MATAHARI baru saja mengintip seisi bumi. Dan sepagi ini Nyonya Susanto mengemudikan oplet Koasi, Koperasi Angkutan Bekasi, di sepanjang Pondok Gede hingga Kranji. Seharian bersimbah peluh di pinggiran Jakarta itu, ia mengail Rp 30.000. Kerja sebagai sopir bagi ibu 36 tahun yang beranak tiga ini adalah menunjang dompet suami yang pegawai negeri. Begitu pula alasan keneknya, Dewi, 25 tahun. Lulusan kursus komputer ini menjadi kenek malah tidak keder dijawil mulut usil. Masih di Bekasi, coba tengok dari jendela koasi, niscaya kita berpapasan dengan Dosinta. Asal Pakkat, Tapanuli Utara, ia ikut suami ke Jakarta. Tidak betah di rumah, Dosinta asyik bongkar pasang ban mobil, motor, dan sepeda. "Saya diomongin orang, tapi bagaimana, ya?" komentar ibu berusia 17 tahun itu. Kontrak rumahnya Rp 250.000 setahun, padahal mata pencarian suami dari bengkel yang pas-pasan. Agar layanan lancar, Dosinta mengorbankan telapak tangannya yang halus. Bagiannya terkadang enam ban sehari, bahkan sampai ia terlupa sarapan pagi. Dan "perempuan-perempuan perkasa" (seperti dijuluki Penyair Hartojo Andangdjaja) itu juga tersebar di Yogya kala subuh. Di Pasar Beringharjo, misalnya, yang menawarkan ototnya sekitar 50 buruh gendong. Lihatlah Bu Karyowiyadi, 75 tahun. Punggung ibu lima anak dan nenek 23 cucu ini masih mampu menumpu 60 kg. Sudah 30 tahun ia menggendong barang yang tak pernah jadi miliknya. Harga keringatnya hanya Rp 2.50O sehari. Sedangkan di Cimahi, Jawa Barat, ada enam ceuceu berbaur bersama 30 buruh lelaki. Gesit bermandi keringat, Surtika, 18 tahun, memecah batu yang tidak termakan mesin. Sedangkan bocah usia 2 dan 4 tahun, yang tak mungkin tinggal di rumah, dibawanya ke lapangan -- sekaligus mereka menyaksikan sang ibu menambang uang halal Rp 50.000 sebulan. Palu jatuh, batu terbelah, dan kadang terpelanting ke muka Nek Engkoy, 65 tahun. Suaminya pensiunan ABRI, anaknya dua. Cucu empat. Biar puasa, toh 3 m3 batu dipecahnya seminggu. Tenaga nenek ini dibayar Rp 30.000 sebulan. Perempuan-perempuan perkasa itu, baik di Sibolga, Bali, maupun di mana saja, ada yang bekerja melebihi jam kerja lelaki. Tak terdengar mereka melenguh kendati upahnya bahkan setengah dari upah pria. Keganjilan ini bagai tenggelam dalam keriuhan dunia laki-laki. Leila S. Chudori, Ida Farida, Slamet Subagyo, Rini PWI, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini