Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBILANG tahun Ratna Sari Dewi hidup menjanda di negara-negara mahal. Ia selalu tinggal di apartemen-apartemen yang mewah. Bila ia menghadiri pesta, penampilannya wah. Ia selalu gemerlapan dengan model-model busana mutakhir lengkap dengan perhiasannya. "Selera busananya memang bagus, cara membawakan diri juga oke. Saya kagum," komentar Mien Uno, pimpinan Sekolah Pengembangan Kepribadian John Robert Powers. Madame Soekarno -- begitu panggilan populernya di Eropa dan Amerika -- bergaul sejajar dengan orang-orang bergengsi yang bertimbun uang. Raja minyak Adnan Khashoggi, misalnya, adalah contoh kenalan dekatnya. Di Paris, Spanyol, Swiss, Belanda, dan sekarang Amerika Serikat, Dewi juga tercatat sebagai wanita yang sering diundang dalam pestapesta mewah. Karina, anak tunggalnya, sejak kecil dimasukkan ke sekolah-sekolah elite. Dan sekarang Karina kuliah di Boston, sementara Dewi menyewa apartemen di New York seharga US$ 6.000 per bulan. Dari mana Dewi memperoleh uang untuk mengongkosi hidupnya yang mahal itu? Apa bisnisnya? Kepada wartawan TEMPO Bambang Harymurti, Dewi menjawab melalui telepon: "Perusahaan saya adalah agen beberapa industri berat dari Eropa dan Jepang. Kami memasok reaktor, kompresor, turbin gas, heat exchanger, airfin cooler, dan perangkat sejenis lainnya. Kebanyakan untuk lapangan minyak dan gas. Jadi, klien kami kebanyakan kontraktor minyak asing." Namun, ketika ditanya lebih rinci, Dewi enggan membicarakannya. "Saya bekerja di bisnis konstruksi dan peralatan berat selama dua puluh tahun. Semenjak Bapak (Bung Karno) wafat, saya harus berbisnis dari awal. Ia tak meninggalkan uang, ia tipe orang yang tak pernah peduli uang atau khawatir tentang keluarganya," ujar Dewi. Dewi mengaku tak punya tabungan ketika Bung Karno wafat. Maka, tahun-tahun pertama setelah ditinggal Bung Karno itu, ia baru belajar membuat kontrak bisnis. "Anda tahu, dalam bisnis, kepercayaan adalah aset. Dan dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari perusahaan besar, diperlukan waktu bertahun-tahun," katanya. "Tapi saya tak mau bicara banyak tentang bisnis karena kami menjaga rahasia dalam bisnis. Anda tahu, dalam bisnis, menjaga kerahasiaan adalah kunci," tuturnya lagi. Karena "menjaga rahasia" itu, banyak orang yang hanya dapat menebak-nebak, apa bisnis Dewi. Salah satunya adalah jasa penghubung. "Khashoggi selalu meminta bantuan Dewi bila ingin memasuki Jepang, karena Dewi banyak mengenal pimpinan perusahaan dan bank di sana," kata Setiawan Djodi, salah satu yang dekat dengan Dewi. Dewi, kata Djodi lagi, juga sering "dipakai" oleh perusahaan-perusahaan Jepang untuk menghubungi pejabatpejabat setingkat direktur jenderal atau direktur di Indonesia. "Saya tak tahu apakah ia memperoleh komisi atau tidak," kata Djodi. Djodi sendiri sering memakai jasa Dewi. "Kalau saya ingin bikin dinner party di Paris dan ingin mengundang kalangan atas di sana, Dewi dapat menjadi PR yang baik. She is a number one public relation," kata Djodi, pengusaha yang belakangan kembali bermusik itu. Bukan itu saja. "Kalau saya ingin melihat balapan mobil di Monako dan susah mencari penginapan, saya meminta tolong Dewi untuk mencarikan kamar di Hotel de Paris. Kalau sudah Madame Soekarno yang booking, langsung saja kamar disediakan," kata Djodi lagi. Madame Soekarno, memang, sebutan ini agaknya membawa rezeki buat Dewi. Bagaimana urusan "rezeki" dan Soekarno itu berkait agaknya dapat dirunut jauh ke belakang, yakni sejak pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian pampasan perang di Jakarta 20 Januari 1958. Disebutkan, Indonesia akan menerima dana lebih dari 80 milyar yen atau sekitar US$ 223 juta sebagai ganti rugi selama tiga setengah tahun dijajah Jepang. Pembayarannya diangsur selama 12 tahun melalui sejumlah proyek pembangunan. Realisasi dana pampasan perang adalah peluang bisnis bagi pengusaha-pengusaha Jepang. Untuk merebut peluang tersebut, mereka melobi pejabat-pejabat dari kedua negara dengan berbagai cara, termasuk menyodorkan "wanita". Misalnya, yang dilakukan perusahaan Kinoshita Sansho saat Bung Karno berkunjung ke Jepang tahun 1958 -- tak lama setelah perjanjian ditandatangani. Perusahaan ini akhirnya memperoleh pesanan sembilan dari sepuluh kapal laut yang diminta pemerintah Indonesia dari Jepang. (Lihat juga Seribu Ciuman untuk Dewi Soekarno, halaman 29). Menurut buku The Japanese and Soekarno's Indonesia, tulisan Nishihara, pada Juni 1959 Bung Karno berkunjung lagi ke Jepang. Waktu itu, Masao Kubo, presiden direktur Tonichi Boeki, tergiur berbagai proyek di Indonesia. Kubo, demikian menurut buku itu, lantas memperkenalkan Bung Karno pada gadis Naoko Nemoto. Bung Karno terpikat, Kubo mendapat sejumlah proyek dan Naoko Nemoto kemudian menjadi istri Bung Karno dengan nama Indonesia, Ratna Sari Dewi. Jadi, Nemoto, yang kemudian dikenal sebagai Dewi itu, rupanya sudah takdirnya menjadi "penghubung". Yang menarik, masih menurut buku The Japanese and Soekarno's Indonesia, ada konflik kepentingan dalam kaitan bisnis antara Dewi dan Hartini, salah satu istri Bung Karno. Suatu kali, mereka bertengkar gara-gara ada dua perusahaan otomobil Jepang yang berusaha mendekati mereka. Dan Dewi ingin memiliki keduanya. Sejauh mana isi buku ini benar, entahlah, karena baik Dewi maupun Hartini enggan berkomentar. Cerita persaingan antara Kinoshita Sansho dan Tonichi Boeki juga seru. Tapi -- tidak jelas apakah ini berkat hubungan Dewi dengan Bung Karno -- Tonichi Boeki kebanjiran proyek. Perusahaan inilah yang membangun Wisma Indonesia di Tokyo senilai US$ 2 juta. Juga tender pembangunan gedung Sarinah seharga US$ 11 juta. Belum lagi keuntungan dari pembangunan menara transmisi TVRI, Hotel Indonesia, Hotel Ambarrukmo di Yogyakarta, Hotel Samudera Beach di Pelabuhanratu, Tugu Monumen Nasional, dan Wisma Negara di kompleks Istana Negara, Jakarta. Semua proyek itu merupakan joint venture dengan perusahaan lain. Tahun 1962 hubungan Dewi dengan Kubo, bos Tonichi, retak. Dewi dianggap makin dekat kepada perusahan Kinoshita Sansho, pesaing Tonichi yang sudah lama berusaha mendekatinya. Berkat campur tangan Dewi, tulis The Japanese and Soekarno's Indonesia, Kinoshita memperoleh proyek pembangunan Wisma Nusantara yang tinggi menjulang di Jalan Thamrin, Jakarta. Ini juga dari dana pampasan perang. Tampaknya, pengusaha-pengusaha Jepang semakin mengakui posisi Dewi. Tahun 1964, Dewi pun diterima sebagai anggota kehormatan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jepang (LPIJ). Dewi sendiri membentuk Nadeshiko Club yang beranggotakan sekitar 40 wanita Jepang yang bersuamikan orang Indonesia. Kedua organisasi ini, menurut pengamat waktu itu, menjadi ajang lobi untuk merebut proyek-proyek dana pampasan perang. Ketika sudah menempati Wisma Yasoo, acap Dewi mengundang kawan-kawan Jepangnya itu. "Mereka terdiri dari para pengusaha. Ada juga yang dari Kedutaan Jepang," tutur Mangil, bekas kepala pengawal pribadi Presiden Soekarno. "Mas Agung yang biasanya menyediakan konsumsinya," katanya lagi. Pokoknya, setelah lengket dengan Bung Karno, Dewi menjadi figur penting di mata pengusaha Jepang. Waktu itu ungkapan "Berkunjung ke Dewi" menjadi semacam anekdot yang mengandung makna bisnis. "Jarang ada transaksi bisnis yang terjadi di luar persetujuan Dewi," ujar seorang pengusaha dalam buku karangan Nishihara itu. Politikus Jepang pun dia bikin segan. Tahun 1962, Dewi pergi ke Jepang menemui Takemi Taro (presiden Japan Medical Association) dan Kajima Marinosuke (direktur Kajima Construction Company) untuk membicarakan pembangunan Rumah Sakit Gawat Darurat di Jakarta. Bahkan, lewat jalur Shojiro Kawashima (wakil pimpinan Partai Demokrasi Liberal Jepang) Dewi bertemu langsung dengan Perdana Menteri Sato untuk proyek rumah sakitnya itu. Kontrak persetujuan akhirnya keluar 8 Januari 1966 dengan dana US$ 3,3 juta. Tapi, karena situasi politik yang panas setelah G30S-PKI, Rumah Sakit Gawat Darurat itu tak pernah terwujud, sampai sekarang. Pada tahun 1964, ada yang disebut "Kredit Kawashima" -- diambil dari nama belakang wakil ketua Partai Demokrasi Liberal Jepang itu. Ini pinjaman lunak sebesar 144 milyar yen (sekitar US$ 400 juta). Menurut seorang pengusaha Jepang yang mengenal suasana waktu itu, dalam "Kredit Kawashima" itu pengaruh Dewi betul-betul manjur. Dialah yang menentukan siapa yang bakal memenangkan tender dan apa jenis proyeknya. Salah satu perusahaan yang menang adalah Mitsui. Sayangnya, proyek-proyek itu gagal karena situasi politik yang meruncing. Dari semua jenis pekerjaan yang dilakukan Dewi ini, baik sebelum maupun setelah ia resmi kawin dengan Bung Karno, adakah ia menerima komisi? Ternyata, Dewi menangkis adanya komisi itu, sebagaimana yang dimuat juga dalam buku Nishihara. "Mereka memperalat saya yang kebetulan lahir di Jepang dan menjadi istri Bung Karno," kata Dewi di buku itu. Hal ini masih diucapkan Dewi pekan lalu di New York, bagaimana malangnya ia setelah menjadi janda dan berbisnis dari nol. Jika betul apa yang diucapkan Dewi itu, bahwa ia "tak punya apa-apa" setelah ditinggal Bung Karno, pastilah bisnis Dewi saat ini mendatangkan duit sedemikian banyak untuk menopang gaya hidup mahalnya. Tapi, apa jenis usahanya, dari mana ia menggerakkan usaha itu, hanya Dewi yang tahu. Dewi pernah menyebutkan bahwa usahanya di Jakarta maju pesat. Sepanjang yang diketahui orang, usaha itu bernama PT Imcor Nusantara Megah, yang menjadi penyalur barang-barang kebutuhan beberapa departemen. Memang, seperti yang dikatakan Pengacara Rusdi Nurima -- pernah membela Dewi untuk beberapa kasus -- perusahaan ini termasuk daftar rekanan kelas Rp 500 juta ke atas. Tergolong besar juga. "Dari usaha saya yang sukses di Jakarta itu, saya dapat membeli rumah di Jalan Sumbawa 23," kata Dewi, dalam wawancaranya pekan lalu. Dewi tak menyebut-nyebut PT Imcor. Yang menarik, kini Dewi mengaku siap-siap "pensiun" dari dunia bisnis. Dia betul-betul merasa bahagia mempunyai rumah di Jakarta. "Jadi, kapan saja saya dan Karina pulang ke Jakarta, kami telah memiliki tempat tinggal sendiri," katanya. Ia memang berniat menetap di Jakarta. Ia mengaku sudah capek. Ia ingin membangun hidup baru dan karier baru. "Saya ingin menjadi artis," ujarnya. "Saya ingin belajar desain karena hobi saya melukis." Jika niat itu kesampaian, Dewi tak lagi beredar di kalangan jetset tingkat dunia. Adakah ini hikmah dari "tragedi" Aspen ? Priyono B. Sumbogo, Sandra Hamid, Ardian T. Gesuri, dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo