarang. Saya ditempatkan di tata usaha kepenjaraan. Kamar penjara itu berjendela besar dan berterali besi. Pintu masuknya sangat tebal dan memiliki dua macam kunci, kunci gembok dan kuncl biasa. Suatu hari, saya mendapat tetangga baru. Dia seorang wanita Indonesia yang menikah dengan orang Belanda, karena itu perlakuan terhadapnya sangat berbeda dengan penghuni lain. Barulah saya sadari kamar penjara yang saya tempati sebenarnya untuk narapidana Belanda. Baru saya tahu betapa mencoloknya diskriminasi antara penjara bagi warga negara Indonesia dan Belanda. Bayangkan, orang-orang Indonesia diberi dipan kayu beralas tikar, tanpa bantal, seragam sarung lurik, dan baju kurung. Sementara itu, penghuni penjara Belanda tak peduli berapa tinggi tingkat kejahatan mereka, mendapatkan sarung dan baju putih yang baru. Kamar bersih dengan jendela bergorden, lengkap dengan tempat tidur, kasur, bantal berseprei putih. Lebih menyakitkan lagi, saban minggu seprei dan gorden mereka diganti dengan rutin. Para penghuni penjara Indonesialah yang mencucikannya. Makanan kami pun dibedakan. Orang-orang Belanda menikmati sarapan roti dengan susu atau kopi panas. Siang hari mereka mendapat makanan rantangan. Kami harus puas dengan singkong tumbuk untuk sarapan serta nasi merah yang tak jarang tercampur potongan karung goni serta sayur yang dimasak sekaligus dengan akarnya. Begitu saya dibebaskan, Sutarni dan saya gia berkeliling mengunjungi cabang-cabang PMI. Selama di Semarang, untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami bekerja di percetakan kecil milik Suwondo dan teman-teman seperjuangan lainnya. Percetakan ini akhirnya menerbitkan majalah Suluh Kita yang terbitnya cukup rutin. Pada saat kegiatan saya memuncak di Suluh Kita saya juga diminta Mashud Hardjokusumo untuk ikut membantu harian Sinar Selatan. Bertemu dengan Sayuti Melik Adalah seorang pemuda bernama Mohammad Ibnu Sayuti. Saya sudah lama mendengar nama itu sejak Belanda membuangnya ke Boven Digul. Dari kawan-kawan seperjuangan, saya juga mendengar bahwa seusai periode Digul, Sayuti sempat menyamar menjadi kuli pelabuhan di Malaya da Singapura. Sambil menjadi pekerja pengangku barang, Sayuti menyusun kekuatan dalam mengha dapi kekuatan imperialis. Namun, karena kegiatannya ketahuan polisi Inggris, ia dipulangkan kembal ke Indonesia. Ketika Sayuti tiba di Jakarta, tentu saja Pemerintah Hindia Belanda langsung melarangnya berpolitik. Sayuti yang penuh akal itu pindah ke Semarang. Di Semarang ia malah menyamar menjadi pedagang kain sementara tetap terlibat dalam pertemuan dan diskusi politik. Dalam salah satu acara diskusi itulah saya bertemu dengan Sayuti. Lucunya, karena ada dua orang yang bernama Sayuti di antara kami, maka ia lebih dikenal dengan nama Sayuti Melik, sementara Sayuti yang satu sering dipanggil Sayuti Melok. Saya sering terlibat dalam diskusi-diskusi strategi dan politik yang mengasyikkan dengan Sayuti. Kadang-kadang perdebatan itu menjadi sengit karena ada juga perbedaan pandangan kami dalam siasat perjuangan. Tapi saya senang sekali bertukar pikiran dengannya, dan terus terang, tak pernah terpikir bahwa dialah yang akan menjadi suami saya di kemudian hari. Caranya mengemukakan lamarannya pada saya juga meluncur begitu saja di antara perdebatan politik kami. "Kelihatannya kita bisa bekerja sama. Bagaimana kalau kau menjadi istri saya?" Saya terperangah mendengar pernyataan Yuti. Memang benar saya merasa cocok berdiskusi dengannya. Dan memang sejak dulu saya merasa jika suatu saat saya harus menikah, hendaknya calon suami saya itu adalah pejuang yang akan mengerti sepak terjang saya dalam kegiatan politik. Mungkin karena pertimbangan itulah saya menerima lamarannya. Saya tidak menengok lagi apa kata hati saya sehingga saya tak mementingkan segi emosi hubungan kami. Orangtua saya tak setuju dengan pernikahan kami. Saya maklum, orangtua saya sudah menyediakan calon. Ayah menganggap sebaiknya saya menikah dengan seorang pegawai negeri. Sementara itu, saya juga masih berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda karena soal delik pers. Salah satu artikel Yuti di Sinar Selatan menyinggung Pemerintah Belanda. Isi artikel tersebut hanya anjuran agar rakyat Indonesia tak usah mendukung Belanda seandainya Jepang berhasil menduduki Indonesia. Dan Jepang juga tak perlu dibantu jika mereka jadi penjajah. Yang penting bagi Indonesia adalah membantu dirinya sendiri untuk merdeka dari penjajahan manapun. Tulisan tersebut tak mencantumkan nama pengarangnya. Yang saat itu diinterogasi adalah Itami Hiraki yang bertindak sebagai Pemimpin Redaksi. Namun, karena Hiraki mengatakan saya juga bertanggung jawab atas pemuatan artikel itu, maka akhirnya saya ditangkap. Saya sudah berkonsultasi dengan Yuti. Jika Yuti mengaku, hukumannya akan lebih berat karena dia sudah berjanji tak akan terlibat dalam politik lagi. Sedangkan saya sendiri, untuk sementara, hanya dijatuhi tahanan luar. Pada saat itulah -- 19 Juli 1938 -- kami memutuskan untuk menikah. Dengan upacara sederhana, pernikahan berlangsung di rumah kawan kami Kartopandoyo, di Solo. Orangtua saya, tentu saja, tak datang. Tapi kakak saya, Suranto, datang untuk menjadi wali. Kami sewa sebuah kamar di atas loteng rumah kawan kami, tanpa dapur atau ruang tamu. Kami cukup menikmati nasi bungkus sebagai makanan sehari-hari. Karena Yuti selalu mengalami kerugian dalam "bisnis kain batik"nya -- maklum ia memang bukan seorang pedagang -- saya mengusulkan agar usahanya dihentikan. Rasanya, kami lebih cocok berkecimpung dalam bidang pers. Kami menjual tempat tidur besi kami untuk modal majalah Pesat. Meski modal seadanya, ternyata majalah tersebut cukup maju dan mulai berubah menjadi mingguan. Akhirnya, kami mampu pindah rumah. Namun, dasar pejuang. Ada salah satu tulisan karya Asnawi Hadisiswoyo yang isinya menentang penjajah menjadi persoalan. Meski tulisan itu menggunakan nama samaran Sri Bintara, suami saya tetap harus mempertanggungjawabkannya. Saya yang masih berstatus tahanan luar akhirnya divonis 2 bulan penjara. Saat itu, saya tengah mengandung anak pertama. Atas anjuran Yuti, saya minta naik banding. Di tengah penantian keputusan naik banding, saya masih bisa pergi ke mana-mana. Saya masih sempat menghadiri beberapa pertemuan. Bahkan di bulan kesembilan kandungan, kami malah menghadiri Kongres Persatuan Jurnalis Indonesia di Solo. Sesuai kongres, ternyata saya tak bisa menahan sakit karena bayi saya ingin segera melihat dunia. Dalam keadaan serba terburu-buru dan prihatin, 11 April 1939, anak pertama saya lahir di tikar lantai rumah kawan kami, keluarga Sastrowijono. Kami beri nama Musafir Karma Budiman. Saya sangat mencintai Budiman dan menyusuinya sendiri. Ketika ia berusia lima bulan, entah bagaimana, tiba-tiba saya ingin berpotret dengannya sekadar untuk kenangan. Rupanya, itu adalah firasat seorang ibu yang akan berpisah dengan anaknyu karena siang hari asisten wedana PID yang membawa keputusan Pengadilan Tinggi. Saya terpaksa pergi dan mendekam di penjara Bulu iagi selama enam bulan sebagai ekor persoalan pers delik. Budiman akhirnya ikut menjadi penghuni penjara karena ia masih memerlukan air susu ibu. Itu memang risiko saya sebagai pejuang dan sebagai wartawan. Saya tetap merasa tak bersalah. Tapi toh saya tak ingin dikasihani. Dan saya juga tak sudi meminta grasi. Risiko yang menyedihkan tentu saja dengan menyaksikan tubuh Budiman yang menjadi kurus karena lingkungan penjara. Apalagi air susu saya tak mengalir dengan baik. Akhirnya, Yuti 20 mengambilnya kembali dan merawat dengan pertolongan seorang pembantu. Tapi rupanya cobaan terus-menerus menimpa Budiman. Sekitar satu setengah bulan sebelum saya dibebaskan, Yuti harus masuk penjara selama dua tahun karena harus bertanggung jawab atas tulisan Sri Bintara. Terpaksa Budiman kami titipkan pada kawan kami di Solo. Untunglah, tak lama kemudian saya keluar dari penjara dan dapat memelihara Budiman kembali sambil meneruskan kegiatan Pesat. Pada tahun 1941, bulan Agustus, Yuti dibebaskan dari hukuman penjara dan kami berkumpul kembali. Majalah Pesat lebih banyak ditangani oleh suami saya, dan saya lebih bisa konsentrasi pada rumah tangga dan anak saya. Jepang Masuk Pada pagi 8 Desember 1941, saya sedang duduk mengaso di rumah kawan seperjuangan. Kaki saya sangat lelah karena sedang hamil anak kedua. Tiba-tiba saya dijemput polisi PID. Meski belum sempat mendengar berita apa-apa dari radio, naluri saya mengatakan bahwa saya akan ditangkap dan ditahan. Maka, saya membawa kopor kecil berisi pakaian dan sedikit uang. Saya malah tak sempat mengabari Yuti. DI kantor polisi di dekat Candi, Semarang, begitu banyak yang sudah berkumpul. Dari pembicaraan mereka, saya baru mengerti bahwa pagi itu Jepang telah menyerang Pearl Harbour. Jadi, penangkapan saya ada hubungannya dengan pecahnya Perang Dunia II, tuduhan memihak Jepang. Setelah diberi makan siang, kami diangkut dengan bis menuju Ambarawa. Ketika kami turun dari bis, saya tak menemukan kopor saya. Selama seminggu saya hanya memiliki pakaian yang melekat di badan. Sementara kandungan saya semakin besar. Tak lama kemudian, saya bertemu dengar Mr. Kasmat dan Kai Kahar Muzakir yang juga ditawan, mereka menyumbangkan satu kemeja dari piyama. Lumayanlah. Sesudah seminggu, kami diangkut lagi ke interniran Sumowono. Tak lama kemudian kami sudah dipindahkan lagi ke interniran Garut. Saya ingat kami disuruh berbaris di stasiun menuju kamp baru itu. Ternyata, ada seorang wanita Jepang yang juga hamil. Maka, kami berdua disuruh berjalan paling depan seperti tambur yang memimpin barisan. Sempat juga kami tertawa di tengah penderitaan itu. Di antara tawanan-tawanan itu, saya melihal Adam Malik, Asmara Hadi, dan Sukarni. Hanya beberapa saat kemudian, kami mendengar kekalahan Belanda. Kami semua dibebaskan. Di luar sudah disediakan mobil dan bis untuk membawa tawanan kembali ke Bandung. Geli juga saya melihat para eks tawanan itu berhamburan keluar mencari mobil yang jalannya masih bagus. Saya sendiri berjalan pelan karena kandungan saya sudah besar. Bersama sebagian orang Partindo dan pembaca majalah Pesat akhirnya kami hanya mendapatkan sedan bobrok. Di Bandung, saya melongo tak tahu mau ke mana. Karena begitu lelah, mengantuk, dan lapar, saya selonjoran di kursi panjang sampai tertidur. Saya tak peduli dengan serdadu Jepang yang seliweran dengan bayonet terhunus. Saya sudah capek. Tiba-tiba saya dibangunkan seorang lelaki berpantalon bersih. "Adik mau ke mana?" tanyanya. Astaga! Ternyata, ia Bratanata, pemimpin redaksi Nicorck Express di Bandung. Dia juga baru keluar dari interniran. Bratanata mengajak saya ke rumahnya. Istrinya sangat baik. Esok paginya, saya dibawa ke Dokter Murdjani untuk memeriksakan kandungan saya. Seminggu kemudian saya mendapat surat dari Bupati Bandung yang menyatakan bahwa bekas interniran Belanda boleh pulang ke Jawa Tengah naik kereta api gratis. Berbondong-bondong kami, sekitar 50 orang, pulang. Di Yogyakarta saya terus menuju rumah keluarga Marlan, kawan suami saya ketika ia dibuang ke Digul. Dari sana, saya menanti Yuti menjemput. Tak lama, Yuti datang. Betapa mengharukan. Di Semarang, 1 Juni 1942, Heru Baskoro lahir. Sambil mengasuh anak, kami tetap menjalankan majalah Pesat. Malah majalah itu berubah menjadi harian karena kebutuhan banyak orang. Tapi segera Jepang tak mengizinkan berdirinya lembaga dan surat kabar swasta. Jepang mengangkat suami saya menjadi pemimpin redaksi Sinar Baru, harian yang didirikan oleh Jepang. Toh Yuti masih dianggap sebagai ancaman bagi Jepang. Ketika Heru berusia dua bulan, Polisi PID versi Jepang yang dikenal dengan nama Kenpeitai menggiring suami saya, didakwa menentang Jepang, dan disiksa habis-habisan. Suatu sore ketika saya baru pulang dari Klater sehabis mengunjungi orangtua guna meminta jamu untuk ibu yang baru melahirkan. Di stasiun Tawang, beberapa orang Indonesia menangkap dan membawa saya ke rumah. Ternyata, ada sekitar delapan reserse yang sudah menanti saya. Saya dikenai tahanan rumah dan rumah saya dijaga. Beberapa hari kemudian, saya dipanggil oleh Kenpeitai Nedaci Jepang di penjara Jurnatan. Saya diinterogasi habis-habisan. Sambil mencoba menjawab, saya masih sempat melirik ke atas mejanya. Ia memiliki sebuah knuppel (pentungan). Tanya jawab itu sendiri tak bisa lancar karena saya tak mengerti bahasa Jepang dan Nedaci hanya bisa mengerti sedikit bahasa Indonesia. Ketika ditanya siapa yang saya bela, dengan jujur saya katakan bahwa baik Jepang maupun Belanda adalah kawan bangsa Indonesia. Tapi kedua bangsa itu menjadi musuh jika mereka menjajah. Dan saya akan membenci mereka jika mereka bermaksud mengangkangi negara kami. Alangkah gusarnya Nedaci mendengar jawaban saya. Dipandanginya saya dengan marah seraya mengambil pentungan yang terbuat dari karet keras itu. Berkali-kali dia memukul kepala saya. Sakitnya bukan main. Waktu pukulan jatuh di ubun-ubun saya, saya jatuh. Sayup-sayup saya dengar caci makinya. Saya dengar ia menyuruh memanggilkan suami saya. Alangkah kejinya. Mereka menyuruh Yuti menyaksikan saya disiksa. Saya masih bisa melirik ke jam dinding. Gila! Jadi, saya sudah dicaci maki dan disiksa selama enam jam. Seorang pegawai Jepang -- orang Indonesia -- membawa saya ke kamar lain. Di persimpangan saya bertemu dengan seorang kawan seperjuangan yang muka dan tubuhnya sudah berlumuran darah. "Hei, pakai lipstik kok sembarangan begitu," gurau saya. Dia tertawa dan membalas. "Itu kok jadi manis dan gemuk sekali," katanya sambil menunjuk muka saya yang memar-memar. Kami tertawa. Di kamar saya lihat ada cemeti dari bambu di atas meja. Menggigil rasanya membayangkan jika cemeti itu menyentuh kulit saya. Seketika, saya ingat Heru. Waktu menyusui sudah lewat. Akhirnya saya katakan kepada Nedaci bahwa saya harus pulang untuk menyusui anak saya. Nedaci kelihatan kaget. "Anda punya anak?" Saya mengangguk. "Yang pertama berusia tiga tahun. Dan yang kedua masih bayi berusia dua bulan." Rupanya, dia kasihan lalu menyuruh dua opsir mengawal saya pulang untuk menyusui Heru. Tapi Heru emoh karena tubuh saya memang menjadi panas. Saya sampai tak mampu makan karena gigi saya goyang. Tapi saya paksakan menelan bubur, agar Heru mau menyusui. Malamnya, Nedaci datang dengan kawan-kawannya untuk mengecek apakah benar saya mempunyai anak. Setelah terbukti, dengan kasar ia berkata, "Anak bagus, mamabagero." Yang konyol, Nedaci malah jatuh hati pada adik saya, Sumakti. Beberapa kali dia datang untuk menemui Sumakti untuk berbincang meski saya tahu Sumakti tak menyukainya. Suatu hari, Nedaci mengunjungi saya dan mengungkapkan isi hatinya. "Sungguh saya mencintai Sumakti. Saya ingin mengawininya." Saya dengarkan dulu semua isi hatinya, lantas saya kemukakan pendapat saya. "Saya sendiri tidak menentang perkawinan antarbangsa. Tapi, dalam sebuah perkawinan, status antara lelaki dan perempuan harus sama. Artinya, keduanya harus dalam keadaan merdeka. Sedangkan status kami, sebagai orang Indonesia, adalah tawanan bangsa Jepang. Jadi, kalau Anda melamar adik saya dan saya biarkan Anda mengawininya, seolah-olah saya sedang menyuap Anda untuk kebebasan saya. Maaf. Saya tak bisa membiarkan Anda mengawininya. Seandainya Indonesia sudah merdeka dari Jepang, persoalannya menjadi lain," jawab saya tegas. Untung, Nedaci tak tersinggung dengan ucapan saya. Meski sudah berbaik-baik, saya tetap dikenai tahanan rumah. Rupanya, Bung Karno mendengar nasib saya. Dengan sigap ia mengusahakan agar saya bisa dipindahkan ke Jakarta. Ia memberi jaminan, seandainya saya memberontak, dialah yang akan bertanggung jawab. Rupanya, Jepang mengabulkan permintaan Bung Karno. Pada tahun 1943, bersama anak-anak, adik laki-laki, dan adik sepupu perempuan, saya pindah ke Jakarta. Di Jakarta, oleh Bung Karno, saya dipekerjakan di Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Jepang nampaknya tak senang dengan Putera. Mereka menyuruh kami bubar dan mendirikan Jawa Hokokai. Buat saya, menjadi anggota Jawa Hokokai sama saja dengan menjadi penghuni penjara Jepang karena kami sama sekali tak boleh bergerak. Tapi, apa boleh buat. Saya melihat strategi Bung Karno bahwa "kereta" yang dibuat Jepang itu hanya satu, ya naikilah. Yang penting, kita tetap konsisten terhadap cita-cita. Bergabung dengan Jawa Hokokai itu bukan untuk kooperatif dengan Jepang. Tapi justru sebagai taktik dan strategi untuk menggunakan "kereta" itu bagi perjuangan kami. Salah satu contoh yang kongkret adalah Bung Karno yang biasanya dipersulit untuk berkomunikasi dengan rakyat, jadi mudah untuk berhubungan melalui organisasi itu. Nah, jika pejuang-pejuang itu belum telanjur dikenal Jepang, tentu mereka bisa membuat organisasi di bawah tanah. Jepang juga menciptakan organisasi khusus wanita, Fujinkai. Saya tidak termasuk organisasi tersebut. Struktur organisasi Fujinkai tak berbeda dengan organisasi Dharma Wanita sekarang. Kedudukan pimpinan sama-sama tergantung oleh kedudukan suami. Pada masa Jepang dulu, semua organisasi dilarang, kecuali yang mereka ciptakan. Artinya, organisasi ini tidak menunjukkan independensi. Saya tak setuju dengan struktur semacam itu. Kenapa ketuanya harus istri pimpinan? Kenapa bukan siapa saja yang memang mampu? Siapa tahu, istri bawahan itu lebih pandai dan mampu daripada istri atasan? Itu kan konyol. Setiap kali saya melihat kritik orang terhadap Dharma Wanita, saya tersenyum. Pada bulan Juli 1945, Bung Karno mengucapkan pidato yang kemudian lebih dikenal dengan Lahirnya Pancasila di gedung bekas Volksraad. Sesudah itu kami berdebat cukup hangat tentang negara yang dibentuk jika Indonesia merdeka. Di tengah perdebatan yang panas, tiba-tiba saja Bung Karno dihampiri oleh orang Jepang yang menyatakan bahwa pembicaraan semacam itu dilarang. Wuah, mendengar pengumuman itu, sebagian dari kami walk-out saja. Seingat saya, yang ikut keluar selain saya adalah B.M. Diah, Chaerul Saleh, Sukarni, dan beberapa yang lain. Saya tak tahu lanjutan pertemuan itu. Menjelang Kemerdekaan Sore 15 Agustus 1945, Yuti dan saya berkunjung ke rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Maksud kami ingin berbincang tentang langkah apa yang akan diambil oleh Bung Karno serta para pemimpin golongan tua. Sekitar jam 10 malam, tiga orang tamu -- di antaranya Wikana dan Darwis -- datang. Mereka adalah utusan dari kelompok pejuang muda yang ingin menyampaikan hasrat mereka dalam mencapai kemerdekaan. Mereka memisahkan diri ke kamar depan, sedangkan kami berdua tetap duduk di beranda. Sesekali kami bisa melihat betapa mereka terlibat dalam Pembicaraan yang sungguh-sungguh. Sempat juga saya mendengar Bung Karno mengatakan, "Kalau tak percaya, boleh potong leherku." Saya tak tahu apa maksudnya. Yuti berdiri dan menempelkan telinganya pada celah-celah pintu. Kemudian datang para pemimpin yang lebih tua. Yang saya kenal antara lain adalah Bung Hatta, Bung Buntaran, dan Iwa Kusumasumantri. Menurut Yuti, para pemuda itu meminta supaya proklamasi segera saja diucapkan. Bung Karno menjawab bahwa proklamasi itu memang sudah dipersiapkan. Buktinya, para anggota Persiapan Kemerdekaan dari Jawa dan Sumatera sudah berdatangan ke Jakarta, jadi tak ada masalah lagi. Menurut Bung Karno, hanya karena sopan santun organisasi, maka beliau harus berbicara dulu dengan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Keesokan siangnya, 16 Agustus, Supeno datang. "Yu Tri, malam nanti kita semua disuruh berkumpul di Kebon Sirih 80. Menurut Bung Karni, kita semua akan merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Radio harus kita kuasai dulu dari tangan mereka, sebab ini adalah alat komunikasi yang penting." Sore itu juga, Yuti berangkat menuju ke kelompok pemimpin -pemimpin tua sedangkan saya berangkat ke Kebon Sirih (yang sekarang untuk Hankam). Di sana saya lihat banyak pejuang berkerumun di pavilyun sebelah kanan gedung. Geli juga saya melihat sebagian besar membawa senjata tajam. Ternyata, baru menjelang terang tanah, Bung Karni, Yuti, dan Nisjijima dengan kawannya datang. Katanya, ia mendapat perintah untuk membubarkan kerumunan tersebut karena perebutan kekuasaan tidak jadi dilakukan. Semuanya sudah beres. Kami semua disuruh pulang dan datang lagi keesokan paginya untuk mendengarkan dan menyaksikan proklamasi kemerdekaan. Saya baru tahu belakangan bahwa malam itu Bung Karno dan Hatta, serta anggota-anggota Panitia Kemerdekaan berunding di rumah Laksamana Maeda di jalan Oranje Boulevard No. 1 (sekarang: Jalan Imam Bonjol). Di rumah Laksamana Maeda itulah mereka mencoba mencegah pertumpahan darah. Proklamasi yang tak Terlupakan Upacara semacam proklamasi 17 Agustus 1945 belum pernah dilakukan sebelumnya. Tapi toh kami semua, seolah-olah sudah diatur, bisa berdiri berbaris dengan khidmat. Semua berjalan mulus tanpa aba-aba, tanpa inspektur upacara. Sementara itu, dari jalan besar, orang yang berbondong-bondong masih saja mengalir memenuhi halaman rumah Bung Karno untuk ikut menyaksikan proklamasi. Sesudah proklamasi diucapkan, atas prakarsa dr. Rajiman Wedyadiningrat diadakan pendaftaran "Barisan Berani Mati" di serambi belakang rumah Bung Karno. Berjubel yang mendaftar, sampai harus antre segala. Saya ingat ada satu wanita dari Walikukun -- tempat kediaman dr. Rajiman -- yang ikut mendaftar. Saya sendiri sibuk ke sana-kemari untuk menemui kawan-kawan, tapi tak tertarik untuk mendaftar. Bukannya apa -apa. Buat saya, justru harus mendirikan Barisan Berani Hidup karena risikonya lebih menantang, terutama sesudah proklamasi ini diucapkan. Berita proklamasi merambat ke pelosok tanah air dan dunia. Satu-satunya media penerangan yang bisa digunakan saat itu adalah kantor berita Domei di Jakarta. Sebenarnya, kantor berita ini bernama Antara sebelum masa pendudukan Jepang. Namun, kantor berita yang didirikan oleh Adam Malik serta Pandu Wiguna dkk. ini selama dikuasai Jepang namanya lantas diubah. Saya bersama kawan-kawan dikirim ke Semarang dengan mobil yang ban mobilnya sudah bocor. Jadi kami harus mengisinya dengan segrobyokan rumput setiap kali mobil itu berhenti untuk memadatkan ban mobil tersebut. Baru empat hari kami bisa mencapai Semarang. Di tengah jalan kami sekaligus menjelaskan berita proklamasi kepada rakyat. Saya sangat terharu melihat sambutan dan pertolongan rakyat. Mereka menyumbang makanan, minuman, dan juga membantu menyiarkan berita ini ke pelosok lain. Selain dengan cara-cara sporadis, saya kira yang berjasa sebagai sumber berita proklamasi itu adalah majalah Suara Rakjat yang pertama kali terbit hanya sebanyak tiga lembar stensilan. Dari Jalan Menteng Raya 31, majalah ini menyiarkan dan menyebarluaskan berita kemerdekaan. Menteng Raya 31 memang sangat bersejarah. Di tempat itu pula berdirinya Committee van Actie. Gedung Pejambon (yang sekarang dipakai menjadi kantor BP-7) dijadikan tempat rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk saya, gedung Pejambon menjadi begitu historis. Saya berdoa agar gedung bersejarah itu tak dibongkar atau diubah bentuknya menjadi gedung modern yang konyol bentuknya. Janganlah sampai terulang peristiwa perusakan gedung Jalan Pegangsaan Timur 56. Sedih saya melihatnya. Desember 1946 saya pindah ke Yogyakarta karena Semarang sudah penuh dengan pertempuran melawan Belanda. Tahun 1946, saya menjadi anggota Pengurus Besar Partai Buruh Indonesia (PBI) di Yogya. Pada tahun-tahun inilah begitu banyak pertentangan dan perpecahan karena soal prokontra Linggarjati. Kawan-kawan saya seperti Suprapti, Syamsu Harya Udaya, dan Sudiono keluar dari PBI karena sudah terlihat perbedaan. Ketika terjadi kekosongan itulah, masuk Saudara Setiadjid. Sebelumnya saya sama sekali tak tahu nama ini. Baru belakangan saya mendengar bahwa ia berasal dari Partai Komunis Negeri Belanda. Suatu malam, Setiadjid datang mengunjungi rumah saya. Ia mengatakan bahwa Bung Karno meminta kepadanya, Gani dan Amir untuk menyusun kabinet baru dalam waktu 14 jam. Dan sebagai anggota formatur kabinet, Setiadjid menceritakan bahwa mereka akan membentuk kementerian perburuhan. Ia menanyakan pada saya apakah saya bersedia menjadi menteri perburuhan. Spontan saya tolak. Tapi pagi hari, tiba-tiba saya dibelit rasa malu. Selama ini saya selalu menekankan perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Kini, meski kemerdekaan sudah diproklamasikan, ternyata saya menolak untuk berjuang mengisi kemerdekaan yang susah payah direbut. Akhirnya, pagi itu saya mengangguk kepada Setiadjid. Kami semua -- dengan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri -- dilantik di Gedung Agung pada tanggal 3 Juli 1947. Saat itu, yang dipentingkan adalah bagaimana mempertahankan Republik agar jangan direbut kembali oleh Belanda. Kami semua berhasil menciptakan satu undang-undang perburuhan. Undang-Undang Kecelakaan No. 33 tahun 1947. Sebelumnya memang sudah ada rencana yang disiapkan ketika perburuhan masih di bawah kementerian sosial. Saya mengonsentrasikan diri kepada soal perpecahan antara buruh. Modal saya untuk mempersatukan buruh ini adalah ketika jaman penjajahan saya ikut menyatukan buruh swasta dalam GASPI (Gabungan Serikat Buruh Partikelir Indonesia). Ada hal-hal yang perlu dikemukakan di sini, misalnya adanya pasal mengenai tenaga kerja wanita. Seingat saya, salah satu isinya adalah wanita tak diperbolehkan bekerja pada malam hari, kecuali pekerjaannya mensyaratkan demikian, misalnya bidan dan perawat. Keadaan saat itu masih sangat rawan sehingga perempuan mudah diperlakukan tak senonoh. Perusahaan-perusahaan sering meributkan hak cuti tiga bulan bagi wanita hamil dan itulah sebabnya mereka lebih suka menerima laki-laki sebagai pekerja. Mereka menganggap rugi untuk memberi cuti tiga bulan. Lha, apa mau mengingkari apa yang sudah alamiah? Menurut saya, cuti tiga bulan itu sebenarnya tak cukup. Pada 11 November 1947, terjadi reshuffle dalam kabinet. Di dalam kabinet baru yang dikenal sebagai Kabinet Amir II itu saya dan Mr. Wilopo tetap pada posisi kami. Situasi politik dan ekonomi saat itu semakin gawat karena agresi Belanda. Lucunya, ketika keadaan ekonomi sedang kacau karena Belanda memblokade sana-sini, kok saya sempat-sempatnya ditawari sebuah rumah. Katanya, supaya lebih representatif. Saya ditawari rumah besar yang berlokasi di muka Istana Pakualaman. Ya, jelas saya ndak mau. Wong saya sudah punya rumah di Pakuningratan. Ketika Kabinet dinyatakan bubar, 1948, saya sedang berada di Pati. Undang-undang kerja yang masih harus disahkan akhirnya diselesaikan oleh penerus saya pada masa Kabinet Hatta tahun 1948. Saya kembali ke Jakarta. Sekitar tahun 1950, bersama pejuang perempuan lain, saya mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar atau Gerwis. Kami menginginkan agar gerakan ini bisa menembus ke strata masyarakat bawah. Gerwis ini adalah gabungan dari Persatuan Wanita Sedar Surabaya, Rukun Putri Indonesia Semarang, Gerakan Wanita Rakyat Indonesia Kediri dan didukung oleh Persatuan Wanita Murba Madura. Saya sendiri duduk sebagai Ketua III yang berkedudukan di Yogyakarta. Asasnya, seperti pergerakan perempuan lainnya pada masa perjuangan, adalah perjuangan wanita dalam menentang penjajahan. Pada Kongres III di Jakarta Gerwis berganti nama menjadi Gerwani. Ketua umumnya adalah Umi Sarjono, sedangkan saya duduk sebagai anggota Pengurus Besar. Sementara itu, saya merasa harus mengisi batere kembali. Maka, saya mendaftar ke Fakultas Ekonomi UI dan diterima. Saya tak peduli melihat mahasiswa yang masih baru lulus SMA, sedangkan saya sudah berusia 41 tahun ketika itu. Tapi toh setelah menjadi mahasiswa, saya tak dibebaskan dari berbagai tugas yang menyangkut soal masyarakat. Tahun 1959, saya diangkat menjadi anggota Dewan Nasional RI dan setahun kemudian saya diangkat pula menjadi anggota Dewan Perancang Nasional. Keadaan negara tidak pernah tenteram karena ada pemberontakan di sana-sini. Kabinet tetap gonta-ganti, hingga akhirnya tiba -tiba nama saya dicantumkan kembali untuk menjadi menteri sosial. Bukan main paniknya saya saat itu. Berita itu saya terima hanya sehari sebelum pelantikan. Dan saya sama sekali tak sanggup mengemban berbagai tugas sekaligus. Akhirnya hari itu juga saya temui Bung Karno dan menyatakan keberatan saya. "Sungguh saya tak bisa menerima jabatan ini. Saya lebih menyukai untuk terjun langsung ke tengah masyarakat. Janganlah saya dijadikan menteri. Beri saya pekerjaan lain yang lebih bermasyarakat, pasti saya akan menerimanya!" kata saya memohon. Saya rasa Bung Karno agak marah atas penolakan saya. Mukanya menjadi merah, tapi dia tidak menyemburkan kemarahannya seperti biasa. Saya sendiri sudah biasa dengan adat Bung Karno. Namun, saya tahu dia menghargai kejujuran saya. Buktinya, dia mengabulkan permintaan saya dan menunjuk Rusiah Sarjono sebagai gantinya. Tentang kemarahan Bung Karno ada lagi ceritanya yang lucu. Beliau memang sering marah menggelegar kepada menterinya. Tapi beliau akan tertawa dan kami berbaik kembali. Cuma satu -satunya hal yang menyebabkan ia marah sampai tak bicara pada saya adalah ketika saya mengkritik soal istri -istrinya itu. Sebenarnya, itu pun tak saya lakukan secara langsung. Ada wartawan yang mewawancarai saya dan menanyakan soal poligami. Saya katakan terus terang, saya tak setuju lelaki beristri lebih dari satu. Lha, Bung Karno merasa saya sedang menyindirnya. Saya tak ditegurnya. Bahkan waktu beliau menyematkan Bintang Mahaputra di dada saya, kami masih jotakan, dan dia cemberut. Pada 7 Juli 1960 saya lulus FE UI dan dilantik tepat pada hari sarjana. Bung Karno hadir pada acara pelantikan. Dua tahun kemudian, saya ditugaskan ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker's Management. Saya melihat bagaimana majunya kaum buruh di Yugoslavia. Kaum buruh adalah kelompok yang kuat dan melembaga. Tahun-Tahun yang Panas Pada Januari 1965, saya pulang ke Jakarta. Begitu mendarat di Jakarta, saya merasakan suhu politik tinggi. Ketika mampir ke kantor Gerwani, saya merasakan organisasi itu menjadi onderbouw PKI. Padahal, Gerwani didirikan dengan sikap netral. Prinsip saya, jika ingin berpolitik praktis, jangan bergabung dengan Gerwani, tapi dengan partai politik lain. Orang-orang Gerwani sendiri juga tak terlalu berbaik-baik pada saya karena tulisan Yuti yang menghebohkan. Yuti menulis sebuah serial di Suluh Indonesia, kemudian disambung di Berita Indonesia, berjudul Belajar Memahami Sukarnoisme. Yuti memang sangat paham tulisan-tulisan Marx. Justru karena ia mengerti, ia berpendapat bahwa sesungguhnya Marhaenisme tidak dipengaruhi oleh Marxisme-Leninisme. Artikel itu merupakan tonjokan bagi PKI yang selama ini menafsirkan pikiran Sukarno dengan tambahan-tambahannya sendiri. Artikel itu kemudian dikutip berbagai media di Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Karena sambutan yang hangat itu pula, maka didirikanlah Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) yang diketuai Adam Malik. Bagi PKI, BPS kemudian jadi musuh utama. Slogan mereka yang biasanya berbunyi Ganyang Manikebu, Ganyang Kabir, sekarang bertambah dengan Ganyang BPS! Dan lucunya, jargon terbarunya itu diteriakkan melalui alat pengeras suara di kantor PKI yang kebetulan terletak di belakang rumah saya di Kramat. Sementara itu, orang-orang Gerwani sudah secara terang -terangan menyingkirkan saya dari rapat-rapat yang penting. Satu saat mereka menanyakan di mana saya berdiri. Maka, saya jawab bahwa tulisan Yuti itu baik dan BPS bertujuan memurnikan sejarah. Maka, hari itu juga saya keluar dari keanggotaan maupun kepengurusan Gerwani karena sudah jelas Gerwani condong ke PKI. Kemudian hari yang berdarah itu pun tiba, 30 September 1965. Kebetulan saya dan keluarga di rumah dan hanya mendengarkan radio. Setiap perubahan kami dengarkan dengan diam. Suasana sangat mencekam. Perceraian dengan Guru & Suami Kesehatan Bung Karno memang sudah melemah. Saya ingin sekali menjenguknya, tapi tak mungkin karena ia dijaga ketat. Buat saya, terlepas dari kelemahannya, Bung Karno tetap guru saya. Banyak orang menganggap ia terlalu memberi angin kepada PKI. Apakah Bung Karno seorang komunis? Tidak. Saya tahu betul dia bukan komunis. Dia memang mempelajari Marxisme, Leninisme, dan Stalinisme secara ilmiah seperti mahasiswa ilmu politik mana pun wajib mempelajarinya. Tapi, ia sendiri bukan komunis, ia nasionalis sejati. Kalau ingin memberi cap "isme" padanya, mungkin yang paling mendekati adalah sosial-demokrat. Terakhir kali, sebelum ia sakit kami bicara banyak. Saya kan suka ke Istana. Di akhir hayatnya dia lebih suka berbincang soal keluarganya daripada masalah politik. Sementara itu, dengan Yuti dia tetap diskusi soal politik. Kadang-kadang ngomong soal bacaannya, atau soal Zus Fat. Saya mendapat kesan, kelihatannya Bung Karno menginginkan agar Zus Fat menambah pengetahuannya lebih banyak lagi. Dia menceritakan istri-istrinya dan saya hanya mendengarkan saja sebab dia tahu saya tak setuju poligami. Tapi, yang saya sukai, Bung Karno tak pernah menjelek-jelekkan istri-istrinya itu. Bung Karno. Akhirnya guru saya yang biasa menganggap saya "adik" itu meninggalkan kami semua. Terpontang-panting saya menuju RS Gatot Subroto untuk melayat. Karena saya sudah mendapat izin, banyak wartawan pengin nebeng saya, ikut masuk. Ya, jelas ndak boleh. Ternyata, jenazah sudah dibawa ke rumahnya yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala. Aduh, bukan main. Tentara sudah membentuk pagar betis. Susah untuk masuk. Akhirnya, saya mendapat akal. Salah satu tentara berdiri dengan kaki mengangkang. Lha, saya menerobos melalui kedua kaki tentara itu dan lari menghampiri keranda. Saya lihat juga, wajah guru saya terbaring. Sendirian . Perkawinan adalah bentuk dari sebuah kongsi. Hal yang bisa dikerjakan bersama kami kerjakan. Tapi yang tak mungkin dikongsikan tak usah dipaksakan. Meski sudah bersatu dalam perkawinan, tak berarti harus saling menyesuaikan 100%, masing-masing harus tetap memiliki kedaulatan. Jika tidak, hilanglah kepribadian kita. Yuti dan saya sudah banyak berbagi, sepenanggungan dan sependeritaan. Dari zaman Belanda, zaman Jepang, hingga kemerdekaan. Kami sudah membuahkan dua anak yang gagah. Kami sudah mencoba untuk saling toleransi dalam perbedaan wadah politik kami meski sama-sama menginginkan kemerdekaan. Tapi toh, kami harus mengakhirinya dengan perpisahan. Namun, perceraian kami, di akhir 1969, sama sekali tak ada urusannya dengan soal pandangan politik. Wong negara sudah mulai stabil dan ademayem kok. Yuti menyukai wanita lain. Dan buat saya, kehidupan tak bisa diparo-paro begitu. Jadi, sekaligus saja saya serahkan ia kepada Siti Rancari. Tak apa. Saya realistis saja. Kami bercerai secara damai. Dan saya sangat rasional menghadapinya. Malah, waktu rumah mereka -- setelah menikah berdekatan dengan saya, istrinya suka kirim kue pada saya. Dia suka membuatkan patron baju. Wah, saya sih senang saja. Pada 1975, saya bersama kawan-kawan menerbitkan majalah mental-spiritual Mawas Diri, artinya "melihat diri sendiri", introspeksi. Banyak orang terheran-heran bertanya, kok dari politik praktis lantas "lari" ke kebatinan? Ini bukan pelarian. Saya ini wong Jowo. Sejak lahir saya sudah merasuk ke dalam kebatinan. Jadi, kebatinan itu bukanlah permulaan atau akhir. Kelahiran saya sendiri sudah menyatu dengan kebatinan. Ibarat anak itik yang dicemplungkan ke laut kan sudah bisa berenang dengan sendirinya. Majalah Mawas Diri ini hasil dana ramai-ramai. Isinya tak harus soal kebatinan Jawa. Bisa juga tentang filsafat Barat. Saya tak suka terikat pada sesuatu. Seperti halnya saya, Mawas Diri juga tak terikat pada perkumpulan kebatinan apa pun. Biarkan kita bebas. Di bumi ini saja kita sudah memiliki keterbatasan raga kita. Raga kita sudah banyak diatur oleh dogma, undang-undang, pemerintah, dan norma-norma. Jadi, biarkanlah batin kita melayang ke mana ia suka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus